Tidak mendapat kasih sayang orang tua, Callista memilih bekerja jadi sugar baby. Berharap bisa menemukan pria tua yang bisa mencintainya seperti seorang ayah. Karena itu juga dia bertemu Harvie Carlton, pria berusia tiga puluh tiga tahun yang dipaksa jadi ayah untuk keponakannya yang baru kehilangan kedua orang tuanya. Juga dipaksa untuk menikah secepatnya dan memberikan sang keponakan sosok seorang ibu. Bagaimana hubungan mutualisme antara dua individu yang sama-sama keras ini bisa dipertahankan?
Lihat lebih banyak“Ya, Tante?” tanya Star dengan mata membulat. “Kok Tante lagi sih, Star?” Helena langsung protes. “Maaf, Ma.” Star meringis pelan. “Coba shareloc tempatmu sekarang. Biar Mama yang jemput.” “Hah?” ucap kaget Star. “Mama yang bakal jemput kamu, Star. Ih, kamu kenapa sih? Udah tiga kali loh Mama bilangin.” “Oh, iya Ma. Soalnya Star lagi urus sesuatu, jadi gak fokus.” Star terdengar makin gugup saja. Bagaimana mungkin Star membiarkan Helena datang menjemputnya. Dia tidak mungkin menggunakan make upnya di depan Helena. Menghapus make up di kampus sekalipun terlalu riskan, bagaimana kalau ada yang melihatnya? Terutama karena Hillary cukup sering menempel dengannya. “Oh ya udah. Nanti kamu kirimin saja alamatnya, nanti biar Mama tungguin kamu selesai.” “Hah? Gak usah deh, Ma. Takutnya saya lama,” Star segera menolak. “Gak apa-apa kok. Sekalian nanti bisa jalan-jalan keliling kampusmu. Siapa tahu ada jajanan yang menarik di kantin.” Tawa Helena justru membuat Star merinding. Ini
"Ada apa dengan wajahmu itu?" Marcus yang baru masuk ke dalam ruangan Harvie langsung bertanya dengan ekspesi aneh. Bagaimana tidak? Sepagi ini Harvie sudah duduk berputar-putar menggunakan kursi kerjanya sambil cengengesan tidak jelas. Hal yang tidak pernah terjadi, sesenang apa pun lelaki itu, dan membuat Marcus berpikir temannya sudah gila. "Aha, ini dia biang keroknya sudah datang." Harvie berhenti berputar dan memukul mejanya cukup keras. "Biang kerok apanya?" tanya Marcus bingung. "Gara-gara mulut embermu, Star hampir marah padaku." Harvie maju dan mencengkram kerah kemeja Marcus. "Wow, Bro. Tenang." Marcus memegang tangan Harvie dan mengurainya. "Coba ceritakan dulu baik-baik apa masalahmu?" Marcus bertanya dengan tenang, berusaha membuat sahabatnya tidak makin marah. "Gara-gara mulutmu Star marah dan nyaris mendiamiku kemarin." Harvie menuding Marcus dengan jarinya masih dengan ekspresi marah. "Memangnya aku ngomong apa sama pacar sewaanmu itu?" Kening Marcus ber
"Kak Harvie yang ngomong seperti itu pada Derina?" Belum juga Harvie duduk di bar stool di bagian counter, Star sudah memberikan pertanyaan yang tidak dimengerti. Dia makin bingung karena Star terlihat sedang bad mood. Padahal Derina sudah diusir. "Yang mana yang kau maksud?" tanya Harvie hati-hati dan segera mengumpat dalam hati setelahnya. Baru kali ini Harvie merasa perlu hati-hati saat berbicara dengan seorang wanita. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya. Bahkan tadi Derina saja seperti itu, kenapa sekarang jadi terbalik? "Katanya Derina, Kak Harvie yang bilang ke kakaknya kalau saya ini hanya wanita bayaran yang murahan dan menjual tubuh kemana-mana." Star terlihat santai, tapi nada suaranya jelas marah. Saking marahnya, Star bahkan melebih-lebihkan apa yang dikatakan Derina sebelumnya. Seolah Star ingin membuat Derina menjadi orang jahat yang sedang merundungnya. Jujur saja dia cukup terhibur dengan wajah ketakutan Harvie. Ya, benar. Harvie terlihat sedikit ke
“Kau mengenalinya?” tanya Derina terlihat tidak percaya, sembari menatap dua orang yang berdiri beradapan itu. “Oh, tentu saja. Kami bisa dibilang nyaris seperti saudara. Star ini pelanggan setiaku juga.” Irish menjawab tanpa beban, membuat kening Derina berkerut. Derina sudah berteman dengan Irish lumayan lama. Sudah sering juga meminta bantuan Irish untuk mendandani dirinya, tapi dia tidak pernah mendengar Irish menyebut nama Star sekalipun. “Kau tinggal di sini sekarang? Kudengar ini unit milik Harvie Carlton. Apa sekarang kau jadi simpanannya?” tanya Iris tanpa basa-basi. “Tunangan. Harvie Carlton itu tunanganku, Irish.” Anggukan kepala Irish membuat mata Star menyipit. Mencoba mencari tahu apa alasan perempuan bersama dengan Derina. Apalagi, sedari awal Irish tidak sedekat itu dengan Star. Irish masih menjalankan semua tugasnya dengan baik, tapi tidak pernah terlalu dekat secara personal dengan Star. Jadi Star kurang tahu lingkup pertemanan Irish. Lagi pula, sejak ka
Star menatap kamar barunya dengan seksama disetiap sudutnya. Dirinya sengaja memilih kamar yang lebih kecil, karena merasa tidak sopan jika menggunakan kamar Harvie. "Berapa kali pun, aku akan tetap kagum. Ternyata dia serapi itu." Ini merupakan kali kedua Star berada di apartemen ini dan baru memperhatikan detail tiap ruangan. Unit ini mempunyai kesan minimalis namun berkelas dan didominasi dengan warna hitam putih. Khas lelaki yang membuat Star merasa canggung. Ini pertama kalinya Star menginap di rumah lelaki. Atau lebih tepatnya baru pertama kalinya menginap di rumah orang. Mau tidak mau Star merasa gugup. Belum lagi Star merasa khawatir dengan Harvie. Bagaimana kalau pria itu tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk dan menyerangnya? Walau Harvie kini tinggal di rumah orang tuanya, dia kan masih punya kartu akses ke unit ini. Hal yang membuatnya mengunci pintu itu dua kali. Baru saja selesai mengunci pintu, ponselnya berdering kencang. Nyaris membuat Star terjengkang ke belaka
"Pak, Bu Helena datang untuk menemui anda." Kata-kata Brian, membuat Harvie mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. Dia memandang asisten pribadinya itu dengan bingung. Perasaan baru beberapa jam yang lalu dia mengantar ibunya pulang, setelah meninggalkan Star dengan setengah lusin pengawal. Sekarang tiba-tiba ibunya datang ke kantor? "Perasaan dia sudah tahu Star dan dua orang pengikutnya akan tinggal di apartemenku, jadi sekerang kenapa lagi?" Harvie bertanya, tapi sayang sang asisten tidak punya jawabannya dan hanya bisa menggeleng. "Suruh beliau masuk saja dulu dan siapkan minuman." Entah kenapa Harvie merasa ini akan menjadi pembicaraan yang melelahkan. "Mama ngapain lagi ke sini?" Harvie langsung bertanya begitu melihat Helena masuk. "Gak sopan banget sih? Ibunya belum juga duduk, sudah ditanya seperti itu. Kayak mau ngusir Mama aja kamu, Vie." Tanpa menjawab ibunya, Harvie mengarahkan tangan ke arah sofa. Meminta ibunya duduk di sana tanpa kata-kata. Mereka ba
Star terbangun dari tidurnya ketika merasakan ada yang memukul kepalanya. Ketika matanya terbuka dan hendak mendonggak, sebuah tangan kecil mendarat di matanya. Refleks Star menutup matanya. Hal berikut yang disadari Star adalah suara anak bayi. Hanya suara 'aah' panjang, tapi itu sudah cukup membuat Star tersadar kalau ada Yvonne tertidur di sebelahnya. Yes. Pada akhirnya semua orang menginap di rumahnya atas paksaan Helena. Bahkan ada dua pengawal yang terus berjaga di depan pintu rumah. Jujur, itu membuat Star tidak nyaman. "Good morning cantik," bisik Star pelan setelah menyingkirkan kepalan tangan kecil itu dari wajahnya. Yvonne membalas dengan sapaan tak jelas dan senyum indah merekah. Star segera bangun dari posisi tidurnya dan mencari Helena yang semalam tidur dengannya, sementara Harvie tidur di kamar tamu. "Sudah bangun?" Star mendonggak melihat Helena yang baru masuk ke kamar dengan botol susu di tangan. Dirinya hanya mengangguk singkat dan meminta botol susu d
"Ada apa sih, Ma? Kok semalam ini telepon?" Harvie yang baru selesai mandi mengeluh pada ibunya lewat telepon. "Ini, Vie. Yvonne rewel, dari tadi dia nangis terus." "Ya, lalu?" tanya Harvie dengan bingung. "Kira-kira Star masih bangun gak ya? Soalnya cuma dia yang bisa nenangin Yvonne." Harvie menghela napas panjang. Masa iya sih ibunya mau meminta Star datang ke rumah mereka hanya demi Yvonne? Yvonne bahkan bukan siapa-siapa Star loh. "Besok pagi saja ya, Ma. Gak sopan kalau telepon dia semalam ini." "Mama sih pengennya ke rumah Star biar cepet. Kamu coba share lokasinya dong, Vie." Helena tidak memedulikan kata-kata anaknya. Tentu saja Harvie tidak setuju dengan keinginan ibunya, tapi karena Yvonne tidak berhenti menangis, Helena tetap memaksa. Lalu setelah perdebatan panjang, Harvie akhirnya kalah. Namun, merasa tidak tenang membiarkan ibunya ke rumah Star berdua Yvonne saja, Harvie menyusul dari apartemennya. Apalagi pesan yang dia kirim berlum terbaca. "Syukurlah di
"Enak saja. Gak bisa gitu dong, Star." Harvie segera protes begitu mendengar syarat dan ketentuan yang diminta gadis itu. Isinya terlalu merugikan Harvie, setidaknya itu yang dipikirkan Harvie. Dia tidak terima karena Star tidak mau memberikan 'jatah' setelah menikah. "Kenapa? Saya tidak keberatan anda 'jajan' di luar," Star memberikan perlawanan. "Apa kata orang nanti? Kau ingin mempermalukan keluargaku?" Harvie menyerang Star tanpa ampun. "Tolong kecilkan suaranya. Kita sedang ditempat umum." Star berbisik pada Harvie. "Persetan dengan tempat umum." Harvie menggerutu. Sebenarnya sudah terlambat bagi Star untuk meminta Harvie diam. Pasalnya semenjak mereka masuk ke tempat makan yang direkomendasikan Brian ini, semua mata sudah terpaku pada mereka. Dengan visual bak dewa-dewi yunani. Belum lagi dengan kepopuleran Harvie, jelas saja mereka mampu menyedot perhatian publik. Makin menjadi perhatian ketika mereka mulai berdebat. "Oke. Kalau begitu nanti kita bahas lagi di te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.