Isabella yang merupakan seorang penulis novel thriller mendapati dirinya terjebak dalam pusaran intrik yang merenggut kedamaian hidupnya. Setelah dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, Isabella tidak bisa mempercayai orang lain lagi. Hingga akhirnya dia menyadari jika Nathaniel— adalah pengecualian. Pria yang terlihat dingin itu memiliki hati yang tulus bak gula kapas. Di tengah usahanya mendapatkan hati Nathaniel, pria yang ia cintai justru menjadi target serangan dari mantan pacarnya. Isabella dilema, haruskah dia memilih antara tetap bersama Nathaniel? Atau kembali pada mantan pacarnya, demi menjaga keamanan Nathaniel?
Lihat lebih banyakNathaniel memasuki flatnya dengan langkah yang cepat, lalu segera menyalakan lampu. Ruangan terasa hening, dan keheningan itu menggetarkan dadanya. Adegan-adegan dari film horor yang baru saja ditonton masih menghantui pikirannya, membuat Nathaniel merasa agak gugup. Dia menyesali keputusannya untuk menonton film horor. Seharusnya tadi dia mengabaikan ledekan Isabella, daripada harus terbayang-bayang wajah-wajah seram yang terpampang di layar. Sekarang, dia meragukan keberaniannya untuk pergi ke kamar mandi jika nanti dia ingin buang air. Dengan napas yang naik turun, Nathaniel memutuskan untuk memasuki kamar barunya yang tidak terlalu besar. Di dalam kamar, hanya ada tempat tidur single dan sebuah lemari kecil yang masih kosong. Semua pakaiannya masih tertinggal di rumah Julian, dan dia masih belum tahu kapan akan mengambilnya. Teringat Julian, sedikit mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang ngerinya adegan-adegan film. Nathaniel duduk di ujung te
Selama dua hari penuh, Nathaniel dan Isabella sibuk menata dan mendekorasi flat yang baru saja disewa. Mereka berdua bekerja keras, mencoba membuat ruangan tersebut menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Setelah waktu yang cukup lama berlalu, flat yang disewa Nathaniel sudah tertata rapi dan nyaman. Isabella mengusapkan jari-jarinya di atas permukaan meja kayu yang baru saja mereka letakkan di tengah ruang. “Kurasa ini sudah cukup nyaman,” kata Isabella. “Meski menurutku, tinggal di rumah Elena akan jauh lebih nyaman.” Nathaniel terdiam sejenak, mencerna kata-kata Isabella. “Mungkin kau benar,” kata Nathaniel setelah beberapa saat. “Tapi jika aku tiba-tiba pindah, Elena pasti akan heran dengan apa yang terjadi. Apa kau pikir aku bisa mengatakan yang sebenarnya soal Paman Julian?” Isabella melihat ada kesedihan di mata Nathaniel. Dia tahu bahwa meski Nathaniel kecewa pada Julian, pemuda itu sulit untuk melupakan kedekatannya dengan pria
Senja mulai turun, membawa suasana yang semakin dingin di udara. Nathaniel keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi berwarna putih yang melingkari tubuhnya. Saat melangkah menjauh dari kamar mandi, tatapannya terarah pada Isabella yang sedang mencuci mangkok kotor di wastafel. Yang membuat Nathaniel merasa heran adalah karena Isabella terdiam dan membiarkan air terus mengguyur mangkok di tangannya meski pun sudah bersih, sementara kedua mata gadis itu terlihat menerawang— seolah memikirkan sesuatu. “Isabella, itu sudah bersih,” tegur Nathaniel. Isabella tersentak dan baru menyadari jika dia baru saja tenggelam dalam lamunan. Isabella buru-buru mematikan keran, kemudian meletakkan mangkok di rak. Isabella menoleh pada Nathaniel sembari berusaha tersenyum, “Kau sudah selesai mandi?” Nathaniel mengangguk. Setelah mandi air hangat, wajah pemuda itu terlihat lebih segar— meski Isabella tetap bisa melihat kabut keresahan di matanya. Sebelumnya, Nathaniel
Isabella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju pusat perbelanjaan. Hari Minggu menjadi waktu yang tepat baginya untuk mengisi stok persediaan kulkas dan barang-barang rumah tangga lainnya. Di perjalanan, Isabella mencoba menghubungi Nathaniel melalui perangkat telepon mobilnya, namun panggilannya tidak kunjung terhubung. Sebenarnya Isabella ingin mengajak Nathaniel untuk berbelanja bersama, jika pemuda itu bersedia. Namun setelah beberapa kali menghubunginya, panggilan Isabella tidak tersambung juga. “Mungkin dia sedang sibuk,” pikir Isabella lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Tetapi tiba-tiba, dia melihat sosok Nathaniel yang berjalan sempoyongan di trotoar. Kedua mata Isabella terbelalak kaget. “Nate?” serunya kebingungan. Isabella segera menghentikan mobilnya, lalu bergegas turun dari mobil. Langkahnya terburu-buru menuju Nathaniel yang masih melangkah gontai di tepi trotoar. “Nate!” Isabella menarik lengan pemuda itu
Julian sibuk di dapur, mengeluarkan beberapa bahan seperti tepung dan yang lainnya untuk membuat kue pai. Saat membuka kulkas, Julian baru sadar jika dia tidak memiliki apel lagi. “Aku harus ke supermarket dulu untuk belanja,” gumamnya. Tiba-tiba, Julian mendengar suara pintu dibuka dari arah depan. Dia segera melangkah, memastikan apakah Nathaniel sudah pulang. Nathaniel baru melepas mantel dan syalnya saat Julian muncul dari arah dapur. “Nate, kau sudah pulang?” tanya Julian. Nathaniel menoleh, terdiam, menatap Julian dengan datar. Pikirannya masih penuh dengan banyak hal yang membingungkan, termasuk kebohongan yang mungkin dilakukan oleh Julian selama ini. “Paman, ada yang ingin aku tanyakan—” Belum selesai Nathaniel bicara, Julian lebih dulu menyela, “Nanti saja, Nate. Aku masih harus ke supermarket untuk membeli apel. Aku berniat membuat pai apel, hari ini ulang tahunmu, kan? Aku akan membuatkan kue favoritmu.” “Paman, aku bukan anak kecil lagi,
15 tahun lalu di tepi danau yang sunyi, Julian berenang sekuat tenaga sambil mendekap erat Nathaniel kecil yang tenggelam di dadanya. Air danau menggelombang dan berkilauan di bawah sinar bulan yang redup. Tiba di tepi danau, Elena dengan wajah penuh kepanikan berteriak sambil menangis. Tatapan putus asa menghiasi wajahnya ketika dia membantu Julian naik ke atas. Nathaniel yang saat itu masih seorang anak berusia 12 tahun, tampak tak berdaya dalam dekapan Julian. Matanya berkaca-kaca, terlihat ketakutan dan lemas. Meskipun ia menyadari suara Elena memanggil namanya, rasa lelah membuatnya tak sanggup menyahut. Dalam kegelapan yang merangkak, kesadarannya perlahan-lahan memudar. *** Nathaniel terbangun dari pingsannya dengan terkejut, mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Samar-samar dia bisa melihat saat Elena, Gabriel Alexander dan Camilia berjalan ke arah pintu keluar sambil bicara serius dengan Julian— seolah b
Malam itu, Isabella menghabiskan waktunya bersama Nathaniel dan keluarganya. Mereka begadang, bercerita, dan tertawa bersama hingga larut malam. Namun, semakin larut, semakin terasa kelelahan menghampiri mereka, dan mereka pun memutuskan untuk beristirahat. Gabriel dan Camilia sudah lebih dulu istirahat di kamar, sementara Elena berniat mengantar Isabella menuju kamar tamu. Elena tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya. “Kau bisa tidur di ruang tamu, atau malah kau ingin tidur di kamar Nate saja?” ucap Elena sambil tersenyum. Isabella menjawab sembari tertawa kecil, “Tentu saja aku mau, tapi sepertinya Nate akan keberatan jika aku tidur di kamarnya.” Isabella menoleh pada Nathaniel, mencari reaksi dari pemuda itu, namun Nathaniel hanya terdiam, sepertinya sibuk dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang mengganggunya, tapi Isabella tidak yakin apa itu. “Nate?” panggil Isabella. Nathaniel tersadar dari lamunan dan menatap Isabella dengan tatapa
Nathaniel segera menerimanya, lalu memotong kue tersebut dan meletakkannya pada piring-piring kecil yang sudah disediakan di meja ruang tengah. “Jangan tanya siapa yang mendapat potongan pertama, aku sudah memotongnya sama rata,” ucap Nathaniel saat membagi kue tersebut pada Gabriel, Camilia, lalu pada Elena dan Isabella. Semua menerima potongan kue itu dengan suka cita. Suasana kebersamaan yang hangat dan bahagia terasa begitu nyata di antara mereka, menghangatkan hati Nathaniel dan menyatukan mereka lebih erat lagi. Setelah menikmati kue, Gabriel tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, kami juga sudah menyiapkan hadiah untukmu,” ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu memberikan sebuah kotak kecil pada Nathaniel. Nathaniel menerima kotak itu. “Bukalah, aku harap kau suka,” kata Gabriel. Nathaniel membuka kotak itu dan melihat sebuah jam tangan Rolex yang elegan di dalamnya. “Terima kasih, Ayah,” ucapnya dengan tulus. Tak mau
Nathaniel baru saja akan mematikan lampu di kamarnya ketika ponselnya berbunyi. Tangannya segera meraih ponsel di meja nakas, ia melihat ada pesan dari Elena.[Tolong!!!”] Pesan singkat itu seketika membuatnya terbelalak, menyebabkan rasa kantuk yang baru saja menghampirinya sirna dalam sekejap. Kekhawatiran langsung menggantikan kelelahannya.Nathaniel segera membalas pesan, tetapi tidak ada jawaban. Bahkan ketika dia mencoba menelepon nomor Elena, suara sambung tidak terdengar. Nomor itu seolah-olah tidak aktif.Tanpa meraih kunci mobilnya yang terletak di atas meja. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada ibunya, dan dia tidak bisa duduk diam.Dengan hati yang berdebar-debar, Nathaniel bergegas menuju mobil Elena yang masih ada di luar rumah. Dia memasuki mobil dan segera memutar kunci kontak. Dia mengendarai mobil dengan cepat, membelah jalanan yang se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.