Share

Dua Wajah Satu Cerita
Dua Wajah Satu Cerita
Author: Chientanara

Hari Wisuda

Setelah menuruni tiga buah tangga dari panggung, Helena memeluknya, "You got this! Keren sekali adikku."

"Aye aye thanks kakakku."

"Langsung pulang?"

"Ayo, nanti masakan Tante Lea menjadi dingin."

Helena berdecak, tangannya terangkat merangkul Melva. Kemudian mereka tertawa bersama.

Di dalam mobil, Melva melepas topi wisudanya, menempatkannya bersama sebuket karangan bunga pemberian Helena di kursi belakang.

Melva membalas pesan teman-temannya yang mengajak makan malam bersama, dia meminta maaf tidak bisa hadir karena sudah memiliki janji lain. Menyimpan ponselnya, dia mencari micellar water dan kapas di pouch biru dalam pangkuannya.

Tangan Helena menghentikan gerakan Melva yang akan menghapus make up.

"Nah, kita belum mengambil foto bersama. Jangan dihapus dulu."

"Ugh, okay."

Melva menghela nafas, punggungnya bersandar nyaman. Kebayanya lumayan membuat gerah, setelah mobil keluar area parkir, Melva membuka kaca jendela. Angin segera masuk menyegarkannya.

Hari ini adalah perayaan wisudanya. Seperti perayaan kelulusan di sekolah menengah sebelumnya, hanya Helena yang selalu hadir. Mereka adalah teman seperjuangan. Tidak, mereka adalah keluarga sejak keduanya berada di panti.

Helena lebih tua dua tahun dari Melva. Dia diadopsi sepasang suami istri yang mengendarai Audi ke panti. Orang tua angkat Helena adalah idaman para anak. Mereka super baik dan perhatian. Melva beberapa kali diajak menginap dan berlibur bersama.

Melva sendiri keluar dari panti saat umurnya telah mencapai batas ketentuan tinggal di panti. Dia menolak orang tua Helena untuk diadopsi bersama. Melva pikir mereka tetap bisa seperti keluarga.

Mendapat beasiswa penuh atas pendidikannya hingga sarjana adalah hal terbaik yang ia terima. Meskipun orang tersebut menolak memberikan namanya. Melva sangat berterimakasih pada donatur beasiswa tersebut. Tanpa harus banting tulang, Melva hanya perlu bekerja part time untuk makan sehari-harinya.

"Aku memiliki tas baru dan kamu harus melihatnya nanti!"

Melva menatap Helena, "Kali ini darimana?"

"Ini brand lokal, tapi sangat bagus."

Mengerutkan kening, Melva bertanya, "Tidak biasanya kami tertarik dengan brand lokal. Berapa?"

"Aku kurang tau dengan harganya. Ini pemberian," jawab Helena lirih.

"Hmm? Sejauh yang aku tahu, seleramu dengan Mama kamu berbeda, kamu jarang memuji tas yang dipilih oleh dia. Jadi, dari ini pemberian dari siapa?"

Helena meringis membenarkan, "Ada seseorang yang aku kenal, pria yang sedang dekat denganku. Doakan saja."

"Iya kah? Oh kamu jangan menganggap seperti kita tidak kenal selama hampir sepuluh tahun. Tentu saja aku akan mendoakan yang terbaik untukmu. Kalian sudah lama saling kenal? Kenapa dia tahu hobimu sebagai kolektor tas?"

"Aku sendiri yang cerita padanya, kamu tahu sendiri kan ketika aku sudah bicara tentang hobi, aku akan bercerita tentang tas-tas yang aku punya."

Melva menganggukkan kepala tanda setuju. Helena sangat suka mengoleksi berbagai tas. Dari sling bag, shoulder bag, sampai mini backpack dan tas kanvas. Helena memiliki lemari kaca khusus untuk tas-tasnya. Terkadang dia membuat giveaway tas di I*******m jika lemarinya sudah tidak muat menampung.

"Yang aku tahu kamu lebih suka produk luar tetapi dia membelikanmu brand lokal? Pelit ya?" Tanya Melva bercanda.

Helena tertawa, "Tidak, dia berkata jika aku harus lebih mencintai produk lokal."

"Begitu, dan kamu langsung menurut. Selama ini aku berkata hal yang sama dan yang kamu lakukan hanya melengos sambil tetap berbelanja tas produk luar."

"Tentu saja aku harus menuruti perkataan calon pacarku."

"Kamu bahkan sudah menganggapnya sejauh itu."

"Harus. Jangan berlama-lama. Dan kamu kapan mendapatkan pacar?"

"Mudah, aku bisa menunjuk siapa saja."

"Oh silakan tunjuk siapa saja. Asalkan jika salah orang, jangan merengek menangis menyedihkan padaku!"

Mobil memasuki perumahan. Melva menutup kaca jendela. Jam digital yang ada di dashboard menampilkan angka 6.14.

Langit jingga mulai menggelap. Mobil berbelok ke sebuah rumah berpagar coklat russet. Helena menekan klakson dua kali, seorang satpam membuka gerbang untuknya.

Rumah yang dihuni keluarga Helena bergaya art deco. Rumah ini memiliki garis-garis geometris yang tajam dan simetris, detail-detail dekoratif seperti relief-relief atau ornamen- ornamen logam. Interiornya akan berkilau dengan warna-warna metalik, dan aksen-aksen dekoratif yang berani seperti lampu-lampu gantung yang mewah.

Helena langsung membawa Melva ke ruang makan. Seolah mempersembahkan sesuatu, tangannya direntangkan di sisi Melva.

"Ini dia bintang utama kita malam ini."

Melva memutar matanya mendengar itu.

Tante Lea yang sedang menyusun makanan di meja datang menghampiri, memeluk Melva dengan tidak lupa mencium pipinya di kanan kiri.

"Cantiknya. Happy graduation ya sayang."

"Terimakasih Tante."

"Ayo duduk, kita makan."

Helena menyela, "Ma, kita harus mengambil foto dulu. Dimana Papa? Jangan bilang belum pulang dari kerja."

"Di hari spesial seperti ini mana mungkin Papa kamu tidak mengatur jadwalnya? Dia sudah di rumah sejak jam empat. Tapi masih di ruang kerja karena kantor meneleponnya tadi."

"Mama, tolong panggilkan Papa. Aku akan mengatur kamera." Helena menyengir.

Melva berdiri dengan bengong memperhatikan kesibukan sekitar. Dia berjalan ke kulkas dan mengambil minuman dingin. Lega rasanya setelah air dingin mengalir di kerongkongannya. Pupil Melva bergerak mengikuti Helena yang mondar-mandir mempersiapkan kamera.

Ruang makan dan ruang tamu tidak memiliki sekat berupa tembok. Hanya lemari kaca yang berisi gelas dan guci pajangan khas orang kaya. Jadi, Melva masih bisa melihat Helena yang sekarang membungkuk untuk mengatur lensa.

"Melva, kamu ke sini, aku akan mengetes pencahayaan. Menurutmu kita butuh ring lighting tidak?"

"Sudah petang. Jika lampu tidak cukup bisa pakai saja supaya lebih cerah," jawab Melva sambil berjalan ke depan kamera.

"Oke kita pakai, harus perfect. Akan aku posting di I*******m."

"Sini aku bantu bawakan."

Helena menggeleng, "Tidak perlu, tidak perlu. Berdiri tenang saja disitu menjadi model ku hari ini 'kay? Rok lilit yang kamu pakai pasti lelah untuk berjalan."

Helena membawa dua ring light dan menempatkan di sisi kanan dan kiri kamera.

"Nice," gumam Helena berpuas hati.

"Sudah siap kameranya?" Tante Lea telah berganti pakaian bersama Om Tara di sampingnya.

Helena memberikan jempol atas pertanyaan Mamanya.

Hampir lima belas menit sesi foto itu berlangsung. Melva segera menghapus make up dan berganti pakaian sebelum bergabung ke meja makan.

Makanan hampir dingin, namun tidak mengurangi rasa sedapnya. Melva beberapa kali ditawari hidangan oleh Helena, dan saat Melva menolak, Helena tetap meletakkan hidangan di atas piringnya yang hampir penuh.

"Kamu punya rencana bekerja dimana?" tanya Om Tara pada Melva.

Semua pasang mata menatap Melva menunggu jawaban.

"Kamu bisa ikut Helena bekerja di kantor Papanya." Tante Lea memberikan saran.

"Benar sekali, Papa mendapat kabar jika posisi yang sesuai dengan jurusan kamu membutuhkan seseorang lagi."

Helena memperhatikan kegelisahan Melva.

"Ma, Pa. Lulusan terbaik sejurusan ini sudah ditawari juga dengan dosennya tahu, itu juga perusahaan besar yang merekrut," ujar Helena.

"Begitu? Anak Papa memang hebat-hebat. Dulu Helena juga mendapat tawaran tetapi dia menolak dan ingin bekerja di kantor Papanya. Jika Melva ingin ikut seperti Helena tentu tidak apa-apa. Dan jika kemauan Melva untuk menerima tawaran dosen kamu itu juga kami semua tetap mendukungnya."

"Right." Helena mengacungkan sendoknya lalu kembali makan.

Melva tersenyum, dia menatap berbagai hidangan di meja sebelum berujar dengan yakin, "Aku terima tawaran dosen aku Om."

"Bagus itu, dimana saja asalkan itu tekad kamu. Tetapi jika kamu berubah pikiran, kamu bisa pindah dengan Helena."

"Terimakasih Om."

"Jangan khawatir Pa, Melva akan betah di tempat kerja dengan bos yang ganteng, iya kan?"

"Betul itu," jawab Melva dengan nada gurauan.

Seisi ruang makan penuh dengan tawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status