Pandangan Milly terlihat kosong saat dia menjalankan tugas yang seakan menjadi tugas utamanya, foto copy semua berkas yang dibutuhkan oleh Zayn dan timnya. Well, bukan hanya itu saja sebenarnya. Sekali waktu, Milly juga harus mengurus tentang legalisasi dan perijinan lainnya.
Tidak menjadi masalah sebenarnya. Hanya saja, Milly seakan-akan tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan klien ataupun kasus secara langsung. Dalam waktu satu atau dua minggu dia masih maklum, tapi dia sudah hampir dua bulan di sini, dan masih belum ada tanda-tanda dia naik pangkat pada pekerjaannya.
Helaan napas terdengar lagi darinya. Berkas foto copy-an yang nanti akan dibagikan saat meeting kasus terbaru yang sedang ditangani oleh Zayn dan tim terlihat menumpuk di sudut meja, dekat Milly berdiri.
“Kau belum selesai juga?” tanya Jeremiah, rekan pengacara lain yang bertugas untuk urusan perceraian dan kasus rumah tangga lainnya. Beberapa tumpuk kertas telah berada di dekapannya.
“Masih ada beberapa lagi yang harus dicopy. Kau sudah selesai?” tanya Milly balik.
Jeremiah mengangguk sambil menunjukkan lembaran kertasnya. “Aku harus pergi dulu. Ada sidang siang ini. Semangat, Milly!” ucapnya sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan ruangan.
Milly mendesah panjang. Bayangannya tentang persidangan semakin membuatnya kesal. Alih-alih sibuk untuk menyiapkan sidang dan membela kasus, saat ini dia justru masih bergulat dengan bahan untuk meeting.
Bip bip bip, alarm dari mesin foto copy berbunyi, disertai dengan kedip merah di lampu indikator. Ah sial, kertas pun ikut habis saat dia harus buru-buru mengerjakannya.
Milly membuka gudang penyimpanan yang masih berada pada satu ruangan tempat dia melakukan tugas negaranya. Tumpukan kertas baru dan peralatan ATK lainnya tampak tersusun rapi di rak yang hampir memenuhi ruangan. Tangan Milly meraih satu kotak kertas berukuran A4 yang berada di rak atas. Kakinya berjinjit karena posisi rak tempat penyimpanan kertas itu lebih tinggi dari kepalanya.
“Siapa yang menaruh kertas di rak paling atas? Menyusahkan saja!” gerutunya.
Tangannya berhasil menggapai kotak kertas itu. Namun sial, kakinya yang bertumpu di atas high heels tidak menapak sempurna saat Milly harus menahan beban dari kota kertas itu. Akhirnya, dia terjatuh dengan kotak kertas yang menimpa kepalanya.
“Aduh!” pekiknya.
Matanya melirik kotak yang telah terbuka. Dua pack kertas yang masih tersegel terlihat menyembul dari dalam. Belum lagi beberapa barang lain yang ikut terjatuh dari rak saat tubuhnya tidak sengaja menyenggol saat terjatuh “Siapa pun yang menaruh kotak kertas di rak itu, dia pasti berniat untuk membunuh seseorang!” erangnya, sambil membereskan kerusuhan yang baru saja dia lakukan.
Kepala Milly masih terasa pening saat dia kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Saat dia meraba kepalanya, seperti ada benjolan kecil di bagian yang terhantam kotak. “Aku akan meminta kompensasi kalau sampai gegar otak,” sungutnya lagi.
Lagi-lagi Milly mendesah kesal. Sudut matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lima belas menit lagi sebelum meeting berlangsung. Dia harus segera menyelesaikan ini dan menatanya di ruang meeting sebelum Zayn dan tim masuk ke ruangan.
“Hei, kau butuh bantuan?” Rey tiba-tiba melongok di pintu, kemudian berjalan menghampiri Milly.
“Sudah selesai. Tinggal merapikan dan menatanya di ruang meeting.”
Rey mengambil lembaran berkas yang telah selesai dirapikan oleh Milly. “Aku bantu bawa yang ini, ya. Sampai bertemu di ruang meeting,” ucapnya sebelum berlalu.
Milly menghela napas. “Sampai kapan aku melakukan pekerjaan ini?”
***
Seusai meeting, Milly berpikir keras di ruangannya. Dia merasa pembagian tugas ini tidak adil. Bahkan, tadi saat meeting dia tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Tatapan Zayn juga masih dingin padanya.
Padahal dia sudah berusaha untuk menerapkan saran dari Rey untuk tidak peduli, tapi tetap saja rasanya ada yang mengganjal. Dia tidak bisa terus-terusan berada dalam hubungan pekerjaan yang seperti ini.
Pada akhirnya, Milly memantapkan hatinya untuk menemui Zayn guna membicarakan masalah ini. Ah tidak, urusan perasaannya bisa dibicarakan lain hari. Hal terpenting yang harus dia tanyakan adalah tentang job desk pekerjaannya. Milly benar-benar tidak rela jika dia tidak diperbolehkan berhubungan langsung dengan kasus dari klien.
Langkah Milly terhenti di sebelah ruangan Zayn. Mendadak, kemantapan hatinya yang tadi sudah bulat menjadi memudar. Berkali-kali dia menelan ludahnya dan menghela napas panjang. Bayangan raut wajah Zayn yang terlalu menyeramkan baginya menjadi penyebab utama menyusutnya keberaniannya.
Ayo, Milly! Ini demi masa depanmu!
“Ada perlu apa?” Zayn mengawali percakapan mereka dengan sinis saat Milly masuk ke ruangan seusai mengetuk pintu.
Nyali Milly sedikit menciut, tapi dia berhasil menguasainya. Matanya yang berwarna amber terarah pasti pada Zayn, dengan kedua telapak tangannya yang saling bertaut. Langkahnya cepat menuju ke depan meja kerja Zayn.
“Ada hal yang ingin aku diskusikan denganmu,” ucap Milly tegas.
Zayn menoleh, sambil memicingkan kedua matanya. “Hal apa? Cepat katakan, aku sibuk!”
Dada Milly bergemuruh, tapi dia berusaha menahan semua egonya demi kemajuan karirnya. “Mengenai job desk yang kuterima—”
“Sudah jelas, bukan? Kau membantu semua hal yang berkaitan dengan jalannya kerja tim. Apa lagi yang mau kau diskusikan?” ucapan tajam Zayn berhasil mengiris sedikit demi sedikit kesabarannya.
“Tentang itu … memang sudah jelas. Tapi, sampai kapan aku hanya bertanggung jawab atas semua hal yang berkaitan dengan berkas?”
Zayn menatap tidak suka pada Milly. Sejak pertama kali mereka bertemu, perasaannya tetap tidak berubah. Semua hal yang dilakukan gadis itu tetap terlihat salah di matanya.
“Jangan banyak protes, dan lakukan tugasmu dengan benar. Sekarang, keluarlah dari ruanganku.”
Milly menggigit bibir bawahnya, dia tidak rela kalau harus pergi begitu saja. Keinginannya belum tersampaikan dengan benar. Zayn terus memotong kalimatnya dengan dingin.
“Kau tidak dengar?” Zayn menjentikkan jarinya di depan wajah Milly.
Milly mengerjap, kemudian menghela napas sekali. Tangannya yag tersembunyi di balik meja mengepal kencang. “Aku dengar, tapi masih ada satu hal yang ingin kutanyakan lagi.”
Zayn mendengkus sebelum meletakkan berkas perkara yang dari tadi dia pegang ke atas meja. Pandangannya kembali terarah tajam pada Milly.
“Kapan aku bisa berurusan langsung dengan klien? Maksudku, kau adalah mentorku. Tapi selama ini aku belum mendapat pelatihan secara pribadi. Aku hanya menerima perintah untuk foto copy, legalisasi, dan urusan perijinan lainnya,” ucap Milly sebelum Zayn memotong perkataannya lagi.
“Itu semua juga bentuk pelatihan dariku. Kau harus mulai dari hal terkecil dulu. Jika hal terkecil saja tidak bisa kau lakukan, bagaimana bisa untuk menjalankan hal yang lebih besar?”
Jawaban Zayn tidak membuat Milly puas. “Tentu saja, kau benar soal hal kecil dan besar itu. Hanya saja, aku bertanya-tanya, kapan aku bisa menjalankan peranku sebagai pengacara di sini?”
Zayn tersenyum sinis sambil memandang remeh pada Milly. “Kurasa, kau tidak cocok menjadi pengacara.”
“Tidak cocok?” desis Milly berkali-kali saat melangkahkan kakinya ke arah halte bis yang tidak jauh dari area firma. Hah! Apa yang membuat orang itu bisa mengatakan aku tidak cocok menjadi pengacara? Sialan! Sepanjang jalan, Milly mengomel dan mengumpat dalam hati. Bahkan saat dia masuk ke apartemennya, hatinya masih terasa kesal karena ucapan Zayn padanya tadi.“Apa yang dipikirkan oleh orang itu? Bagaimana bisa dia menilaiku tidak cocok menjadi pengacara?!” Milly melempar kesal tasnya ke atas ranjang. High heels yang biasanya selalu ditata rapi di rak sepatu dekat pintu, kali ini juga dibiarkan tergeletak begitu saja. Dalam pikirannya sekarang, dia terus mencoba untuk mengingat-ingat hal apa yang telah dia lakukan sampai Zayn mengatakan hal itu.Semakin dipikir lagi, Milly tidak menemukan alasannya. Meskipun pembagian tugasnya selama ini tidak dia sukai, tapi dia tetap melakukannya dengan baik. Bahkan Rey dan yang lain memuji hasil kerjanya yang teliti dan tepat waktu. Karena itu, k
Sepanjang malam, Milly masih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini pada Zayn. Bukan karena Milly peduli dengan cara pandang Zayn terhadapnya, tapi dia tidak terima kredibilitasnya sebagai pengacara menjadi taruhan karena dia dianggap tidak becus hanya perkara Zayn pernah melihatnya melawan seorang pria. Sebelum tidur, Milly bertekad dalam hati besok, dia harus berhasil untuk menjelaskan hal ini pada Zayn.Keesokan hari, Milly cepat-cepat ingin ke kantor. Gadis itu tidak sabar ingin bertemu dengan Zayn. Dia ingin menjalankan misinya yaitu menjelaskan pada Zayn tentang kejadian di kafe waktu itu.“Zayn, tunggu!” seru Milly memanggil.Zayn menoleh sebentar, sebelum buru-buru membuka pintu ruangan dan menerima panggilan di ponselnya. Milly berhenti di depan ruangan Zayn sambil mendesah kesal. Usahanya kembali gagal karena dia tidak mungkin mengganggu Zayn yang sedang membicarkan masalah kasus dengan klien.Suasana hati buruk, Milly memutuskan untuk pergi ke pantry
“Baik, terima kasih untuk waktunya. Kami pasti akan berusaha keras untuk memenangkan kasus Anda. Untuk semua hal yang diperlukan, proses kedepannya, akan saya hubungi via telepon,” kata Zayn sambil menjabat tangan klien yang telah siap untuk meninggalkan café.“Terima kasih banyak atas bantuannya. Selamat siang.” Klien itu tersenyum puas, kemudian berlalu meninggalkan Zayn dan Milly yang berdiri dan tersenyum ramah.Milly menoleh pada Zayn, tapi pria itu melengos dan melangkah keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Milly. Melihat itu, Milly segera menyambar tasnya dan berlari kecil menyusul Zayn. Tidak lupa, dia berterima kasih pada waitress yang tadi telah membantunya.“Zayn. Tunggu!” seru Milly cepat.Zayn menoleh dengan raut wajah kesal. Tatapannya tajam terarah pada Milly, yang berlari menghampirinya. “Kau mau merencanakan apa lagi sekarang?”Milly menghela napas. “Tunggu, aku mau menjelaskan hal ini padamu. Aku terpaksa merencanakan ini semua karena kau sama sekali tidak m
Milly mendongak saat Rey mengetuk pintu ruangannya. “Hei, masuklah,” ucapnya sambil tersenyum lebar.Rey masuk, kemudian menutup pintu dan duduk di depan meja kerja Milly. “Bagaimana kemarin? Aku tidak sempat bertanya padamu karena sibuk dengan berkas klien,” tanya Rey penasaran.Milly menghela napas panjang, menyipitkan matanya pada Rey. Dia mengingat jawaban Zayn kemarin yang membuatnya tidak habis pikir. “Kurasa gagal. Dia tetap tidak suka padaku meskipun aku sudah mencoba menjelaskannya berkali-kali.”“Sama sekali tidak berhasil?” tanya Rey lagi.Milly menggeleng dengan raut frustrasi. “Kau tahu? Kemarin aku ditinggal begitu saja di sana!”Rey meringis, dia jadi mengingat percakapannya dengan Zayn kemarin. “Mungkin, dia terlalu buru-buru sampai melupakanmu.”Milly tersenyum sinis. “Kau terlalu berpikiran positif padanya, Rey. Semua caramu sudah kulakukan, tapi tampaknya dia memang benar-benar tidak menyukaiku. Bukan perkara aku anak baru atau apa pun itu, dia hanya tidak suka deng
“Selamat pagi!” sapa Milly riang saat baru tiba di firma.“Pagi, Milly, kau terlihat bersemangat sekali,” ucap resepsionis membalas sapaan Milly.Milly tersenyum lebar. “Kau benar, hari ini aku bersemangat sekali! Aku masuk dulu, selamat bekerja,” ucapnya sambil melambaikan tangan.Milly bersungguh-sungguh dengan harinya yang bersemangat. Sejak kemarin, saat Zayn memintanya untuk menjadi asisten, semangatnya untuk berangkat bekerja menjadi berkali-kali lipat.“Kau siap untuk hari ini, Milly?” tanya Rey yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Milly berjingkat terkejut, kemudian memukul lengan Rey yang tertawa. “Kau mengejutkanku! But, Iya, aku siap untuk hari ini!”Rey menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh saat melihat kilatan semangat dari mata Milly. “Well, good luck Tunjukkan kinerjamu dengan sebaik-baiknya. Kau tahu aku mendukungmu, kan?”Milly mengangguk penuh semangat. “Tentu saja, percayakan padaku!”Saat itu, Zayn tiba di firma. Dia menahan senyum di wajahnya saat
“Kau tahu apa yang terjadi kalau aku tidak sempat menangkapmu tadi?!” sentak Zayn dengan nada satu oktaf lebih tinggi.Milly menggigit bibir bawahnya. Tentu saja dia akan celaka jika sampai Zayn tidak cepat meraih tangannya. Lebih parahnya lagi, nyawanya bisa saja melayang. Tiba-tiba saja, darahnya berdesir saat membayangkan jika dirinya benar-benar jatuh ke bawah.Milly menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis bayangan itu dari dalam pikirannya. “Maafkan aku, lain kali aku akan lebih berhati-hati lagi,” ucapnya sambil menurunkan nada bicaranya karena tatapan Zayn masih terus terarah tajam padanya.Zayn menghela napas panjang. Dia menatap geram pada Milly. “Pastikan kau selalu berhati-hati setelah ini. Jangan melakukan hal yang berpotensi membuatmu celaka. Mengerti?!”Tanpa menjawab lagi, Milly mengangguk, kemudian segera mengambil bukti foto body harness yang masih menggantungi salah satu besi, tempat korban terjatuh. Body harness yang telah usang terlihat putus di tali penyanggany
Sudah lebih beberapa tahun terakhir ini Zayn menempati sebuah penthouse di gedung apartemen yang berada tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah mandi dan berganti pakaian, Zayn duduk menikmati kopi sambil melihat pemandangan kota Manhattan yang mulai menggelap.Setelah penat seharian, apalagi hari ini dia harus bertemu dengan klien sendirian karena Milly izin setengah hari untuk pindahan, akhirnya Zayn bisa menikmati waktu sendiri di dalam penthouse nya yang selalu disebut sebagai ‘me time’ yang menurutnya paling nyaman.Zayn menghela napasnya panjang. Kepulan asap dari kopi yang baru diseduh menciptakan aroma yang sangat dia sukai. Dari semua hal yang ada di dunia, kopi adalah satu hal yang membuatnya paling bersemangat.Dia bahkan memiliki beraneka ragam alat drip coffe dan sebuah mesin kopi manual yang sering digunakan di coffe shop, serta mesin kopi otomatis saat dia sedang tidak ada waktu untuk menyeduhnya secara manual. Meskipun pada akhirnya, dia lebih sering membeli di café
Milly masuk ke ruang sidang dengan dada berdebar, campuran antara rasa antusias dan gugup. Laporan pernyataan dari para pekerja yang berada di dalam map besar berwarna cokelat yang dia dekap, menjadi senjata perangnya. Di kursi pengunjung sidang deretan paling belakang, tampak Zayn yang akan memantau jalannya sidang kali ini.Satu jam awal berlangsungnya sidang masing terlihat aman. Sampai pada saat pengacara pembela dari pihak perusahaan mulai menyerang pembelaan dari Milly sebagai pengacara dari pihak korban.“Kita akan berbicara tentang standard safety yang wajib dijalankan oleh semua pelaku usaha. Dari hasil investigasi yang telah tim kami lakukan di lapangan, jelas terbukti kalau perusahaan kontruksi lalai akan hal itu—”“Maaf, Yang Mulia. Tapi menurut dari apa yang menjadi bukti di berkas yang telah saya lampirkan, perusahaan telah melaksanakan standard safety dengan benar dan sangat lengkap!” potong pengacara lawan yang saat ini tengah menatap Milly dengan pandangan berapi-api.