Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.
Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc.
"Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperlakukan seperti ini.
"Masih untung cuma disuruh bersihin toilet ini doang, Ga. Si Ayus dan kawan-kawan malah lebih parah, mereka disuruh bersihin toilet dua lantai sekaligus. Mana masa hukumannya tiga hari."
Setelah mengatakan itu Omen masuk ke bilik toilet, dia pasrah-pasrah saja dan tak menunjukkan rasa keberatan sedikit pun. Sagara heran melihatnya.
"Kamu sering diperlakukan seperti tadi sama mereka, Men?" tanya Saga sambil berdiri di luar bilik toilet.
"Bukan cuma saya, kamu juga sering. Yang tadi itu belum ada apa-apanya. Bahkan kalau saya tulis satu persatu bullying apa aja yang udah kita terima dari kelas X sampai sekarang, mungkin kisahnya bakal setebal novel Harry Potter."
Saga pernah mendengar sepenggal kisah bullying yang dialaminya tapi dia tidak menyangka bahwa hampir semua siswa berkuasa di sekolah ini melakukan tindakan tidak terpuji itu pada Saga dan Omen.
"Semua ini tetap tidak masuk akal bagiku, Men. Kenapa mereka membenci kita separah itu? Apa yang sudah kita lakukan sampai dipandang rendah dan diremehkan setiap saat?"
Omen menghentikan aktivitasnya sejenak, "Hh, amnesia kamu kapan sembuhnya, sih? Saya capek jelasin hal ini berulang kali. Cuma ngorek luka lama tahu."
"Maaf, aku cuma ingin semua benang kusut ini terurai agar aku tahu apa yang harus kulakukan ke depannya. Siapa saja yang harus kulawan dan apa saja yang harus kuperhatikan."
"Emang bener-bener tuh benang, minta saya bakar apa gimana?" omel Omen, ia mengatur napas kemudian lanjut bercerita, "Jadi gini, aku jelasin detail dari nol lagi, nih. Simak baik-baik biar kamu enggak bingung lagi."
Omen siap-siap kemudian dia pun bercerita, "Dulu pas kita baru masuk SMA Tribakti, kan ada seleksi tes gitu. Yang bisa masuk sini tuh orang-orang yang super power semua pokoknya. Kalangan elite yang kekuasaannya enggak main-main. Kebetulan pas angkatan kita, SMA Tribakti itu mengadakan program beasiswa khusus yang sebelumnya enggak pernah diselenggarakan di sekolah ini. Pendaftarannya dibuka untuk umum tanpa memandang status dan kekayaan. Bayangin, dapat beasiswa penuh sampai lulus dari SMA Tribakti, siapa yang enggak mau, iya kan? Berbondong-bondong datanglah peserta seleksi yang jumlahnya ratusan orang. Pokoknya heboh banget waktu itu, semua orang ingin bisa menembus sekolah impian ini. Secara lulus dari sini kita udah dapat jaminan enggak bakal jadi pengangguran. Testimoni lulusan Tribakti yang sukses udah bejibun. Karier mereka bagus banget dan sangat diperhitungkan walaupun enggak masuk universitas. Apalagi kalau sampai berhasil masuk ke jenjang universitasnya, wah ... udah, dijamin jadi petinggi negara kita."
“Universitas itu apa? semacam sekolah lagi?”
“Iya, tempat menimba ilmu juga, lanjutan dari tingkat SMA. Gedungnya ada di sebelah gedung SMA ini.”
“Sehebat itu sekolah ini sampai menjadi impian semua murid?”
“Mm, saya juga heran awalnya tapi memang fakta membuktikan demikian. Di seluruh kota ini, Tribakti itu primadona paling diminati. Bahkan siswanya banyak yang berasal dari berbagai kota besar negeri ini, eksistensinya emang sudah se-hype itu. Sekolah internasional mah kalah!”
Saga masih menyimak dengan serius, walau keningnya sedikit mengerut karena ada beberapa hal yang tidak dimengerti lelaki itu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ia layangkan namun Saga tahan sampai Omen selesai bercerita.
"Nah, bermodalkan tekad yang sekuat baja, saya sama kamu daftar ke sekolah ini. Ikut serangkaian tes dan gokilnya kita lulus. Padahal seingat saya waktu itu ngisinya ngasal banget, sumpah. Kayaknya emang lagi hoki aja gitu. Pas masa orientasi, sepuluh penerima beasiswa itu dipanggil ke depan kan satu persatu. Dikenalin nih kita sama seluruh siswa yang masuk jalur normal dengan biaya yang subhanallah itu. Bangga banget dong ya waktu itu, berasa jadi orang spesial yang hebat banget bisa masuk Tribakti jalur beasiswa prestasi."
Omen senyum-senyum bangga mengingat masa kejayaannya dulu.
"Saya sudah berekspektasi bahwa kehidupan SMA saya akan indah dan cerah. Ketemu temen dari kalangan orang kaya yang diharapkan bisa menularkan tips atau kiat biar saya juga bisa jadi sultan ya, kan. Naas, semua bayangan indah itu hancur seketika saat tahu bahwa semua penerima beasiswa enggak ada harganya sama sekali di mata siswa lain. Jadi bukan cuma kita aja, Ga, yang kena bullying. Delapan orang yang udah nyerah dari sini juga sama, pada kena mental sekolah di sini. Rata-rata mereka keluar di tahun pertama."
"Hanya itu alasan kita dibully?" kaget Saga tak habis pikir.
"Iya, sebenarnya sampai saat ini saya juga enggak tahu pasti apa alasannya. Cuma seingat saya ya begitulah yang terjadi, kita bisa berhasil bertahan sampai sekarang karena modal nekat dan gila aja udah. Kita terlalu patuh dan tunduk sama para pembully makanya mereka membiarkan kita tetap di sini, itung-itung buat mainan dan biar bisa diperbudak juga mungkin."
"Apa pihak sekolah tidak pernah bertindak tegas terhadap kasus bullying ini? Maksudku, mana mungkin ada guru yang tega membiarkan muridnya dirundung separah itu sampai tak jarang bisa membahayakan nyawa mereka. Bagaimana dengan tindakan para penerima beasiswa yang keluar itu? Apa mereka tidak pernah melaporkan kejadian buruk ini pada pihak berwajib?"
"Maksud kamu mereka harus melawan Tribakti gitu?"
"Ya, menurutku pihak sekolah benar-benar aneh, harusnya mereka bisa melindungi semua siswa tanpa terkecuali bukannya lepas tangan dan menutup mata dari apa yang terjadi."
"Itu prinsip sekolah normal, Ga, Tribakti kan enggak normal. Ada sistem yang enggak akan pernah kamu mengerti di sekolah ini. Tidak satu pun mau berurusan hukum dengan Tribakti, kamu tahu kenapa?"
"Kenapa?"
"Karena Tribakti tidak pernah salah. Seburuk apa pun fakta tentang Tribakti, siapa pun lawan yang berani menantang mereka, Tribakti akan tetap keluar sebagai juara. Para korban Tribakti lebih memilih diam dibanding harus menerima hukuman yang lebih menyakitkan. Seperti kata pepatah diam itu emas, jadi lebih baik diem-diem bae lah dari pada kena masalah yang lebih besar."
"Jujur aku masih tidak mengerti maksud ucapanmu, Men."
"Enggak usah, jangan mencoba untuk memahaminya, bisa gila kamu nanti. Cukup tahu aja, mari bersikap baik sampai lulus, maka kelar urusan!" putus Omen enggan melanjutkan ceritanya. Ia menyuruh Saga melanjutkan sesi hukuman mereka agar tugas membersihkan toilet ini segera selesai.
(Tribakti dan bayangan pemuda yang jatuh ke laut itu, kenapa aku begitu penasaran tentang dua hal ini? Seolah keduanya sangat berhubungan erat. Apa yang terjadi sebenarnya? Tempat apa ini?)
Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—ters
Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat
“Yang lurus Saga, yang lurus, arahkan bolanya tepat ke tengah ring!” Omen berteriak emosi sambil memungut bola yang memantul jauh meninggalkan area lapangan. “Coba sekali lagi, Ga, fokus ke ringnya. Posisi badan dan kaki juga mesti bener, nah tangan kiri kamu di bawah terus nanti dorong pakai tangan kanan. Pantulkan bolanya ke papan dulu dengan kecepatan yang pas biar bola bisa langsung mengarah ke ring,” tutur Tyana melatih dengan sabar, gadis tomboi ini pernah ikut klub bola basket saat di SMP dulu, sedikit banyak dia masih mengingat teknik dasarnya. Saga mencoba mendrible bola sekali lagi, dia melempar bola itu sesuai instruksi Tyana, sayangnya si bundar tak kunjung menjebol ring. “Arghh ... mampus! Udah mampus aja, kamu, Saga!” teriak Omen frustrasi, sudah dua jam mereka berlatih di lapang outdoor yang ada di kawasan tempat tinggal Sagara. Mereka sempat meminta izin pada pihak desa untuk berlatih di sana dan petugas desa mengizinkan. “Kal
Saga kembali ke rumah tepat waktu sesuai kesepakatannya dengan Wira. Begitu tiba di halaman depan, orang tuanya tampak kebingungan seperti tengah mencari sesuatu. Bukan hanya mereka saja, tapi mang Asep—tukang ojek yang waktu itu menolong Sagara—juga terlihat sibuk mencari seseorang bernama Ningsih. “Ada apa, Bu?” tanya Saga usai mencium tangan Euis. “Ningsih hilang, ibu dan bapak sedang membantu mang Asep mencarinya.” “Ningsih itu siapa?” “Dia anak perempuan mang Asep, kondisinya sedikit berbeda dengan kita. Mang Asep sudah mencari ke mana-mana tapi Ningsih tak kunjung ketemu. Ibu khawatir dia mengilang kayak kamu waktu itu, mungkin nyasar jauh karena selama ini Ningsih enggak pernah ke mana-mana,” jelas Euis detail sekali. “Ningsih juga tidak bisa bicara, hal itu pasti akan mempersulitnya untuk menemukan jalan pulang,” tambah Wira. “Seperti apa sosok Ningsih? Apa ada gambarnya biar aku bantu mencari,” tawar Sagara ingin balas budi pa
“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.” “Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.” “Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.” Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang. “Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.” Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
Janji permen karet yang semalam dibuat Sagara dan Ningsih sudah terpenuhi. Kini Sagara lebih percaya diri dengan penampilannya, tak ia sangka Ningsih begitu pandai memotong rambut. Modelnya pun begitu kekinian dan terlihat sangat cocok untuk Sagara, kedua orang tua lelaki itu memuji putranya sangat tampan dan mengucapkan terima kasih pada Ningsih. Usai menyelesaikan tugasnya, Ningsih langsung pamit pulang. Dia mencium tangan kedua orang tua Saga dengan sopan. Saga melakukan hal yang sama, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, sebelum pergi, kucing yang semalam dibawa pulang olehnya berlari dan menghadang langkah Sagara.“Aku berangkat sekolah dulu, kamu diamlah di sini dengan tenang dan jangan membuat keributan,” pesan Sagara setelah ia jongkok dan mengelus kepala si Kucing.“Jangan sombong Sagara,” kata si Kucing membuat satu alis Sagara terangkat.Rasa penasaran Saga meronta-ronta, ingin tahu maksud ucapan si Kucing yang tiba-tiba
Taruhan yang disepakati Saga dan anak IPA tadi pagi menambah daya tarik penduduk Tribakti untuk menonton pertandingan basket. Terbukti, sore ini, setelah kegiatan belajar mengajar usai ara siswa berbondong-bondong memenuhi pinggir lapangan basket. Seolah ada pertandingan internasional yang sebentar lagi akan digelar.Para pendukung Marchel sudah meneriakkan namanya dengan heboh. Semakin menggila teriakan mereka ketika dua pemain yang akan bertanding head to head memasuki lapangan. Seorang wasit masuk bersama mereka, melempar koin untuk menentukan bola akan dikuasai lebih dahulu oleh siapa.Koin menunjukkan sisi gambar, yang berarti Marchellah pemegang bola pertama. Peluit wasit dibunyikan, bola dilempar dan permainan pun dimulai. Sorak sorai semakin nyaring terdengar—meramaikan."Marchel! Marchel! Marchel! Ayooo Marchel, kalahkan si Sampah cupu!""Go Marchel go Marchel go!"Euforia pendukung Marchel bukan main hebohnya. Memb