Share

Cuti

Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.

Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti.

Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya tidak berarti apapun, itu justru berkembang menjadi spekulasi lain.

"Apa Tuan Zeon orang yang seperti itu?"

"Dia pasti bermain kasar sampai membentur kursi!"

"Jangan berkata buruk tentang Tuanmu sendiri," kata juru masak menengahi.

"Aku hanya menebak." Pelayan bernama Ana itu menghindari tatapan juru masak.

"Simpan saja dalam hatimu, tidak perlu dikatakan. Kamu menimbulkan fitnah."

***

Sore itu, Melva merasa sudah lebih nyaman untuk bergerak, dan dia sedang menikmati camilan sambil duduk di dekat jendela kamar ketika ponselnya berdering. Helena, sahabatnya, menelepon.

"Hei, kenapa apartemenmu ada orang lain? Kamu pindah dan tidak bilang padaku?" tanya Helena dengan nada tinggi, dia pasti marah. Suaranya tidak teredam meskipun terdengar suara kendaraan bising di latar belakang.

Bola mata Melva membesar, dan dia menepuk keningnya. Tentang pemindahannya ke rumah Zeon, dia lupa memberitahu Helena. Melva memberikan cerita singkat tentang pemindahannya pada Helena, dan kemudian terdengar keheningan di ujung telepon. Helena kehabisan kata-kata. Mengapa seorang asisten pribadi perlu tinggal bersama atasannya?

"Ayo bertemu, aku butuh penjelasan lebih."

Mereka setuju untuk bertemu di kafe yang terletak dekat dengan kompleks perumahan Zeon. Helena tercengang melihat kompleks tersebut ketika dia tiba di gerbang untuk menjemput Melva.

Dua penjaga keamanan berpostur kekar siap sedia di gerbang, memberikan kesan bahwa mereka siap menghadapi setiap kemungkinan penyusup.

Helena menggeleng-gelengkan kepala, membayangkan betapa mahal dan mewahnya rumah-rumah di sana. Berapa biaya listrik untuk tiap bulannya? Helena sejenak melupakan dirinya yang juga anak orang kaya. Dan fakta bahwa sahabatnya sekarang tinggal di sana bersama atasan membuatnya semakin kagum.

"Kamu berhasil memikatnya begitu cepat," kata Helena setelah menyesap minumannya. Dia mengedipkan mata kepada Melva.

Keduanya kini duduk di sebuah kafe yang nyaman, dengan suasana yang hangat dan lampu-lampu remang. Sebuah hiasan tanaman hijau mempercantik sudut ruangan, memberikan sentuhan alami pada dekorasi interior kafe.

"Aku tidak memikatnya, dia yang mengikatku," jawab Melva dengan nada kesal, meneguk minumannya dengan gerakan cepat. Dia langsung menggunakan tangannya untuk mengusap setetes air yang lolos dari mulutnya.

"Wow, kamu punya bakat," Helena masih melontarkan kalimat-kalimat leluconnya, dia bahkan bersiul sekarang. Namun, melihat raut Melva yang semakin kesal sejak topik tersebut muncul, dia sadar bahwa saatnya untuk berhenti bercanda dan menjadi lebih serius. Helena mengubah postur tubuhnya, duduk lebih santai di kursinya.

"Apa alasan dia membuatmu pindah tinggal dengannya?" tanya Helena dengan serius.

"Aku tidak tahu," jawab Melva sambil mengangkat bahunya.

Semakin dia berpikir, semakin dia tidak mengerti maksud sebenarnya Zeon, jadi dia memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Helena merasakan kebingungannya. Apakah itu cinta pada pandangan pertama? Tampaknya tidak. Meskipun ada perasaan tertentu yang terlibat, apakah Zeon akan langsung mengundang seseorang untuk tinggal bersamanya? Helena meragukannya.

"Kamu akan diperintah macam-macam olehnya."

Melva menggeleng, "Tidak, atau mungkin belum."

"Apa dia protes lagi selain kejadian lipstik itu?" Helena menunjuk wajah Melva, Melva menurunkan telunjuk Helena. Dia sedikit malu saat beberapa kepala menoleh pada mereka.

"Sejauh ini belum, dia justru terlihat... perhatian?"

Helena menepuk tangan sekali, dia sangat senang saat berkata, "Bagus! Kita bisa double date."

"Berhenti membawa topik itu. Dia menganggap aku seperti anak kecil. Dia melarangku makan camilan di malam hari dan memberikan aku susu kotak sebagai gantinya."

"Aw, kamu memang lucu mirip anak kecil." Tangan Helena terulur lagi, dia mencubit masing-masing pipi Melva. Sedetik kemudian wajahnya nampak sedih, "Lalu bagaimana jika aku ingin menginap? Kamu bilang bahkan memasuki kompleks itu membutuhkan akses pengenal?" Helena mengeluh tentang keterbatasan pertemuan mereka.

"Ya, mau bagaimana lagi?" Melva mengeluh mirip dengan Helena. Dia mengusap pipinya setelah Helena melepaskannya.

Ekspresi Helena berubah lagi, dia menelisik, "Apakah kamu tidak takut menjadi bahan gosip di rumah itu? Bagaimana dengan orang tuanya?" tanya Helena.

Melva menghela nafas panjang. Dia akhirnya mencapai titik di mana dia harus menceritakan semuanya. "Aku sudah digosipkan sebagai wanita penggoda. Dan tidak, Zeon tinggal sendirian. Aku tidak tahu apa-apa tentang orang tuanya. Zeon juga bukan tipe orang yang akan memberi tahu segalanya pada orang baru sepertiku," ujarnya.

Mendengar itu, Helena menjadi sedikit marah. "Mereka tidak tahu bahwa bosmu yang tertarik padamu! Tidak apa-apa, mereka akan melihat sendiri siapa yang lebih ingin tinggal bersama," Helena menyemangati.

Itu benar. Melva tidak pernah terlihat menggoda Zeon, malah sebaliknya, Zeon sangat perhatian padanya. Orang-orang yang dengki hanya akan menyalahkan orang yang tidak disukainya, tanpa mau menerima fakta bahwa orang itu tidak bersalah.

Helena bergelayut manja di lengannya, enggan untuk berpisah dengan Melva, dia telah mendapat panggilan dari kantor. Mendapat tatapan orang-orang di depan kafe, Melva mendesaknya sampai Helena melepasnya.

Setelah Helena pergi, Melva memilih untuk tinggal lebih lama di kafe. Setelah menghabiskan minumannya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi. Saat dia berjalan di trotoar, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Melva mengenali mobil itu dan menghentikan kakinya, menunggu seseorang keluar.

Zeon membuka pintu, mempersilahkannya untuk masuk. Mereka duduk diam di kursi penumpang. Zeon tidak bertanya tentang kepergiannya atau siapa yang ditemuinya, dan hanya ada hening sepanjang perjalanan. Atmosfer terasa dingin, sopir di depan mematikan radio hingga ke suara terendahnya. Suara dalam mobil semakin hening.

"Bagaimana pinggangmu?" tanya Zeon akhirnya.

"Sudah membaik, aku bisa bergerak lebih bebas. Besok aku bisa kembali bekerja," jawab Melva, membuat Zeon mengangguk puas. Melva merenung, apakah reaksi Zeon itu ditujukan pada pemulihan lukanya atau pekerjaan yang akan dia lakukan besok?

Mobil memasuki gerbang rumah. "Setelah makan malam, datanglah ke ruang kerja," kata Zeon.

Melva mengangguk tanpa banyak bicara.

Sesuai permintaan, Melva menaiki tangga menuju lantai dua, memasuki wilayah Zeon untuk pertama kalinya, dia memeriksa sekitarnya. Dia berdiri di depan pintu ruang kerja Zeon beberapa menit sebelum akhirnya mengetuk pintunya. Terdengar suara sahutan dari dalam, Zeon mempersilakannya masuk. Zeon menarik kursi yang tadinya didudukinya dan menyuruh Melva duduk di sana.

Melva merasa kecil saat duduk di kursi tersebut, dengan Zeon berdiri di sampingnya, Melva semakin merasa seperti seorang bos kecil. Dia menaikkan kepalanya, membayangkan Zeon sebagai bodyguard-nya. Melva menggelengkan kepala, menolak pikiran tersebut.

"Aku akan mengajari pekerjaanmu," kata Zeon. Dia membungkuk, membuka tumpukan dokumen, dan menjelaskannya pada Melva. Melva sampai harus membuat catatan di buku untuk mempelajarinya nanti.

"Itu salah, kamu harus menulisnya seperti ini supaya mudah dibaca." Zeon menyela tulisan Melva. Zeon semakin membungkuk, mempersempit jarak di antara mereka. Dari jarak ini, Melva mencium aroma pria itu. Dia mengintip melalui sudut matanya, melihat dagu Zeon hanya beberapa senti dari wajahnya. Melva merasa pipinya memanas tanpa disadari.

"Lanjutkan, aku akan turun sebentar," ujar Zeon sebelum menghilang di balik pintu.

Begitu Zeon pergi, Melva menurunkan keningnya ke meja. Dia merasa sangat mengantuk. Membaca begitu banyak huruf dalam dokumen membuat matanya semakin berat. Dia masih bisa mencium sisa-sisa aroma Zeon di sekitarnya. Tiba-tiba, Melva tersadar dan menampar pipinya sendiri

"Sadarlah!" gumamnya berkali-kali.

Ketika Zeon kembali, Melva sudah tertidur dengan pipinya menempel di meja. Jika dibiarkan lebih lama, bekas tekanan itu pasti akan terlihat.

Zeon memandanginya, membatin, "Kenapa kamu begitu mudah tertidur? Bagaimana jika kamu terlelap di tempat umum dan diambil oleh orang jahat?" Pikiran itu membuat Zeon semakin khawatir, dan dorongan untuk melindungi Melva semakin kuat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status