“Saga, sebaiknya kita jangan lewat sini,” bisik Omen saat Saga mengajaknya melewati koridor kelas IPS 1. Jalur itu adalah jalan paling cepat menuju lapangan olahraga.
“Kata Tya kita harus cepat-cepat ke lapangan, sebentar lagi pelajaran olahraga akan dimulai,” kata Saga mengingatkan.
“Saya ngerti kamu takut telat tapi lebih baik kita cari aman saja. Kamu enggak lihat anak-anak IPS 1 lagi berkumpul di luar kelas? Kalau mereka lihat kita sengaja melintas di sana, kita bukan hanya akan telat tapi kemungkinan enggak akan bisa ikutan olahraga sama sekali,” tegas Omen dengan raut khawatir.
Saga melihat ke arah depan, pada lima anak laki-laki yang sedang ketawa-ketiwi di jam pelajaran kosong, entah menertawakan apa. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk tiba di lapangan olahraga, hanya saja jalannya cukup memutar dan memerlukan waktu yang lebih banyak.
“Kamu masih takut sama mereka?”
“Jelas saya takut, mereka lebih banyak dari kita. Sekali pun kamu sudah jago berkelahi sekarang tapi berurusan sama mereka itu tetap berbahaya. Monster Badar emang paling berengsek di kalangan anak IPS tapi mereka juga enggak kalah berengsek. Yuk, ah, saya ngeri nih.”
Omen menarik tangan Sagara, balik kanan dan berusaha tidak terlihat oleh anak-anak IPS 1. Sayangnya, upaya melarikan diri itu gagal saat seorang lelaki memanggil Omen dengan panggilan kesayangannya.
“Eh, Kacung!”
Kaki Omen otomatis terpaku di tempat, tubuhnya menegang dan keringat dingin tiba-tiba keluar dari pelipisnya.
“Sini lo!” titah siswa itu lagi, Omen memejam berat sambil mendesah putus asa. Dia menatap Saga dengan nanar seolah ingin mengatakan, “Apa saya bilang!”
“Kalau dipanggil sama gue tuh cepetan nyahut, bego!” maki siswa itu sambil menoyor kepala Omen tepat di balik mata Saga—dia masih memperhatikan dari jarak dua meter.
“Maaf Yus, tadi saya enggak dengar kamu manggil.”
“Makanya punya kuping itu dikorek, tahi semua tuh!”
“Ha ha ha.”
“Perlu gue bersihin sekarang enggak, men? Kebetulan ada linggis mang Tarjo tuh!” timpal teman siswa yang dipanggil ‘Yus’ oleh Omen.
“Nanggung, pake golok aja sekalian biar tahinya semua keluar.”
“Selain tahi, nyawanya juga ikutan keluar dong, ha ha ha.”
“Iya juga, anjing! Gimana, lo minat enggak, Men?”
Saga mengepalkan kedua tangannya erat, dia menatap tajam salah seorang siswa yang kebetulan juga menatap ke arahnya. Siswa itu berbisik pada Ayus alhasil pandangan Ayus ikut tertuju pada Sagara.
“Heh, Sampah! Ngapain lo melotot di sana? Sini lo!”
Saga mendekat sesuai perintah Ayus, dia menatap datar lelaki perundung itu namun tampak jelas kilat amarah dan tak terima dari mata Saga.
“Tatapan apa, tuh? Enggak terima gue noyor sahabat cupu lo? Enggak suka gue manggil dia Kacung?”
“Sulaiman, itu namanya, kamu juga bisa manggil dia Omen kalau mau lebih akrab, tidak usah memanggil Kacung,” jawab Saga berani, Omen menyikut perut kawannya itu agar Saga tak memprovokasi Ayus namun Saga tak menggubrisnya.
Ayus dan kawan-kawan terperangah beberapa detik setelahnya mereka meledakkan tawa yang berhasil menarik perhatian kawan-kawan IPS 1 yang ada di dalam kelas. Mereka mengintip apa yang terjadi dari jendela—tidak berani ikut campur kalau Ayus dan teman-temannya sedang beraksi.
“Anjir, kocak banget ini si Sampah. Dia bilang apa tadi? Lebih akrab sama si Kacung? Otaknya di mana sih sampai bisa ngomong gitu, geli gue dengernya.”
“Hajar we, Yus, hajar!” hasut teman Ayus.
“Enggak deh, ngapain gue nyentuh sampah, nanti tangan gue terkontaminasi kuman lagi. Mana dia bau banget, busuk!”
“Maafin Saga, Yus, dia lagi sakit makanya berani ngomong kayak gitu. Kalau boleh tahu, kenapa kamu manggil saya?” sahut Omen mengambil inisiatif, ia ingin pembicaraan ini segera berakhir.
“Gue paham kok, Cung, mungkin otaknya makin geser setelah dipukul si Badar minggu lalu,” balas Ayus menerbitkan senyum remeh, “Gue Cuma mau ngasih tahu sama temen sampah lo ini, Cung. Jangan merasa jadi pemenang hanya karena si Badar enggak masuk sekolah satu minggu terakhir. Dia bolos bukan karena kalah dari si Sampah itu, tapi emang lagi ada bisnis aja yang dia urus di luar sana.”
“Iya, Yus, saya paham. Nanti saya bakal ingetin Saga lagi supaya bisa lebih jaga sikap di depan kalian. Kalau begitu kami boleh pergi sekarang?”
“Eits, enaka aja. kami belum selesai sama kalian berdua, Cung beliin minuman sama keripik setan dong di kantin,” titah teman Ayus menghadang langkah Omen dan Saga.
“Gue mau yang rasa green tea, ya, nih yang model begini,” kata teman yang satunya lagi sambil menunjukkan cup berisi minuman green tea yang tinggal setengah.
Satu persatu teman Ayus menyebutkan pesanannya, Omen mengeluarkan ponsel dan mencatatnya di note agar tidak lupa.
“Enggak pake lama ya, Cung,” pinta Ayus sambil bertumpang kaki di atas kursi bata.
“Maaf, sepertinya kalian harus membeli semua pesanan kalian sendiri. Kami sedang buru-buru untuk mengikuti pelajaran olahraga,” tolak Saga merampas ponsel Omen dan menghapus note yang dibuat temannya itu. Omen melotot kaget, dia meneguk ludahnya saat melihat tatapan murka Ayus dan teman-temannya.
“Wah ... gue baru tahu kalau penyakit amnesia bisa bikin Sampah kayak lo semakin enggak tahu diri. Lo bermaksud menolak perintah gue?”
“Kedua kakimu masih berfungsi, kan? Itu artinya kamu bisa pergi ke kantin sendiri dan lakukan apa yang kamu mau di sana. Kamu tidak perlu meminta bantuan orang lain kecuali kalau kamu memang tidak mampu melakukannya, atau kasarnya kecuali kalau kamu cacat!”
“Gila, si Saga benar-benar udah sinting. Lihat guys, dia nantangin Ayus dan kawan-kawan!” pekik salah seorang siswa di dalam kelas mengumumkan kalau ada tontonan menarik di luar sana.
Sebagian penduduk IPS 1 yang kepo langsung mendekat ke arah jendela, mengeluarkan ponsel mereka—menanti kejadian menarik untuk meramaikan jagat maya SMA Tribakti.
“Anjing! Berani lo ngatain gue, dasar setan!” amuk Ayus melayangkan tinju ke arah wajah Saga, sayangnya tinju itu hanya berhasil menyentuh udara karena Saga menghindar dengan cepat.
Ayus kembali menyerang dari belakang, tinjunya kali ini ditangkap langsung oleh Saga dengan tenang. Tangan Ayus dipelintir sampai Ayus meringis kesakitan padahal Saga melakukannya hanya dengan seperempat kekuatan.
“Arggh, sakit, anjing!” jerit Ayus semakin tersiksa, “Woy, bego! Cepet bantuin gue!” sentaknya pada empat kawannya.
Mereka menyerang Saga bersamaan, Saga mendorong tubuh Ayus sampai menabrak keempat temannya yang baru akan mengeroyok Saga. Alhasil kelima sahabat bejat itu terjatuh ke lantai bersamaan. Omen menutup mulutnya, tercengang total! Penduduk IPS 1 pun tak kalah takjub dengan kehebatan Saga, mereka memuji tanpa sadar sambil terus merekam aksi perkelahian itu.
“Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan siapa pun, tolong beri kami jalan,” kata Saga tanpa merasa bersalah telah menyakiti siswa terkuat di kelas IPS 1.
Ayus bangkit dan mendorong satu temannya untuk kembali menyerang Saga, “Lawan dia, masa lo kalah sama sampah enggak guna kayak dia!” ujar Ayus berapi-api.
Siswa yang tadi memegang cup minuman mengambil kembali cup minuman itu, hendak menumpahkan isinya ke wajah Saga dan dengan mudah Saga membalikkan keadaan. Alhasil siswa itulah yang terkena siraman minuman green tea. Serangan berdatangan silih berganti, Saga membalasnya dengan santai namun setiap pukulan yang dia berikan mampu melumpuhkan lawan.
Ayus menggeram semakin kesal, dia tidak terima dengan kekalahan yang sudah tersaji di depan matanya. Saga sedang memelintir lengan salah satu kawannya, Ayus mundur dan meraih tong sampah dari kaleng yang ada di pinggir pintu kelasnya. Ayus melempar tong sampah itu ke arah Saga sekeras mungkin, Saga refleks menoleh dan secepat kilat ia menendang tong sampah itu sampai mengenai wajah Ayus.
Tang!
Tong itu terhempas ke lantai bersamaan dengan tubuh Ayus yang terjungkal mengenaskan. Darah segar mengalir deras dari hidung Ayus.
“Amazing!” gumam Omen masih melongo antara percaya dan tidak dengan apa yang baru saja ia lihat.
Sagara melangkah mantap mendekati Ayus dan teman-temannya yang sudah tak berdaya, bahkan sebagian dari mereka beringsut takut diserang Saga lagi.
“Aku hanya akan mengatakan ini sekali pada kalian, merundung orang ... itu tidak keren sama sekali. Jadi berhentilah mengganggu Omen, jangan rendahkan dia apalagi menyebutnya kacung. Dia teman kalian, satu tingkat dan satu level, status kalian sama di sini. Jika sekali lagi aku melihat kalian merundung Omen, maka luka yang akan kalian dapat bisa lebih menyakitkan dari ini. Kalian mengerti?”
Ayus meludah tanpa mengiyakan permintaan Saga sedangkan teman-temannya mengangguk patuh, takut pukulan tambahan akan Saga berikan pada mereka. Setelah itu, Saga mengajak Omen pergi dari sana. Mereka melenggang santai seperti tidak terjadi apa-apa. Tepatnya hanya Saga yang bersikap santai sedangkan Omen beberapa kali menoleh ke belakang sambil mengucek matanya. Inikah yang dinamakan keajaiban dunia?
“Berita besar, Sagara berhasil mengalahkan Ayus! Si Sampah IPS 3 menaklukkan Jawara IPS 1, guys!!!”
“Anjir, trending topic baru, nih. Buruan update!!!”
“Ini yang namanya come back stronger!”
“Itu beneran Sagara? Apa Sagara jadi-jadian? Kok dia jago banget? Keren parah, sumpah!”
“Pas dia nendang tong sampah damage-nya nyampe jantung, aduhh ... meleleh Neng, Bang!”
“Sagara kok mendadak jadi ganteng, ya? Jadi ngefans.”
“Fix, Sagara inceran gue no debat!”
“Inceran gue juga!”
“Punya gue itu, oy!”
Berita besar itu tersebar dengan sangat cepat ke seluruh penjuru sekolah. Nama Sagara hangat dibicarakan para siswi. Video berkelahinya diputar ratusan kali sampai views-nya mencapai ribuan dalam sehari. Dalam sekejap popularitas Sagara meningkat drastis. Selain mendapat banyak perhatian dari teman-teman sekolahnya, ada hal lain yang juga lelaki itu dapatkan akibat pertengkarannya dengan Ayus hari ini. Apa itu?
MASALAH! Ya, Sagara mendapatkannya. Sial bukan?
Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc."Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperla
Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—ters
Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat
“Yang lurus Saga, yang lurus, arahkan bolanya tepat ke tengah ring!” Omen berteriak emosi sambil memungut bola yang memantul jauh meninggalkan area lapangan. “Coba sekali lagi, Ga, fokus ke ringnya. Posisi badan dan kaki juga mesti bener, nah tangan kiri kamu di bawah terus nanti dorong pakai tangan kanan. Pantulkan bolanya ke papan dulu dengan kecepatan yang pas biar bola bisa langsung mengarah ke ring,” tutur Tyana melatih dengan sabar, gadis tomboi ini pernah ikut klub bola basket saat di SMP dulu, sedikit banyak dia masih mengingat teknik dasarnya. Saga mencoba mendrible bola sekali lagi, dia melempar bola itu sesuai instruksi Tyana, sayangnya si bundar tak kunjung menjebol ring. “Arghh ... mampus! Udah mampus aja, kamu, Saga!” teriak Omen frustrasi, sudah dua jam mereka berlatih di lapang outdoor yang ada di kawasan tempat tinggal Sagara. Mereka sempat meminta izin pada pihak desa untuk berlatih di sana dan petugas desa mengizinkan. “Kal
Saga kembali ke rumah tepat waktu sesuai kesepakatannya dengan Wira. Begitu tiba di halaman depan, orang tuanya tampak kebingungan seperti tengah mencari sesuatu. Bukan hanya mereka saja, tapi mang Asep—tukang ojek yang waktu itu menolong Sagara—juga terlihat sibuk mencari seseorang bernama Ningsih. “Ada apa, Bu?” tanya Saga usai mencium tangan Euis. “Ningsih hilang, ibu dan bapak sedang membantu mang Asep mencarinya.” “Ningsih itu siapa?” “Dia anak perempuan mang Asep, kondisinya sedikit berbeda dengan kita. Mang Asep sudah mencari ke mana-mana tapi Ningsih tak kunjung ketemu. Ibu khawatir dia mengilang kayak kamu waktu itu, mungkin nyasar jauh karena selama ini Ningsih enggak pernah ke mana-mana,” jelas Euis detail sekali. “Ningsih juga tidak bisa bicara, hal itu pasti akan mempersulitnya untuk menemukan jalan pulang,” tambah Wira. “Seperti apa sosok Ningsih? Apa ada gambarnya biar aku bantu mencari,” tawar Sagara ingin balas budi pa
“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.” “Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.” “Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.” Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang. “Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.” Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
Janji permen karet yang semalam dibuat Sagara dan Ningsih sudah terpenuhi. Kini Sagara lebih percaya diri dengan penampilannya, tak ia sangka Ningsih begitu pandai memotong rambut. Modelnya pun begitu kekinian dan terlihat sangat cocok untuk Sagara, kedua orang tua lelaki itu memuji putranya sangat tampan dan mengucapkan terima kasih pada Ningsih. Usai menyelesaikan tugasnya, Ningsih langsung pamit pulang. Dia mencium tangan kedua orang tua Saga dengan sopan. Saga melakukan hal yang sama, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, sebelum pergi, kucing yang semalam dibawa pulang olehnya berlari dan menghadang langkah Sagara.“Aku berangkat sekolah dulu, kamu diamlah di sini dengan tenang dan jangan membuat keributan,” pesan Sagara setelah ia jongkok dan mengelus kepala si Kucing.“Jangan sombong Sagara,” kata si Kucing membuat satu alis Sagara terangkat.Rasa penasaran Saga meronta-ronta, ingin tahu maksud ucapan si Kucing yang tiba-tiba