"Oh, itu teman yang iseng. Kamu tahu sendiri 'kan teman-teman di kantor selalu meminjam ponselku," ucap lelaki itu. "Abang sudah menghubungi kembali, tapi tidak dijawab."
Wajahnya kembali berseri setelah memberi jawaban. Kedua wajah yang tadi menatapnya serius, mulai memudar. Ia pun duduk di samping istrinya dan mencoba memenangkan hati wanita yang sedang terbaring tersebut.Istrinya tetap saja merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Pasalnya, ketika dia mencoba menghubungi nomor suaminya kembali sudah di luar jangkauan.Untuk saat itu, dia tidak bisa membuktikan omongan suaminya benar atau tidak. Namun, dia harus membuktikannya suatu saat nanti. Instingnya lebih kuat daripada logikanya. Apalagi menerima alasan itu tanpa membuktikan sendiri.Saat itu kondisi tubuhnya sangat tidak memungkinkan untuk menampung banyak stres. Jadi, dia memutuskan untuk menghentikan sementara pertanyaannya yang terkesan investigatif.***Hari itu merupakan hari ketiga di ruang inap. Mereka mulai berkemas dan akan bersiap-siap kembali ke rumah.Ibu Maria sudah tiba sejak pagi untuk menemani putri dan cucunya pulang. Ia pun membantu mengemas semua pakaian mereka agar cepat selesai.Dua hari dia menemani putrinya di rumah sakit bersalin. Besannya hanya sekali mengunjungi mantunya kemudian pergi lagi karena sibuk. Itu yang dikatakannya saat akan pergi."Bu, ini ...." Dila menyerahkan sebuah kertas ke ibunya dengan sedikit berat hati dan tentunya menahan malu.Bu Maria meraih kertas yang diberikan oleh Dila. Ia menaikkan alis. Sebuah kertas tagihan administrasi di rumah sakit."Kamu tidak punya duit atau tidak minta ke suamimu, Dil?""Tadi, dia bilangnya pinjam dulu ke ibu. Dia belum punya duit." Suaminya sempat datang dan pergi lagi ke kantor, mungkin untuk meminta izin mengantar istrinya pulang."Lakimu itu emang gak benar. Dari awal ibu sudah sangat curiga. Masa lahiran kedua juga harus ibu yang bayar, Dil?" Bu Maria sudah naik pitam dan sangat murka."Mungkin nunggu gajian, Bu."Dila mencoba memberikan alasan agar ibunya tidak terlalu meninggikan suara di ruang tersebut. Ia khawatir beberapa perawat yang melintas akan mendengar, meskipun dia juga sudah kesal dengan sikap suaminya terkesan tidak merasa bersalah."Tapi, gak gini juga, Dil. Kalau dia tahu persalinanmu udah dekat, seharusnya dia sudah nabung. Masa, lahiran pertama dan kedua dia gak biayain persalinanmu? Okelah kalau persalinan pertama gak ada persiapan, tapi ini sudah kedua kalinya. Suami seperti apa dia? Di mana tanggung jawabnya? Pokoknya, ibu gak bisa diam kalau tentang masalah ini. Dia harus diberitahu." Bu Maria sudah berapi-api. Suaranya pun sudah menggelegar seperti yang dikhawatirkan Dila.Dila juga sangat kesal dengan sikap suaminya, yang selalu saja memberi alasan yang tidak masuk akal.Ke mana atau berapa sebenarnya uang yang dimiliki suaminya? Atau berapa gaji yang diterimanya?Uang bulanan pun, Dila hanya memegang dua juta. Ia tidak tahu berapa sisanya. Ia tidak pernah tahu.Dua juta di tangannya pun, Dila harus pandai menghemat untuk membagi kebutuhan dirinya, popok putrinya, dan semua kebutuhan dapur. Dila tidak pernah meminta ke ibu mertuanya, bahkan tidak berani karena malu.Justru, ibu mertuanya meminta Dila yang memesan gas jika habis.Radit tidak pernah memberitahunya, berapa gaji sebenarnya yang diterima oleh suaminya tersebut. Dila hanya menerima pemberian suaminya, karena biasanya Radit hanya meletakkan uang tersebut di atas nakas dekat tempat tidur. Biasanya, suaminya hanya memberitahu lewat WA atau pesan.Awalnya, dia tidak ingin berburuk sangka. Namun, lelaki itu semakin membuatnya bertanya-tanya dengan sikapnya yang seolah-olah menyembunyikan sesuatu jika ditanya tentang gaji."Kamu gak percaya sama Abang, Dek?"Itulah pertanyaannya yang selalu dilontarkan ke Dila. Istrinya pun tidak melanjutkan bertanya lagi, bila sudah diberi jawaban yang tepatnya pertanyaan balik untuknya.Ia masih bersabar dan tidak lagi untuk kesekian kalinya dibohongi."Assalamualaikum ...." Suara seseorang mengetuk pintu.Dila sangat mengenal suara tersebut. Suara seseorang yang sangat dia segani dan juga rindukan. Beberapa hari terakhir dia belum bertemu lelaki tua itu.Lelaki tua itu mendekat, "Bagaimana kabar, Nak?""Alhamdulillah, baik, Pak." Bapaknya baru saja menjenguknya karena berada di kampung halaman neneknya."Dia cantik seperti kamu, Nak." Pak Heri mendekati bayi mungil yang sedang berbaring di ranjang bayi. Ia tersenyum sambil menatap lebih dekat. "Cucuku yang cantik!""Ibumu ke mana?" Ia menoleh."Ke lantai bawah, Pak. Mungkin di ruang administrasi.""Suamimu masih di kantor?""Iya, Pak. Sudah sejam yang lalu."***Sekitar setengah jam, Dila tiba di rumah mertuanya. Ia diantar oleh kedua orang tuanya."Mari, Ibu bantu keluar dari mobil!"Dila berusaha, berjalan pelan hingga masuk ke dalam rumah. Rasa perih di perut masih sangat terasa. Di dalam rumah nampak sepi.Setelah memberi salam beberapa kali, mereka pun memutuskan masuk karena tidak ada jawaban. Kebetulan Dila memiliki kunci rumah.Dila sudah menduga jika ibu mertuanya sedang keluar. Biasanya waktu seperti itu, Ibu Santi, mertuanya sedang hang out bersama teman-teman sosialitanya."Rumah kok sepi, ya, Dil?""Iya, Bu.""Mertuamu ke mana?""Biasanya bertemu rekan-rekannya, Bu. Sebentar lagi pasti akan datang.""Kalau kamu ingin istirahat di rumah, beritahu Ibu, ya."Bu Maria mengkhawatirkan kesehatan dan kondisi putrinya. Apalagi hanya mereka bertiga di rumah tersebut. Sebenarnya, ia enggan akan meninggalkan putrinya sendiri."Iya, Bu. Dila memberitahu Bang Radit dulu.""Kamu gak apa-apa 'kan Ibu dan bapak tinggal sebentar?""Iya, Bu. Dila tidak kenapa-kenapa, kok. Dila akan hubungi Ibu kalau butuh sesuatu.""Ibu akan kembali lagi setelah menemani bapak. Kalau begitu, Ibu pamit dulu." Dila hanya mengangguk dan tersenyum.Dengan berat hati, Ibu Maria meninggalkan mereka. Ia berjalan mendekati cucunya, kemudian menunduk. "Jaga ibu dan adikmu, ya! Syifa jangan rewel." Sambil mengusap kepala gadis kecil di depannya."Iya, Nek. Syifa akan jaga adik Syifa."Anak kecil itu menjawab dengan tingkah polosnya. Ia sangat kegirangan melihat bayi imut di samping ibunya. Ia sangat antusias dan ingin memeluknya segera.Ibu Maria kembali ke mobil di mana suaminya menunggu.***Sementara itu di sebuah kantor, Radit sedang bekerja bersama teman-teman yang lain. Tiba-tiba, sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya.Ia melirik sebentar kemudian meraihnya. "Iya, Ma. Ada apa?""Radit, minggu ini kamu akan gajian 'kan? Tolong ditambahi ya, bulanan Mama. Soalnya, adekmu sakit lagi. Uang Ibu banyak yang terkuras karena si Nely. Belum lagi kebutuhan di dapur kadang Ibu makai uang Ibu juga," gerutu wanita tua di balik sambungan telepon.Radit bingung harus menambah dengan apalagi bulanan ibunya. Semua sisa gajinya ia berikan ke ibunya. Dia hanya memegang sekitar lima ratusan ribu. Ia sedikit ragu dan tidak punya pilihan selain harus memotong lagi jatah istrinya."Oke, Ma. Tapi, Radit udah berikan tanggung jawab ke Dila untuk kebutuhan dapur. Ibu hanya memakai uang yang kuberikan untuk keperluan ibu saja.""Kamu kayak gak tau aja istrimu. Pelit dan perhitungan! Udah, ya. Ibu mau matiin telepon."Radit hanya mengehla napas berat."Gaji kamu kan lima juta. Masih bisa ditambahin ke ibu lima ratus. Jangan terlalu banyak diberikan ke Dila. Ntar, dia boros," lanjut ibunya lewat sambungan telepon.Dila terkejut mendengar ucapan Ibu mertuanya. Mungkin mertuanya tersebut tidak menyadari jika Dila sudah lama berada di dalam rumah. Suaranya sangat besar sehingga Dila dapat mendengarnya dari dalam kamar."Jadi, ibu memfitnahku seperti itu di depan suamiku? Dan gaji Radit sekitar lima jutaan," gumam Dila dengan mata memerah.Dila menata gemuruh di dadanya. Dia tidak pernah menyangka ibu mertuanya yang selama ini baik padanya, hanya di depannya saja. Sesungguhnya Ibu Santi, mertuanya itu menjelek-jelekkan dirinya di depan Radit. Dila ingin membuka pintu dan melangkah keluar, tetapi dia urungkan, karena tiba-tiba sebuah notifikasi panggilan masuk. Ibu mertuanya itu menjawab kembali panggilan tersebut. "Iya, Dit!""Bu, Radit sudah transfer. Ibu jangan terlalu boros.""Oh, sudah transfer?" Matanya membulat. "Makasih, ya, Nak. Kamu memang anak ibu yang sangat berbakti." Ia sangat kegirangan. "Kok kamu nuduh ibu seperti itu, Dit?""Hanya peringatan saja, Bu. Radit khawatir jika tidak cukup gajiku yang akan aku kirim untuk Dila.""Iya, udah." Bu Santi cemberut dengan sikap putranya yang menuduhnya boros. Dila semakin terperangah. Bagaimana mungkin suaminya hanya mengirim uang untuk ibunya dan lelaki itu beralasan belum menerima gaji untuk membayar biaya operasinya. Wanita itu ingin marah saat itu juga, jik
Kening wanita itu semakin berkerut. Ia tidak menyangka dengan jawaban suaminya. Tidak diduga dia akan mendapatkan jawaban tersebut. Padahal, dia sudah tahu yang sesungguhnya. Ia hanya sengaja untuk mencoba kejujuran suaminya dan itulah yang didapatkan. Ia tidak mengerti lagi kenapa lelaki di depannya membohonginya. "Janji, ya, Mas. Besok ditransfer!" "Kamu kayak gak percaya Abang, Dil?" Lelaki itu merasa tersinggung. "Ya, aku hanya memperingatkan, Bang. Biaya kebutuhan bayi gak sedikit dan tidak bisa ditunda. Aku gak pegang duit lagi. Semuanya sudah habis untuk kebutuhan dapur di rumah ini.""Berarti benar yang ibu bilang kalau kau sangat boros?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Boros? Uang segitu apa cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah ini, juga kebutuhanmu? Asal Abang tau, aku disuruh memasak lauk pauk banyak di rumah karena kakakmu, Sela sering ke sini untuk membawa pulang beberapa lauk pauk itu ke rumahnya." Dila mulai tidak bisa menahan emosi karena dituduh boros
"Membentak? Apa aku gak salah dengar, Bang?""Kau tidak perlu berpura-pura, Dil. Aku sudah tahu seperti apa kau itu.""Abang terlalu cepat mempercayai sesuatu dan tidak menanyakan dulu padaku. Aku tidak terima difitnah seperti ini terus, Bang." Dila segera menutup panggilan telepon tanpa menunggu ucapan balik dari suaminya.Deru napas di dadanya naik turun. Jari-jarinya meremas ponselnya. Ia pun meletakkan ponselnya ke atas kasur dengan sedikit kasar. Rasanya sesak dan sakit mendengar orang-orang terdekat di rumah yang ditinggali itu menuduh apalagi menyalahkannya. Perasaan sabar yang ditahan tidak mampu lagi dibendung. Dila sangat marah karena ucapan suaminya dan juga fitnah ibu mertuanya. Kejam sekali Bu Susan memfitnahnya kemudian mengadu ke putranya. "Halo ... Halo .... Dila! Aku belum selesai berbicara .... "Huff, wanita itu sangat tidak menghargai siapa yang diajak berbicara," gumam Radit sambil meletakkan kembali ponselnya. Ia sudah mencoba, menghubungi, tetapi tidak dijawa
Sejurus kemudian, notifikasi pesan terbaru ke ponsel tersebut. Dila kembali menoleh untuk membaca pesan tersebut. Walaupun dia tidak bisa membuka ponsel tersebut dan membaca isi pesan secara keseluruhan, dia masih bisa membaca lewat notifikasi di depan layar. Pesan masuk masih dari emoticon bunga mawar tadi.[Aku sudah terima, Yang. Makasih, ya! Jangan bosan menyayangiku terus. Kamu memang sangat aku andalkan] emoticon memberi ciuman.Deru dadanya semakin bergejolak dan terasa panas. Pesan tersebut sangat jelas tertulis di sana. Dila semakin yakin kalau Radit pasti berselingkuh atau memiliki hubungan dengan suara wanita di sambungan telepon saban hari dan seseorang dengan nama ber-emoticon bunga mawar.Pintu kamar mandi bergeser. Lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah membersihkan badan. Ia berjalan, mendekati nakas dan meraih ponselnya. Ia mengetik sesuatu di layar benda pipih tersebut, kemudian meletakkannya kembali. Ia menuju lemari sambil sesekali bersiul. Wajahnya sudah be
"Bang Radit! Trus dia ngapain ke restoran?""Nah, itu dia, Dil. Mungkin kau akan terkejut, Dil. Aku juga syok lihatnya. Tau gak siapa yang dia temui?""Maksudmu gimana, Nit?"Tidak berselang lama, Nita mengirim beberapa gambar yang diambilnya ke ponsel milik Dila. Dugaannya beberapa hari terakhir semakin membuatnya yakin. Ternyata, Radit memiliki wanita selingkuhan. Wajah wanita di dalam foto tersebut masih sangat muda dan tidak terlalu tua. Jelas sekali di gambar tersebut mereka terlihat sangat mesra. Radit beberapa kali mengelus tangan wanita di depannya dan mencubit dagu sambil tersenyum.Mata Dila menatap tajam ke gambar kemudian memerah karena sakit. Namun, perasaan jijik mulai membentuk dari sudut bibirnya. Lelaki itu sangat tidak malu mempertontonkan perlakuannya di depan orang banyak. Dila kemudian menutup video yang belum selesai ditontonnya. Nita merekam juga selain mengambil gambar kedua insan yang sangat intim dan mesra itu."Dil, kamu baik-baik saja 'kan?" Nita merasa
Dila memasuki kamar di mana Asti dan kedua anaknya sudah lama menunggu di dalam. Asti sangat mengerti, sehingga membawa mereka agar tidak mendengar pertengkaran orang dewasa. Dila sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga suaminya padanya. Keberadaannya saja dianggap sesuatu yang tidak berguna. Ia merasa seolah orang asing di rumah keluarga suaminya sendiri. Ipar yang julid, mertua yang menusuknya dari belakang, dan suami yang tidak tahu diri dan bertanggung jawab. Ia merasa muak dengan semua yang penuh kepura-puraan. Diam terus akan semakin ditindas. Ia sudah tidak tahan dengan semuanya. Pilihannya dia harus menentukan sendiri."Dila, kamu kenapa semakin berubah seperti ini? Abang seperti tidak mengenalmu lagi." Radit memasuki kamar. Dia belum puas berbicara dengan Dila sehingga mengikutinya ke kamar. "Maaf, Non. Saya izin keluar!" Asti merasa tidak nyaman ikut campur dengan masalah majikannya. Ia pun memutuskan keluar dengan membawa Syifa dan baby Nisya ke kamar kosong yang
Dila sudah berdiri tepat di tengah pintu sambil melipat kedua tangannya di atas dada. Tatapannya sangat tajam."Bang .... Siapa yang Abang ajak bicara? Jadi, seperti ini yang kau lakukan di belakangku? Abang punya hubungan dengan seseorang "kan? Jujur ...." Suara Dila sudah meninggi, kemudian terjeda. Seketika, lelaki itu membalikkan badan dan menoleh ke Dila. "Ssst ...." Ia memberi isyarat dengan menempelkan telunjuknya ke bibirnya. "Jadi, gitu Wan caranya merayu agar hati istrimu luluh kembali." Radit seolah masih serius berbicara di dalam sambungan telepon. "Sudah dulu, Wan. Kita sambung lagi besok." Ponsel yang menempel di telinga sudah diturunkan.Dila mengernyitkan dahi. Dia sangat tidak mengerti."Tadi, teman sedang curhat. Dia minta saran bagaimana meluluhkan hati pasangannya. Mereka sedang tidak akur. Jadi, Abang hanya bantu sebisanya." Radit memberi penjelasan."Teman? Abang tidak berbohong 'kan? Aku sudah mendengar semua percakapanmu, Bang. Jangan berani menipuku." Dila m
Dila masih menatap foto tersebut. Pikirannya kembali membayangkan wajah wanita yang dibawa oleh Radit, kemudian membandingkannya. Ia sangat yakin mereka orang yang sama, hanya berbeda dari penampilan saja. Deru di dadanya memompa dan tidak menentu. "Ma, Papa dengan siapa tadi?" Dila menoleh pada putrinya sambil mengusap rambutnya. "Dengan ART yang akan membantu bersih-bersih di rumah nenek.""Kok, Mama sedih?""Tidak, Sayang." Dila buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin putrinya melihat kalau ibunya bersedih. Ia memikirkan nasib kedua putrinya di kemudian hari tanpa sosok ayah di samping mereka. Ia mulai memikirkan matang-matang tentang keputusannya. Keputusannya untuk berpisah nanti akan mengorbankan nasib kedua putrinya. Hal itu yang mulai mengganggunya belakangan ini.Radit semakin nekat. Dia mencoba untuk membohongi istri dan keluarganya. Namun ternyata, dia salah. Istrinya sangat mudah mengenal siasatnya. Mungkin juga karena lelaki itu tidak bisa men