Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku."
"Aye aye thanks kakakku." "Langsung pulang?" "Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin." Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama. Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang. Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya. Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up. "Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu." "Ugh, okay." Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya. Hari ini adalah perayaan wisudanya. Seperti perayaan kelulusan di sekolah menengah sebelumnya, hanya Helena yang selalu hadir. Mereka adalah teman seperjuangan. Tidak, mereka adalah keluarga sejak keduanya berada di panti. Helena lebih tua dua tahun dari Melva. Dia diadopsi sepasang suami istri yang mengendarai Audi ke panti. Orang tua angkat Helena adalah idaman para anak. Mereka super baik dan perhatian. Melva beberapa kali diajak menginap dan berlibur bersama. Melva sendiri keluar dari panti saat umurnya telah mencapai batas ketentuan tinggal di panti. Dia menolak orang tua Helena untuk diadopsi bersama. Melva pikir mereka tetap bisa seperti keluarga. Mendapat beasiswa penuh atas pendidikannya hingga sarjana adalah hal terbaik yang ia terima. Meskipun orang tersebut menolak memberikan namanya. Melva sangat berterimakasih pada donatur beasiswa tersebut. Tanpa harus banting tulang, Melva hanya perlu bekerja part time untuk makan sehari-harinya. "Aku memiliki tas baru dan kamu harus melihatnya nanti!" Melva menatap Helena, "Kali ini darimana?" "Ini brand lokal, tapi sangat bagus." Mengerutkan kening, Melva bertanya, "Tidak biasanya kami tertarik dengan brand lokal. Berapa?" "Aku kurang tau dengan harganya. Ini pemberian," jawab Helena lirih. "Hmm? Sejauh yang aku tahu, seleramu dengan Mama kamu berbeda, kamu jarang memuji tas yang dipilih oleh dia. Jadi, dari ini pemberian dari siapa?" Helena meringis membenarkan, "Ada seseorang yang aku kenal, pria yang sedang dekat denganku. Doakan saja." "Iya kah? Oh kamu jangan menganggap seperti kita tidak kenal selama hampir sepuluh tahun. Tentu saja aku akan mendoakan yang terbaik untukmu. Kalian sudah lama saling kenal? Kenapa dia tahu hobimu sebagai kolektor tas?" "Aku sendiri yang cerita padanya, kamu tahu sendiri kan ketika aku sudah bicara tentang hobi, aku akan bercerita tentang tas-tas yang aku punya." Melva menganggukkan kepala tanda setuju. Helena sangat suka mengoleksi berbagai tas. Dari sling bag, shoulder bag, sampai mini backpack dan tas kanvas. Helena memiliki lemari kaca khusus untuk tas-tasnya. Terkadang dia membuat giveaway tas di I*******m jika lemarinya sudah tidak muat menampung. "Yang aku tahu kamu lebih suka produk luar tetapi dia membelikanmu brand lokal? Pelit ya?" Tanya Melva bercanda. Helena tertawa, "Tidak, dia berkata jika aku harus lebih mencintai produk lokal." "Begitu, dan kamu langsung menurut. Selama ini aku berkata hal yang sama dan yang kamu lakukan hanya melengos sambil tetap berbelanja tas produk luar." "Tentu saja aku harus menuruti perkataan calon pacarku." "Kamu bahkan sudah menganggapnya sejauh itu." "Harus. Jangan berlama-lama. Dan kamu kapan mendapatkan pacar?" "Mudah, aku bisa menunjuk siapa saja." "Oh silakan tunjuk siapa saja. Asalkan jika salah orang, jangan merengek menangis menyedihkan padaku!" Mobil memasuki perumahan. Melva menutup kaca jendela. Jam digital yang ada di dashboard menampilkan angka 6.14. Langit jingga mulai menggelap. Mobil berbelok ke sebuah rumah berpagar coklat russet. Helena menekan klakson dua kali, seorang satpam membuka gerbang untuknya. Rumah yang dihuni keluarga Helena bergaya art deco. Rumah ini memiliki garis-garis geometris yang tajam dan simetris, detail-detail dekoratif seperti relief-relief atau ornamen- ornamen logam. Interiornya akan berkilau dengan warna-warna metalik, dan aksen-aksen dekoratif yang berani seperti lampu-lampu gantung yang mewah. Helena langsung membawa Melva ke ruang makan. Seolah mempersembahkan sesuatu, tangannya direntangkan di sisi Melva. "Ini dia bintang utama kita malam ini." Melva memutar matanya mendengar itu. Tante Lea yang sedang menyusun makanan di meja datang menghampiri, memeluk Melva dengan tidak lupa mencium pipinya di kanan kiri. "Cantiknya. Happy graduation ya sayang." "Terimakasih Tante." "Ayo duduk, kita makan." Helena menyela, "Ma, kita harus mengambil foto dulu. Dimana Papa? Jangan bilang belum pulang dari kerja." "Di hari spesial seperti ini mana mungkin Papa kamu tidak mengatur jadwalnya? Dia sudah di rumah sejak jam empat. Tapi masih di ruang kerja karena kantor meneleponnya tadi." "Mama, tolong panggilkan Papa. Aku akan mengatur kamera." Helena menyengir. Melva berdiri dengan bengong memperhatikan kesibukan sekitar. Dia berjalan ke kulkas dan mengambil minuman dingin. Lega rasanya setelah air dingin mengalir di kerongkongannya. Pupil Melva bergerak mengikuti Helena yang mondar-mandir mempersiapkan kamera. Ruang makan dan ruang tamu tidak memiliki sekat berupa tembok. Hanya lemari kaca yang berisi gelas dan guci pajangan khas orang kaya. Jadi, Melva masih bisa melihat Helena yang sekarang membungkuk untuk mengatur lensa. "Melva, kamu ke sini, aku akan mengetes pencahayaan. Menurutmu kita butuh ring lighting tidak?" "Sudah petang. Jika lampu tidak cukup bisa pakai saja supaya lebih cerah," jawab Melva sambil berjalan ke depan kamera. "Oke kita pakai, harus perfect. Akan aku posting di I*******m." "Sini aku bantu bawakan." Helena menggeleng, "Tidak perlu, tidak perlu. Berdiri tenang saja disitu menjadi model ku hari ini 'kay? Rok lilit yang kamu pakai pasti lelah untuk berjalan." Helena membawa dua ring light dan menempatkan di sisi kanan dan kiri kamera. "Nice," gumam Helena berpuas hati. "Sudah siap kameranya?" Tante Lea telah berganti pakaian bersama Om Tara di sampingnya. Helena memberikan jempol atas pertanyaan Mamanya. Hampir lima belas menit sesi foto itu berlangsung. Melva segera menghapus make up dan berganti pakaian sebelum bergabung ke meja makan. Makanan hampir dingin, namun tidak mengurangi rasa sedapnya. Melva beberapa kali ditawari hidangan oleh Helena, dan saat Melva menolak, Helena tetap meletakkan hidangan di atas piringnya yang hampir penuh. "Kamu punya rencana bekerja dimana?" tanya Om Tara pada Melva. Semua pasang mata menatap Melva menunggu jawaban. "Kamu bisa ikut Helena bekerja di kantor Papanya." Tante Lea memberikan saran. "Benar sekali, Papa mendapat kabar jika posisi yang sesuai dengan jurusan kamu membutuhkan seseorang lagi." Helena memperhatikan kegelisahan Melva. "Ma, Pa. Lulusan terbaik sejurusan ini sudah ditawari juga dengan dosennya tahu, itu juga perusahaan besar yang merekrut," ujar Helena. "Begitu? Anak Papa memang hebat-hebat. Dulu Helena juga mendapat tawaran tetapi dia menolak dan ingin bekerja di kantor Papanya. Jika Melva ingin ikut seperti Helena tentu tidak apa-apa. Dan jika kemauan Melva untuk menerima tawaran dosen kamu itu juga kami semua tetap mendukungnya." "Right." Helena mengacungkan sendoknya lalu kembali makan. Melva tersenyum, dia menatap berbagai hidangan di meja sebelum berujar dengan yakin, "Aku terima tawaran dosen aku Om." "Bagus itu, dimana saja asalkan itu tekad kamu. Tetapi jika kamu berubah pikiran, kamu bisa pindah dengan Helena." "Terimakasih Om." "Jangan khawatir Pa, Melva akan betah di tempat kerja dengan bos yang ganteng, iya kan?" "Betul itu," jawab Melva dengan nada gurauan. Seisi ruang makan penuh dengan tawa.Seminggu setelah hari wisuda, dan tepat setelah lamaran kerja terkirim ke perusahaan tawaran dosennya, Melva mendapat kabar baik itu pagi ini. Jadwal interview telah ditentukan siang nanti, lokasinya tidak jauh dari apartemennya. Melva sudah berjaga-jaga dari kemarin untuk mengawasi pesan apapun yang masuk ke ponselnya. Melva melompat girang membaca deretan kalimat yang menyatakan dia diundang untuk melakukan wawancara, pihak lain memastikan kedatangannya dengan bertanya: Apakah anda bersedia? Jarinya mengetik lincah, "Ya, saya bersedia." Kakinya tidak bisa diam, Melva bergerak kesana-kemari sambil jarinya masih mengetik, kali ini di room chat Helena. Bagaimana mungkin kabar gembira ini tidak sampai padanya? Helena akan mengamuk jika Melva lupa bercerita. Setelah pesan singkat diantaranya semakin seru dan Helena terus saja mengirim berbagai stiker terkejut tanda dia bangga dan ikut senang atas panggilan wawancara Melva. Melva memutus pesan tersebut, dia mengirim pesan suara. "A
"Totalnya Rp.230.000. Terimakasih, selamat datang kembali." Melva tersenyum pada kasir dan keluar dari supermarket. Sebelum memulai kerja besok, Melva mengundang Helena makan hot pot di apartemen miliknya. Kebetulan orang tua Helena sedang ada keperluan di luar kota, jadi Melva sekaligus mengajak Helena menginap. Hanya butuh lima menit berjalan kaki untuk sampai lobi apartemen. Melva memasuki lift dan menekan angka 3. Helena belum datang, dia mengabari bahwa dirinya masih dalam perjalanan pulang dari kantor. Melva menyarankan untuk langsung datang dari kantornya tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu. Beberapa pakaian Helena sengaja tersimpan di lemari Melva untuk digunakan saat-saat seperti ini. Dan mereka memang sering menginap bergantian antara tempat Melva dan Helena. Selama menunggu kedatangan Helena, Melva menyiapkan alat dan bahan masakan. Tepat setelah mencuci tangan, bel berbunyi. Melva telah memberikan sandi apartemen pada Helena, namun dari dulu Helena dengan sopan te
Mulutnya tak pernah berhenti bersenandung sembari mengancingkan kemejanya. Saat kancing terakhir selesai, Melva merapikan lagi kemejanya dan tersenyum puas. Melangkah dua kali ke belakang hingga seluruh badannya terlihat di cermin, Melva merentangkan tangannya memastikan pakaian yang dikenakan tidak ada kesalahan. Dia berputar dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Selanjutnya, Melva duduk di meja rias. Dia menatap jam dinding sebelum memoles make up. Melva telah biasa menggunakan lipstik kesayangannya yang kata Zeon terlalu terang itu. Mengingat Zeon menyuruhnya mengganti warna, Melva dengan cemberut mengelus permukaan lipstik dan meletakkan kembali lipstik kesayangannya lalu mengambil yang baru dibeli kemarin. Selesai menyemprot parfum di area leher, Melva mengambil tasnya dan bersiap berangkat. Dia memesan taksi, menghindari debu dari menaiki ojek online dan kerumunan bus. Melva harus memastikan penampilannya di hari pertama kerja sempurna. "Kompor sudah dimatikan belum ya?" Baru
Melva dalam dilema yang cukup serius. Jam kerjanya hampir habis dimana itu adalah waktunya mobil pengangkut datang memindahkan barangnya ke kediaman Zeon. Dari satu narasumber yang sudah bekerja untuk Zeon selama beberapa tahun, gagasan personal asisten harus selalu bersama bos sampai berpindah tempat tinggal di atap yang sama adalah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Itu mengungkapkan bahwa pemindahan ini baru terjadi pada Melva. Apapun itu alasan Zeon, Melva yakin ini merugikan dirinya. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan nantinya, Melva akan disibukkan dengan permintaan Zeon setiap saat kapanpun dan di manapun. Sementara jarum jam terus berputar, Melva merencanakan ide gila untuk menggagalkan pemindahannya. Sekalipun Zeon menegaskan tentang ketidakpedulian mengenai pendapat Melva, Melva tidak akan membiarkan pemindahannya mudah direalisasi. "Kamu bisa langsung pulang sepuluh menit lagi. Pak Zeon sedang keluar dan memintaku untuk memberitahu kamu mengenai hal ini."
Melva tipe orang yang mudah mengantuk dan bisa cepat tertidur. Tapi di tempat ini sepertinya pengecualian baginya. Kamar ini sangat bagus dan luas. Seprainya lembut dan kasurnya nyaman. Tapi di luar tidak aman. Ini adalah rumah Zeon. Dengan sifat yang belum semuanya diketahui oleh Melva, Melva perlu cemas berada dalam teritori Zeon. Sudah pukul sepuluh saat perut Melva berbunyi. Dia lapar. Melva memakai sandal lembut berbentuk kelinci lalu keluar dari kamar. Keadaan rumah sangat gelap. Melva tidak berniat menyalakan satupun lampu. Dia membawa ponselnya sebagai penerangan. Tujuannya tentu dapur, matanya menyapu isi kulkas. Semuanya bahan mentah yang perlu diolah. Bagaimana mungkin kulkas sebesar ini tidak menyediakan camilan?Baru saja hendak menutup pintu kulkas, suara pintu dibuka terdengar. Melva mematikan senter di ponsel dan memasuki toilet dapur.Mendengar langkah kaki lebih dari satu, Melva menebak itu adalah pelayan pribadi yang memang tinggal di rumah ini."Aku masih tidak m
Suara wajan mendesis saat Zeon berkutat di depan kompor. Melva duduk anteng di kursinya. Dia mengangkat tangan untuk menyangga kepala. Tidak tahu mengapa memperhatikan pria yang sedang memasak bisa semenarik ini. Akankah semua pria akan nampak seperti ini atau hanya yang memiliki ciri-ciri seperti Zeon? Tubuh tegap tinggi, bahu lebar, dan tangan cekatan. Melva menggelengkan kepala menghilangkan imajinasinya yang semakin merembet jauh. Zeon hanya memasak, jadi kenapa Melva harus begitu menaruh perhatian? Menyedot habis isi minuman dalam kotak, Melva beranjak membuang sampahnya tanpa menimbulkan suara. Kebetulan itu ada di ujung, jadi dia harus melewati punggung Zeon. Ruangnya lumayan sempit untuk dua orang dewasa, Melva memiringkan badan, menghindari kontak fisik. Tanpa diduga saat Zeon memasukkan sedikit air dalam wajan, itu hampir terciprat pada tangannya. Zeon mundur setengah langkah untuk menghindar. Dan tabrakan itu terjadi. Perbedaan tenaga itu membuat Melva terhuyung hingg
Zeon memperhatikan Melva dengan seksama, melihat tanda-tanda halus dari kebohongan di mata Melva. Dia memutuskan untuk memberinya beberapa dua hari libur. Gerakan Melva masih terbatas, sebuah bukti dari rasa sakit yang masih tersisa dari insiden semalam.Hanya satu hari sejak Melva mulai bekerja sebagai asisten pribadinya, belum cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan perannya yang baru. Selain itu, dia telah menghabiskan beberapa hari sebelumnya dalam pelatihan, hampir tidak bisa disebut pekerjaan dan dia sudah diberi cuti. Sekarang, Melva mendapati dirinya diberi dua hari istirahat. Tanpa dia sadari, selama dua hari ini, para staf rumah tangga bergosip tentangnya. Setelah baru saja pindah ke kediaman Zeon, Melva menjadi bahan spekulasi. Pelayan-pelayan itu berbisik di antara mereka sendiri, menggambarkannya sebagai wanita penggoda dan berasumsi bahwa Zeon terlibat dalam hubungan intim kasar dengannya, itulah sebabnya memar dari insiden kursi terjadi. Penjelasan Melva sepertinya
Setelah menjalani pelatihan intensif sampai akhir pekan, akhirnya Melva siap untuk memulai perannya sebagai personal asisten pada hari Senin. Namun, kegembiraannya segera berubah menjadi kegelisahan ketika Zeon bersikeras untuk mengantar ke kantor dari awal kepindahan. Meskipun Melva menolak dengan sopan, Zeon bersikeras untuk mereka berangkat bersama. Itu bukan hanya saran; rasanya lebih seperti perintah, sesuai sifat Zeon. Dengan perasaan tidak nyaman yang menghinggap di perutnya, Melva dengan enggan menuruti keteguhan Zeon dalam membujuknya, ralat, memaksanya. Perubahan sikap Zeon terhadap Melva memang mengejutkan banyak orang di sekitarnya, terutama para pekerja rumah tangga yang mengenal Zeon sebagai sosok yang dingin dan acuh. Namun, sikap Zeon yang lebih hangat dan perhatian terhadap Melva menunjukkan bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara hubungan mereka. Isi kepala setiap pekerja rumah tangga pagi itu semakin tumpang tindih dengan berbagai spekulasi. *** Pada hari