Share

Wawancara Kerja

Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini.

Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya.

Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia?

Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia."

Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena.

Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita.

Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara.

"Aku akan menyiapkan pakaian untuk dipakai nanti. Selamat tinggal!"

Melva meletakkan ponselnya di kasur, lalu berdiri di depan lemari pakaiannya, membukanya dan menelisik segala isi di dalamnya.

Menyentuh dagunya, Melva menimbang-nimbang apa yang akan dia pakai nanti siang.

Mengingat ini adalah acara formal dimana Melva harus memperhatikan penampilannya sebagai nilai tambahan. Melva lumayan menyukai fashion.

Sudah sering baginya memadukan atasan dan bawahan serta aksesoris modis ketika akan berpergian. Namun tentu berbeda di kondisi sekarang. Dia akan wawancara kerja, harus rapi dan enak dipandang.

"Kemeja ini terlalu mencolok."

Melva melewati kemeja yang berwarna terang dan bercorak.

Kemeja yang akhirnya dipilih Melva adalah kemeja katun berwarna putih. Kemeja ini memiliki kerah klasik dan potongan slim fit. Kancing berwarna putih sesuai dengan arna dasar kemejanya. Untuk celana, Melva memilih celana hitam yang terbuat dari bahan katun twill yang ringan dan nyaman. Celana ini memiliki potongan slim dengan sedikit stretch Hinga memberikan fleksibilitas. Melva meletakkan setelan itu di atas kasurnya setelah disetrika.

Lalu dia berpindah ke dapur.

Kulkas hanya berisi sayur sisa kemarin dengan beberapa butir telur. Melva mengambil dua roti gandum lalu memanggangnya. Menyetel toaster di satu menit.

Sambil menunggu, dia menggoreng telur dan beef, lalu mencuci selada.

Roti selesai dipanggang, Melva menyusun isiannya sebelum ditutup dengan roti satunya.

Melva memutuskan makan nasi setelah wawancara. Dia khawatir akan kekenyangan jika makan berlebihan.

Selesai menghabiskan sandwich, Melva bergegas mandi. Hanya butuh empat puluh menit untuk bersiap termasuk make up. Melva menarik nafas sambil memegang gagang pintu. Dia memastikan tampilannya lagi sebelum dengan yakin membuka pintu dan keluar dari apartemennya.

Taksi pesanannya telah sampai, Melva memberitahukan tujuannya, taksi melaju bersama kendaraan lain. Melva sudah memperkirakan waktu kehadirannya. Dia akan datang seperempat jam sebelum wawancara.

Bahunya hanya santai saat taksi melaju mulus tanpa macet. Netranya menatap jendela, memandang gedung-gedung besar berjejeran. Melva terlihat santai, namun ketika taksi berhenti di depan gedung dengan nama perusahaan yang terpampang jelas, degup jantungnya tidak bisa berbohong. Semua pengalaman pertama pasti akan sangat mendebarkan.

Melva menarik nafas lagi dan mengulas senyum. Dia membayar ongkos lalu keluar dari taksi.

Melva memasuki lobi perusahan yang luas dan modern. Dindingnya dilapisi panel kayu yang elegan. Karya seni modern dan foto-foto perusahaan yang menggambarkan sejarah dan pencapaian perusahaan tersebar di dinding.

Sebuah layar monitor besar dipasang di dinding untuk menampilkan informasi terkini dan pengumuman penting. Di sudut ruangan terdapat area lounge kecil dengan sofa dan kursi, dilengkapi meja dan tanaman hias. Sebuah rak majalah dan buku-buku tersedia di sampingnya.

Di tengah ruangan terdapat meja resepsionis dengan logo perusahaan terpampang di belakangnya. Seorang resepsionis duduk di balik meja.

"Permisi, saya kandidat untuk posisi Personal Asisten yang telah dijadwalkan wawancara siang ini."

"Sebentar saya cek dulu ya."

"Oh, silakan."

Resepsionis bergerak cepat membaca informasi kunjungan yang akan datang, pandangannya berhenti pada acara wawancara oleh pemilik perusahaan. Segala tamu penting yang akan datang secara khusus akan terjadwal dan sampai pada resepsionis. CEO perusahan ini tentu sangat sibuk.

"Dengan Melva Karenina Putri?"

"Benar."

"Terjadwal jam satu siang, saat ini kantor sedang istirahat makan siang. Namun anda bisa menunggu di kursi tunggu yang disediakan di depan ruang wawancara. Anda bisa naik ke lantai tiga, jalan lurus ke kanan. Dua ruang sebelum ujung adalah ruang wawancara."

"Terimakasih."

Melva mengikuti instruksi, dan duduk setelah sampai di depan ruang wawancara. Dia memberi kabar pada Helena situasinya saat ini.

Seorang perempuan berambut pendek menghampirinya, menyapa lalu bertanya namannya seperti yang resepsionis lakukan.

Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai sekretaris CEO. Melva setidaknya telah mencari informasi tentang perusahaan ini, juga yang akan jadi atasannya nanti. Pria berusia tiga puluhan. Masih sangat muda untuk berada di posisi CEO.

Sekretaris yang bernama Rere itu mempersilakan Melva masuk dan menunggu di dalam. Lalu Melva kembali sendirian di ruang wawancara.

Selang dua menit, pintu terbuka dan menampilkan pria dengan tinggi sekitar 180 cm. Dengan balutan jas beludru hitam dan celana senada, dia bisa memikat siapa saja meski raut wajahnya sangat membuat ketakutan bagi siapapun yang mendekatinya. Termasuk Melva. Dan dia akan memiliki interaksi dengannya lebih banyak jika diterima di perusahaan ini.

Tanpa sadar, Melva meneguk ludahnya sendiri.

Melva berdiri, membungkuk untuknya sebelum memperkenalkan diri.

"Selamat siang Pak, saya Melva Karenina Putri yang akan melakukan wawancara."

"Saya Zeon."

Zeon duduk dan menatap Melva yang juga sudah kembali duduk.

Ruang wawancara memiliki satu meja dan dua kursi saling berhadapan. Satu tanaman hias di pojok. Dan sebuah laci penyimpanan di sampingnya. Ruang ini sengaja dirancang hanya untuk wawancara antara dua orang.

Melva masih mempertahankan senyumnya sejak kedatangan Zeon. Namun Zeon hanya menatapnya menelisik tanpa berkedip. Melva jadi berpikir apa riasannya terlalu berlebihan?

Zeon terlihat melamun, fokusnya saat ini entah kemana, membuat Melva kikuk sendiri.

Merasa tidak sopan untuk menegur, Melva tetap diam menunggu.

Zeon masih menatapnya seolah mengenang sesuatu.

"Ah maaf, saya kurang fokus." Zeon memijat pelipisnya.

Sikap garangnya hilang dalam sekejap, membuatnya kini terlihat sangat bersahabat dan bisa diajak bercanda layaknya teman lama. Melva sedikit bingung dengan perubahan itu, namun dia tidak berpikir banyak karena jantungnya kembali bertalu-talu menghadapi sesi wawancara.

"Saya sudah review CV kamu. Baru wisuda Minggu lalu ya?"

"Benar Pak." Melva lega tatapan Zeon tidak mengintimidasi, justru terkesan ramah.

Zeon menutup berkas lamaran Melva setelah hanya membalik dua halaman. Zeon bertanya dan Melva menjawab dengan lancar. Sesi wawancara sudah berjalan selama lima belas menit. Melva belum merasa kesulitan apapun untuk menjawab sebelumnya sampai pertanya ini tercetus dari Zeon.

"Kamu bisa membuat kopi?"

Hah? Melva mengerjap, lalu menjawab, "Saya bukan penyuka kopi Pak dan tidak pernah membuatnya, namun jika hal ini berkaitan dengan pekerjaan saya nanti, akan saya usahakan untuk belajar memakai mesin kopi."

"Bagus, karena saya sering minum kopi di pagi hari. Saya harap kamu bisa cepat belajar. Kamu bisa mulai bekerja lusa. Dan ingat satu hal, kamu adalah personal asisten saya. Kamu bekerja untuk saya, bukan perusahaan. Apa saja diluar pekerjaan yang saya berikan, harus atas persetujuan saya."

"Bisa dijelaskan lebih lanjut Pak maksudnya?" tanya Melva butuh penjelasan.

"Contoh kecilnya jika karyawan dari perusahaan ini memerintahkan sesuatu kepada kamu, kamu tidak wajib menyetujui. Karena kamu bekerja untuk saya. Kecuali memang itu perintah dari saya kepada karyawan tersebut untuk memberikan kamu pekerjaan. Jelas?"

"Jelas Pak. Terimakasih atas waktu dan kesempatannya."

"Terimakasih kembali."

Zeon memimpin berdiri, Melva mengikuti dan mereka berjabat tangan. Melva menunggu, membiarkan Zeon keluar dari ruangan terlebih dahulu.

Saat pintu sudah terbuka, Zeon berbalik.

"Ah, tolong ganti warna lipstik kamu. Terlalu terang."

Secara refleks Melva menyentuh bibirnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status