Sevanya telah mencapai puncak hasrat tertinggi hingga mengeluarkan jerit kenikmatan. Padahal, hanya tanganku yang bermain-main. Namun, itu saja telah cukup membuatnya meronta sambil meminta lagi dan lagi.
Gadis itu bersimpuh di sebelah closet duduk dengan napas terengah. Aku menatapnya prihatin. Bahkan aku belum mendapatkan kenikmatan darinya. Dia telah tak berdaya menerima seranganku.
Kuembuskan napas panjang, kemudian keluar dari toilet, membiarkan Sevanya dengan kenikmatan yang telah berhasil membuat tatapnya menjadi kosong dan kepalanya dipenuhi pemikiran gila.
Gadis gila sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan gila yang mengoyak habis gairahnya. Dia merengek puluhan kali dan aku memberikannya sekali serangan mematikan.
“Apa yang kamu lakukan padanya, Adrian?” tanya Elaine setelah aku kembali duduk di sebelahnya.
“Hanya sedikit serangan untuk membuatnya jera.”
“Kamu memang laki-laki mengerikan.” Elaine
“Lo tahu kenapa udah berbulan-bulan gue nggak dapat proyek film?”Sevanya berdiri, kemudian melucuti kaus putih polos berlengan panjang yang ia kenakan. Kembali dia menatapku dengan senyuman lebar penuh makna.“Gue dinyatakan nggak sehat oleh Dokter Ningsih. Katanya, gue nggak boleh melakukan syuting karena akan mengakibatkan aktor yang lain mengalami hal sama kayak gue. Entah diskors berapa bulan. Gue nggak tahu pasti.Kalau lo berpikir gue sakit jiwa, gue mengakuinya. Gue emang sakit jiwa dan hyper dalam aktivitas kenikmatan yang panas.”Kini, aku menyadari hal penting dari kalimat Elaine. Cara yang terbilang aneh untuk menyampaikan peringatan padaku. Hal yang aku hindari sekarang dari gadis gila itu bukanlah gairahnya yang meledak-ledak.Akan tetapi, dokter khusus yang biasanya melakukan check up pada kami, Dokter Ningsih, sesuai yang dikatakan Sevanya, telah memvonisnya sebagai artis yang tidak layak mendapatkan proyek d
Sesaat setelah Sevanya berhasil diamankan para security, Elaine membakar sebatang rokok.“Dasar perempuan merepotkan!” Elaine berkata dengan nada yang amat dingin dan tatapan yang terkesan layaknya seorang pembunuh.Pada dasarnya, wanita itu memang kejam dan licik. Karena itu, bahkan Sevanya tidak berkutik setelah kedatangannya. Kini, aku bisa mengembuskan napas lega karena tidak jadi memberikan hasrat kenikmatan secara percuma pada gadis yang salah.Walau begitu, tatapan Sevanya tak kalah tajam, menyiratkan sebuah kebencian dan dendam pada Elaine. Mungkin termasuk diriku karena beberapa kali kulihat dia bergantian menatapku.“Bawa dia ke mobil,” perintah Elaine dan para security segera menyeret Sevanya meskipun sesekali meronta.Pikiranku telah dibuat kacau oleh satu gadis gila yang sangat hyper. Bagiku, apa yang terjadi pada Sevanya merupakan impact besar yang tidak dapat kuabaikan begitu saja.Suatu hari, entah ber
“Selamat datang di rumah baruku, Adrian.”Kini, aku berdiri di ruangan utama rumah besar bak istana milik Siska. Sebenarnya, tidak ada yang berbeda dari rumah baruku yang diberikan Elaine. Jadi, bukan hal yang mencengangkan bagi diriku yang sekarang.Jika dulu, mungkin aku akan berkhayal seribu kali untuk memiliki rumah mewah. Sayangnya, tidak ada yang istimewa ketika aku telah benar-benar merasa memilikinya.“Rumah yang bagus,” pujiku agar Siska tidak kecewa dengan reaksiku.Sofa yang empuk dan nyaman, lampu-lampu yang terang dan besar di langit-langitnya yang tinggi, lemari yang berdiri di sana-sini, serta televisi besar seperti yang ada di rumahku.Aku mengempaskan pantat di sofa, rasanya sama saja dengan sofa di rumahku.“Sebentar, ya, Adrian.”Gadis itu berlalu dan aku menunggu dengan reaksi yang bosan. Hingga tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa nampan berisikan sebotol Wine dan dua g
Lihat, betapa indah berkilauan rambut pirang lurus milik gadis bertubuh ramping dengan dua gundukan yang cukup besar. Tipis bibirnya membawa siapa pun yang melihat, masuk ke jurang kenikmatan imajinatif.Pinggul yang sedikit lebih lebar, perut yang seksi dan tinggi tubuhnya yang sangat pas dan proporsional. Aku tidak akan melupakan apa yang kulihat. Sesungguhnya, ini kali pertama aku berhadapan dengan gadis luar negeri.Sambil duduk dengan menggenggam mug, sesekali dirinya menyesap kopi hangat yang baru saja Elaine suguhkan.“Dialah Victoria, gadis yang akan berpasangan denganmu untuk film kedua.” Elaine berucap setelah menyesap habis rokok putih kesukaannya.“Hai, namaku Victoria, asal dari United State,” katanya dengan senyuman.Untungnya aku pernah sekolah dan tidak terlalu bodoh dalam berbahasa Inggris. Sehingga itu, aku merespons sambil mengacungkan tangan kanan.“Nama gue Adrian.”“Cool!
Saat keluar dari kamar mandi, Victoria berdiri di depan pintu, mengejutkanku dengan pakaian minimnya yang transparan dan menampakkan jelas lekuk tubuhnya.“Hai, Adrian.”Tampaknya, dia tengah berusaha menggodaku. Aku menghindari dirinya, sekuat tenaga agar kedua mata ini tidak melihat gundukan yang terpampang begitu jelas dengan dua bola kecil yang terlihat di sana.Sayangnya, Victoria segera meraih tanganku dan memaksa agar aku memperhatikan dirinya.“Bagaimana menurutmu?” tanyanya berusaha mendapatkan komentarku mengenai pakaian laknatnya yang telah berhasil membuat hasrat itu kembali menyerangku.Sambil menelan saliva, aku menjawab, “Ya … bagus.”“Terima kasih.”Segera kulepaskan tangan dari cengkeraman Victoria. “Gue pasang pakaian dulu.”Tentu, gadis berambut pirang dengan bola mata kuning tersebut tidak serta-merta membiarkanku pergi. Dia malah berjalan di
Victoria membuatku benar-benar kesusahan dan merasa panas-dingin setiap kali berusaha menggodaku. Keresahan semakin membalut diriku dan aku terpaksa harus menghindari segala pesonanya dengan keluar dari rumah.Meski pada akhirnya gadis itu sering kali memaksa ikut ke mana pun aku ingin pergi, kesempatan selalu kucuri saat dia akan mengganti pakaian. Hasilnya, aku berhasil bebas dari jerat godanya.Betapa menyebalkannya Elaine yang terus-menerus mengundur waktu syuting kami. Aku ingin cepat-cepat gadis bule itu enyah dari rumahku dan mendapatkan kembali kehidupan normal.Kuembuskan napas panjang, kemudian melangkah masuk ke minimarket demi membeli sebotol minuman dingin segar dan camilan yang rasanya ingin kunikmati sambil bertatap bosan di dalam mobil.Memang tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Bersenang-senang ke tempat hiburan pun akan percuma karena beberapa orang pasti akan mengenali wajahku.Untungnya, aku hanya seorang bintang film dewasa,
“Sebelum kita ke hotel, gue boleh nggak ngajak lo ke suatu tempat?”“Ke mana?”“Ke suatu tempat. Gue bakal tunjukin jalannya.”Sebenarnya aku telah tidak sabar untuk membalaskan dendam dan kebencianku selama ini pada Nindya. Betapa kurang ajar mulut tajam dan sikapnya yang seolah-olah memiliki derajat lebih tinggi dariku.Walau begitu, aku demikian menyetujui permintaannya untuk sekali ini saja. Maka, di persimpangan empat, aku berbelok ke kiri mengikuti instruksi Nindya.“Gue nggak sabar, sih, mau menikmati malam panjang nan indah sama lo.”Jangan berpikir dia berkata manis dengan senyuman yang begitu tulus seperti gadis-gadis dalam dongeng. Aku melihat dengan jelas kilatan cahaya di matanya yang menandakan betapa licik dan keji gadis berambut sebahu itu.Menanggapi perkataannya, aku hanya mengangkat satu sudut bibir. Memangnya dari mana kepercayaanku bisa tumbuh lagi padanya? Tak lagi
Victoria membuka pintu rumah, kuempaskan kepala di antara dua gundukan besarnya. Pastinya, dia akan bertanya-tanya tentangku. Seperti yang dia ketahui, aku begitu sulit diajak melakukan hal panas akhir-akhir ini.Namun, kini seolah-olah aku menginginkannya. Ini akibat stres yang menyerang saat semua cerca paling keji menghantam diriku hingga terlempar ke keadaan paling kosong.“Ada apa denganmu, Adrian?”Tak ada jawaban sama sekali dariku. Tak lama, Victoria menarikku masuk, lalu membaringkanku di sofa.“Matikan lampunya, Victoria.”Tanpa perlu bertanya, gadis berambut pirang itu menekan saklar yang terpasang di dinding. Dia kembali mendekati, menatap raut wajah kekosonganku dengan penuh selidik.“Gue nggak akan menjawab apa pun pertanyaan lo. Jadi, sebelum lo bertanya, sebaiknya gue katakan lebih dulu.”“It’s okay. Tapi, aku perlu tahu kamu habis dari mana?”&ldquo