H+3 setelah kejadian. 07:03 amAku membuka mata dan langit-langit kamar rawat inap rumah sakit masih menjadi pemandangan pertamaku untuk menyapa pagi. Perutku masih naik turun karena napas yang berhembus. Masih hidup rupanya.âSelamat pagi, kak!âSedikit terkejut. Maurer ternyata sudah berada di sini pagi-pagi.âSudah merasa baikan?â tanyanya setelah meletakkan separsel keranjang buah di pinggir meja vas tepat di samping tempat tidurku.Aku duduk bersandar ke punggung kasur sambil melihatnya berkedip menunggu. Merasakan nyeri di punggung tangan sebelah kiri yang ternyata telah ditusuk jarum infus.âAku sakit apa?âIa pun berdengus heran. Mengusap-usap jidatnya sambil mengambil satu kursi untuk diduduki. Mengecek suhu tubuhku melalui telapak tangannya yang ditempelkan di keningku, lalu dibandingkan dengan miliknya. Ia pun memiringkan kepala. Merasa aneh.âKakak pengidap amnesia, ya?âTepat ketika itu aku merasa kembali pada pertemuan pertamaku dengan Esa, saat duduk di depan kipas angi
Pemirsa, pelaku berinisial E batal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena diduga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder). Disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban atau teman dekatnya; berinisial R, pelaku E menyatakan sendiri motif dari pembunuhan yang ia lakukan pada sahabatnya tersebut karena didera rasa cemas akan takut dinilai gay oleh masyarakat umum. TegAku menekan tombol off pada remot TV. Berpaling sejenak dari depan monitor tersebut lalu berbaring di kasur. Cahaya sore menyelinap di sela-sela gorden yang tertutup. Terbias bersama debu-debu halus yang melayang mengudara, lalu suara detik pada jarum jam pun berdenyut. Mengosongkan pikiran.âMasih kuat? tanya suara pada hatiku tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menahannya. âAyo, bunuh diri saja!âRasanya seperti orang lain. Bisikannya selalu tentang hal-hal yang negatif, semacam setan. Belakangan ini aku menyadarinya, tapi aku tak berusaha melawan. Sebab dibutuhkan banyak energi untuk mel
âHai,â sapaku pada seseorang yang tengah duduk bersandar di ranjangnya tepat setelah membuka pintu salah satu kamar rumah sakit Trauma Center. Ia melihatku dengan sedikit tegang, namun tak membalas sapaan. Ini terasa asing. Aku mencoba tenang dengan menutup pintu kamarnya kembali. Berbalik menghadapnya yang kini malah menunduk; meraba-raba rasa linglung atas situasi di luar dugaan. âApa kabar?â tanyaku masih di tempatku lebih dekat beberapa inci. Menahan napas di dada karena gugup setengah mati.Ia membeku. Tak lama kemudian berusaha sekuat tenaga mengangkat pandangannya dengan lebih berani. Tanpa kendali, aku menarik senyuman canggung karena ingin mencairkan suasananya, namun ia masih dalam kondisi yang sama. Tubuhnya kurus dan pipinya tirus. Ketika itu aku mengerti lintah apa yang telah menyedot sari-sari kebahagiaannya. Mungkin ia juga sepertinya mengerti kondisi apa yang tengah kualami dengan tatapan nanarnya yang berkedip lambat, tak mampu terucap. Hanya berpaling. Aku menger
âMaafin aku, Esa,â kataku. Merasakan lemahnya tangis yang meletup-letup pada permukaan punggungnya ketika kuusap dengan lembut. Aku tidak bisa menolongnya sebagai seorang teman. Lebih tepatnya lagi, aku tidak mengerti harus melakukan apa kala itu, ketika melihatnya berciuman, bercumbu, berteriak, memukul, menangis, bahkan hingga berlumuran darah. Semua hanya tersaji secara Cuma-Cuma di depan mata hingga membuat kedua kakiku bergetar lemas di tempat sebelum berakhir limbung tak sadarkan diri.âTapi aku yakin itu sepenuhnya bukan salah kamu. Pasti ada sebagian kesalahan orang lain juga yang membuat kamu tega melakukan hal ini, kan?âIa masih menangis. Kali ini mencengkram bajuku agar bisa menyembunyikan wajahnya lebih dalam lagi pada ceruk leherku. Sangat ketakutan.Aku menariknya perlahan. Mencoba menengok wajahnya yang menunduk lalu mengusap air matanya seperti halnya Rico saat menangis waktu itu. Aku seperti berhadapan dengan dirinya versi anak-anak yang ternyata sangat dipenuhi bany
âSoal pernikahan kita âŚââNggak perlu dipikirin. Yang penting kamu cepat sembuh supaya bisa melanjutkan aktivitas lagi, ya.ââMaaf karena aku menghancurkan semuanya.ââEh, sudah, sudah. Lebih baik kamu banyakin istirahat. Jangan pikirin apapun yang bisa mengganggu kesehatan mentalmu untuk sekarang. Aku pulang dulu, ya.âSaat kuberanjak, ia langsung menggamit lenganku. Memasang raut merana. Aku terpaku sejenak sebelum terduduk kembali.âKenapa?â tanyaku. Ia pun memelas.âKamu nggak sedih?â tanyanya.Seketika dadaku terasa penuhâsesak dirundung kesedihan. Ternyata yang kuperlihatkan dari tadi adalah kepura-puraan. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku. Tidak pernah mempertunjukan kekacauan pikiran sedikitpun pada orang lain. Tapi aku menggigit bibir. Ingin sekali saja bersikap manusiawi. âSedih,â timpalku dengan enteng. Kemudian menaikan alis. âTapi mau bagaimana lagi.âIa pun dengan lesu memandangi jemari kami yang terasa kebas sementara aku berusaha menaikan suasana hati dengan ring
Oke. Sampai sini mungkin kau sudah mulai bosan mendengarkanku membual tentang hidup. Lembaran demi lembaran terasa habis percuma. Tenang. Kau tidak merasakannya sendiri, karena aku juga. Haha!But, bisa kupastikan cerita ini akan habis sebentar lagi dengan akhir yang bahagia. Semua orang suka kebahagiaan bukan? Tapi kenapa kau meletakkannya di akhir? Kenapa kau tidak meletakkan kebahagiaan disepanjang hidupmu? Oke. Kuubah subjeknya. Kenapa selama ini aku menyiksa diriku atas ketakutan yang berada di luar kendali gerak motorikku? Kenapa masa depan selalu menjadi momok yang menakutkan untuk mencapai kesuksesan? Apa definisi sukses sebenarnya? Apa diantara kalian, sudah ada yang mencapai kesuksesan? bagaimana rasanya menjadi sukses? Apa kalian bahagia?Dulu, sehabis pulang sekolah waktu SD, aku suka sekali berbaring di sofa ruang tamu sambil membaca buku hasil pinjaman dari perpustakaan sekolah. Jika isi dari buku itu mampu membuatku terpukau, maka aku akan berimajinasi tentang bagaimana
Keesokan harinya di rumah sakit pukul 11:30, aku mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Esa yang masih redup. Aroma terapi yang mengoar dari disfuser tercium kuat sebelum sinar matahari perlahan menerobos masuk ketika aku bergeser pelan menyingkap gorden tinggi dari ujung ke ujung, membuat seseorang yang masih menyelimuti diri di atas ranjangnya tersebut sejemang membuka mata. Aku berdiri menunggu, membiarkannya secara mandiri mengumpulkan kesadaran.âMau jalan-jalan keluar?â tanyaku sambil berjalan mengambil sesuatu di dekat tas. Ia pun berkedip pelan. Mengamatiku meletakkan sepot kecil pohon mini di atas mejanya. Pohon itu langsung mendapatkan sinar matahari dengan cukup baik.âApa itu?â tanyanya. Aku pun mendengus menunjuk sesekali ke arah atensi. âBonsai kimeng,â kataku. Lalu duduk di sebelahnya. Ia pun membelalakan mata, mencoba bangun untuk menyandarkan punggung.âBisa sekecil itu?â tanyanya lagi. Aku mengangguk. âBisa.â Lalu kepalanya bergerak menunjukkan kepahaman. Berhasil
Terengah-engah. Seorang perawat membangunkanku dengan kuat dan menarikku untuk menjauh dari genggaman pasien. Tanganku terasa dingin ketika melihat matanya yang mencolok dalam kegelapan. Ia mengerang dan memberontak tak mau dipegang. Oh, Tuhan. Apa yang barusan terjadi? Bayanganku tadi sempat terbesit seperti saat Richie dengan posisi mengangkang setahun silam hingga tubuh ini tidak lagi bisa merasakan kaki yang terkulai lemas.âNggak apa-apa, mbak?â tanya Seorang Suster. Aku terkesiap, mengangguk. Berjalan mengikuti perawat Perempuan yang memapahku untuk keluar dari kamar, sementara erangan Esa perlahan meremang saat pintunya di tutup. Aku mengecek keningku yang lecet. Lalu kedua tangan memeluk pundak sendiri dengan perasaan yang sangat amat terluka. Aku menangis.***Tahukah kamu, kita dapat berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku seseorang melalui tindakan yang kita tunjukan kepada orang lain. Jika tindakan kita membuat orang lain terluka, maka besar kemungkinan orang terseb