Isabella merasa hatinya semakin gelisah setiap detik berlalu tanpa berita dari Nathaniel. Setelah berusaha mencari informasi dan menghubungi Nathaniel tanpa hasil, dia akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Dengan tekad yang bulat, dia pergi ke rumah Gabriel, berharap bisa bertemu dengan Nathaniel.
Sesampainya di rumah Gabriel, Isabella disambut oleh Gabriel sendiri yang tampak sinis. “Apa yang kau lakukan di sini, Isabella?” tanyanya dengan nada dingin.
“Aku ingin bertemu dengan Nate. Aku butuh bicara dengannya.”
Gabriel menghela napas panjang, terlihat tak sabar. “Isabella, sebaiknya kau tidak lagi berhubungan dengan Nate. Hubungan kalian hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah.”
Isabella tampak bingung dan terluka oleh kata-kata Gabriel. “Tapi kenapa? Kami saling mencintai. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Gabriel menatap Isabella dengan tatapan serius. &ldqu
Keesokan harinya, Isabella masih mencari cara untuk menghubungi Nathaniel. Dengan rasa cemas yang terus mengganggu pikirannya, dia mencoba menelepon nomor Elena, namun tak satu pun panggilannya dijawab. Pesan-pesan yang dikirim pun tidak dibalas.Isabella duduk di tepi tempat tidur pasien, memegangi ponsel, mendesah dalam kegelisahan. “Mungkin Elena juga kecewa dengan perlakuan Ibu pada Nathaniel,” gumamnya pada diri sendiri, merasa semakin putus asa.Setelah merasa tidak ada pilihan lain, Isabella memutuskan untuk menghubungi Felix. Namun, jawaban Felix tidak membawa kabar baik.“Maaf, Isabella,” kata Felix di ujung telepon, “aku sudah mencoba menghubungi Nate beberapa kali, tapi sepertinya nomornya tidak aktif.”Isabella merasa semakin putus asa. Setelah menutup telepon, Isabella meletakkan ponselnya dengan frustrasi. Matanya penuh kegelisahan saat dia beralih menatap Emilia yang baru saja masuk ke kamar. “Ibu,
Beberapa waktu kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter, dengan wajah tenang keluar dan mendekati Julian serta Olivia. Olivia segera bangkit dari kursinya. “Dokter, bagaimana keadaannya? Apa lukanya parah?” tanyanya.Dokter menghela napas dan memberikan senyuman tipis yang menenangkan. “Nathaniel hanya mengalami luka memar, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan,” jawabnya.Julian yang berdiri di sebelah Olivia, tampak lebih tenang namun masih khawatir. “Lalu, kenapa dia sampai pingsan? Apa ada sesuatu yang lebih serius?” tanyanya.Dokter menatap mereka dengan penuh pengertian. “Nathaniel mengalami kelelahan ekstrem dan dehidrasi,” jelasnya. “Sepertinya belakangan ini dia kurang tidur dan tidak makan serta minum dengan baik. Tubuhnya akhirnya tidak mampu menahan beban itu dan dia pingsan.”Olivia terlihat terkejut mendengar penjelasan itu. “Jadi, dia hanya terlalu lel
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”Isab