Cuaca Sabtu sore masih terasa panas. Dengan langit yang terbakar sinar jingga senja, Melva duduk santai di teras samping rumah. Di tangannya, dia memegang cup eskrim ukuran medium dengan tiga rasa favoritnya: vanila, cokelat, dan stroberi. Dia menyesap eskrim itu dengan nikmat, sambil memandang taman belakang yang terkena sinar matahari senja yang hangat, menciptakan bayangan-bayangan panjang di atas rumput yang gembur.Melva duduk dengan santai, menumpukan kakinya yang telanjang di kaki yang lain. Pakaiannya simpel: hanya kaus putih polos dan celana pendek senada, rambutnya yang panjang dan sedikit bergelombang dicepol asal-asalan, tergerai agak liar oleh angin senja yang lembut. Dia merasakan hangatnya sinar mentari yang bersembunyi di balik pohon-pohon di halaman belakangnya.Saat Melva masih menikmati eskrimnya, terdengar suara mendesis dari dekatnya. Seekor lebah terbang mendekat, mengganggu kedamaian senja yang sejenak dia rasakan. Melva menoleh dengan cepat, mencari sumber suar
Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku.""Aye aye thanks kakakku.""Langsung pulang?""Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin."Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama.Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang.Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya.Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up."Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu.""Ugh, okay."Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya.Hari ini adalah perayaan wisu
Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini. Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya. Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia? Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia." Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena. Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita. Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara. "A
"Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali." Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3. Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena. Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan te
Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas. Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru
Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon. Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini."
Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon. Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan?Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur.Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini."Aku masih tidak m
Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg