Nathaniel baru masuk kediaman Alexander, merasa berat hati. Sebelumnya, Gabriel mendesak Nathaniel untuk tinggal di rumahnya demi keamanan, dan Nathaniel tidak bisa menolak mengingat kekhawatiran keluarganya.
“Nate,” panggilan bernada tegang membuat Nathaniel penasaran. Elena duduk di ruang tengah, seolah menunggunya. iPad di tangannya masih menyala, baru saja dia gunakan.
“Kau baru dari rumah sakit?” kata Elena.
“Aku khawatir pada Isabella,” kata Nathaniel. Elena menatap putranya, wajahnya terlihat pucat dan ada lingkar mata hitam di sekitar matanya. Belakangan ini, sepertinya dia kesulitan tidur. Elena menghampiri Nathaniel, lalu membelai wajah putranya, “Aku tahu kau khawatir pada Isabella, tapi jangan mengabaikan dirimu sendiri. Kau bisa sakit juga.”
Nathaniel hanya diam. Tak lama, muncul Gabriel dengan wajah marah. “Apa lagi yang terjadi?” kata Gabriel.
Elena dan Nathaniel menoleh pad
Dalam kepasrahan, dia memutuskan untuk menutup akun media sosialnya sementara waktu. Dengan beberapa ketukan jari, dia mengatur agar akun-akunnya tidak bisa diakses, berharap bisa mengurangi tekanan yang dirasakannya.Setelah menonaktifkan media sosialnya, Nathaniel merasa sedikit lega. Namun, kekhawatiran tentang Isabella masih menghantuinya. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa berada di sisinya saat ini. Dia kemudian meraih ponselnya lagi dan menelpon Felix.Suara dering terdengar beberapa kali sebelum akhirnya Felix mengangkat telepon. “Halo, Nate,” suara Felix terdengar hangat.“Felix, aku butuh bantuanmu,” kata Nathaniel dengan suara berat, nyaris tercekik oleh emosinya sendiri.“Ada apa, Nate?” Felix langsung terdengar khawatir.“Bisa kah kau menjenguk Isabella? Aku tidak bisa melakukannya sendiri,” Nathaniel mengakui dengan keputusasaan yang mendalam dalam suaranya. “Emilia tidak
Isabella merasa hatinya semakin gelisah setiap detik berlalu tanpa berita dari Nathaniel. Setelah berusaha mencari informasi dan menghubungi Nathaniel tanpa hasil, dia akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Dengan tekad yang bulat, dia pergi ke rumah Gabriel, berharap bisa bertemu dengan Nathaniel.Sesampainya di rumah Gabriel, Isabella disambut oleh Gabriel sendiri yang tampak sinis. “Apa yang kau lakukan di sini, Isabella?” tanyanya dengan nada dingin.“Aku ingin bertemu dengan Nate. Aku butuh bicara dengannya.”Gabriel menghela napas panjang, terlihat tak sabar. “Isabella, sebaiknya kau tidak lagi berhubungan dengan Nate. Hubungan kalian hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah.”Isabella tampak bingung dan terluka oleh kata-kata Gabriel. “Tapi kenapa? Kami saling mencintai. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”Gabriel menatap Isabella dengan tatapan serius. &ldqu
Keesokan harinya, Isabella masih mencari cara untuk menghubungi Nathaniel. Dengan rasa cemas yang terus mengganggu pikirannya, dia mencoba menelepon nomor Elena, namun tak satu pun panggilannya dijawab. Pesan-pesan yang dikirim pun tidak dibalas.Isabella duduk di tepi tempat tidur pasien, memegangi ponsel, mendesah dalam kegelisahan. “Mungkin Elena juga kecewa dengan perlakuan Ibu pada Nathaniel,” gumamnya pada diri sendiri, merasa semakin putus asa.Setelah merasa tidak ada pilihan lain, Isabella memutuskan untuk menghubungi Felix. Namun, jawaban Felix tidak membawa kabar baik.“Maaf, Isabella,” kata Felix di ujung telepon, “aku sudah mencoba menghubungi Nate beberapa kali, tapi sepertinya nomornya tidak aktif.”Isabella merasa semakin putus asa. Setelah menutup telepon, Isabella meletakkan ponselnya dengan frustrasi. Matanya penuh kegelisahan saat dia beralih menatap Emilia yang baru saja masuk ke kamar. “Ibu,
Beberapa waktu kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter, dengan wajah tenang keluar dan mendekati Julian serta Olivia. Olivia segera bangkit dari kursinya. “Dokter, bagaimana keadaannya? Apa lukanya parah?” tanyanya.Dokter menghela napas dan memberikan senyuman tipis yang menenangkan. “Nathaniel hanya mengalami luka memar, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan,” jawabnya.Julian yang berdiri di sebelah Olivia, tampak lebih tenang namun masih khawatir. “Lalu, kenapa dia sampai pingsan? Apa ada sesuatu yang lebih serius?” tanyanya.Dokter menatap mereka dengan penuh pengertian. “Nathaniel mengalami kelelahan ekstrem dan dehidrasi,” jelasnya. “Sepertinya belakangan ini dia kurang tidur dan tidak makan serta minum dengan baik. Tubuhnya akhirnya tidak mampu menahan beban itu dan dia pingsan.”Olivia terlihat terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi, dia hanya terlalu lel
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.