Isabella sibuk di dapur, perasaannya penuh harap. Pagi ini dia sedang memasak kari spesial untuk Nathaniel—pemuda yang selalu memenuhi pikirannya. Selama aktivitas memasaknya, bibir Isabella tak henti mengulas senyum, membayangkan jika kari spesial yang dibuat dengan cinta ini akan dinikmati oleh pujaan hatinya.
Kini sudah seminggu setelah insiden hampir berciuman di dapur, Isabella makin yakin bahwa Nathaniel memiliki perasaan yang sama dengannya. Isabella hanya perlu menciptakan situasi seperti sebelumnya— berita bagusnya saat ini sudah tidak akan ada orang yang mengganggu karena ibunya sudah kembali ke Lavenham setelah kondisinya pulih sepenuhnya. Bukan berarti Isabella mengusir wanita itu hanya karena tidak ingin diganggu saat berniat mesra-mesraan dengan Nathaniel, Isabella hanya ingin Emilia aman dari gangguan Ayahnya.
Setelah beberapa saat, kari yang dimasak oleh Isabella akhirnya matang, mengeluarkan aroma harum yang menguar di seluruh ruangan. Isab
Sore itu Isabella dan Nathaniel meninggalkan kantor BelleVue Book bersama-sama, langkah mereka seiring dengan semilir angin musim dingin yang sejuk.“Setelah ini aku masih harus ke kantor Evergreen Publishing, aku harus meeting untuk rencana perilisan buku 'The Labyrinth of Lies' yang terbit di sana,” ujar Isabella, suaranya terdengar bersemangat.Nathaniel mengangguk, “Oke. Sebelumnya selamat, aku yakin bukumu akan selalu sukses.”“Terima kasih,” jawab Isabella dengan senyum. “Apa kau mau ikut aku ke kantor Evergreen Publishing?”Nathaniel mengernyitkan dahi, mempertimbangkan tawaran Isabella. “Mau apa aku ke sana? Kau ingin mereka menindasku karena merebut penulis kesayangan mereka?”Isabella tertawa, menyadari kekhawatiran Nathaniel. “Jangan bilang kalau kau adalah editor BelleVue Book. Katakan kalau kau pacarku.”Nathaniel menggeleng sambil tersenyu
Isabella meninggalkan ruang pertemuan di penerbit Evergreen dengan rasa puas. Meeting telah berjalan lancar, dan ia merasa senang dengan hasilnya. Bersama Eleanor— editor yang telah mengurus naskahnya dengan baik, ia meninggalkan kantor menuju pintu keluar.“Semoga perilisan bukumu nanti berjalan lancar,” ucap Eleanor sambil menatap Isabella dengan penuh harap. “Untuk rencana tur promosi bukumu yang akan dilakukan di luar kota, kau bilang ingin mengajak seseorang. Sebenarnya siapa yang ingin kau ajak?”Isabella tersenyum, mata berbinar dengan pikiran yang melambung tinggi.Eleanor makin penasaran melihat Isabella hanya tersenyum-senyum sendiri. “Hei, bukannya jawab malah senyum-senyum,” tegurnya. Eleanor jadi teringat postingan Isabella di media sosialnya beberapa hari lalu. “Ah, apa kau ingin mengajak pemuda itu?”“Siapa maksudmu?” tanya Isabella, mencoba menutupi kegembiraannya.
Nathaniel menyimpan ponselnya di saku sesaat setelah mengakhiri panggilan dengan Isabella. Saat itulah, dia melihat Jane keluar dari pintu ruang pemeriksaan klinik dengan langkah pincang.Nathaniel segera menghampiri dan membantu memapah Jane. “Apa kata dokter?” tanya Nathaniel.“Tidak masalah, hanya luka sobekan kecil. Sudah dibalut dengan baik,” jawab Jane dengan senyum lebar, meredakan kekhawatiran Nathaniel.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu,” tawar Nathaniel.“Sungguh? Aku senang sekali kau meluangkan waktumu,” kata Jane dengan senang, menerima tawaran Nathaniel dengan antusias.Tanpa menunggu lebih lama, Nathaniel membimbing Jane berjalan keluar klinik. Begitu tiba di parkiran depan klinik, dia segera membukakan pintu mobil untuk Jane dengan sopan.Ada kamera berkedip di kejauhan, menangkap momen ketika Nathaniel membantu Jane masuk ke dalam mobilnya. Tanpa disadari, mereka menjadi o
Nathaniel merasakan jika situasi makin tidak wajar, dia menyadari bahwa daerah di sekitarnya makin sepi— terutama karena sudah larut malam. Dengan pertimbangan tersebut, Nathaniel memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan menanyakan keadaan kepada Jane.“Jane, kau yakin tidak tersesat?” tanya Nathaniel dengan wajah penuh kekhawatiran.Namun, Jane hanya tertawa melihat keresahan Nathaniel. “Tidak sama sekali, Nate. Kita berada di arah yang benar. Baiklah, kurasa kita memang sudah sampai.”“Kurasa?” Nathaniel mengulangi ucapan Jane yang seolah tidak yakin. Namun Jane mengabaikan keheranan Nathaniel dan malah membuka pintu mobil. “Bantu aku turun,” pintanya.Nathaniel tak punya pilihan selain mengikuti permintaan gadis tersebut. Ia turun dari mobil dan bergegas melangkah ke arah Jane. Nathaniel segera membantu Jane keluar dari mobil, sementara gadis itu langsung mengalungkan tangan pada bahunya.N
“Kenapa aku harus panik? Kenapa juga kau terlihat panik? Kau takut sesuatu akan terjadi jika aku menginap di sini?” tanya Isabella dengan senyum nakal.Nathaniel berdeham. “Bisa dibilang begitu.”“Ayolah, Nate. Kau tidak perlu takut, lagipula apa yang kau takutkan? Kalau pun terjadi sesuatu, kau tidak akan dirugikan, jika ada yang hamil, itu akan terjadi padaku, bukan padamu,” Isabella langsung tertawa setelah mengatakan itu.Namun Nathaniel terlihat kesal mendengar candaan tersebut. “Hentikan itu, Isabella. Apa kau pikir anak yang terlahir dari hubungan seks bebas itu ingin dilahirkan? Tidak, Isabella. Dia tidak pernah ingin dilahirkan. Dia adalah pihak yang paling dirugikan, karena dia adalah korban yang sebenarnya.”Isabella terkejut dengan reaksi Nathaniel. Wajahnya seketika berubah sedih. Isabella mengerti kenapa Nathaniel bereaksi seperti itu, karena pemuda itu merupakan 'korban' itu sendiri.Su
Isabella terbangun dari tidurnya karena suara getar ponselnya yang berderit di meja. Menggerutu kesal karena tidur nyamannya terganggu, Isabella memaksa membuka matanya, lalu meraih ponselnya. Dengan mata yang masih mengantuk, Isabella melihat notifikasi pesan masuk dari nomor Henrik. Rasa kantuknya seketika menghilang, digantikan oleh rasa tegang yang mendominasi. Isabella tampak ragu untuk membuka pesan tersebut, ia tahu akan ada berita buruk yang disampaikan oleh Henrik. Namun, Isabella tidak bisa mengabaikan begitu saja jika hal itu berkaitan dengan Nathaniel. Dengan dada yang berdegup kencang, ia akhirnya membuka pesan tersebut.Sesaat setelah pesan terbuka, kedua matanya terbelalak saat melihat foto Nathaniel yang terlihat sedang menindih Jane.“Brengsek!” umpat Isabella, tentu saja umpatan tersebut bukan untuk Nathaniel. Ia tahu betul bahwa foto itu sengaja diatur untuk menjebak Nathaniel. Semalam, pemuda itu sudah menceritakan detail kejadiannya, na
Nathaniel terbangun dari tidurnya saat alarm ponselnya berdering dengan keras. Dengan mata yang masih mengantuk, dia memaksa dirinya untuk membuka kedua matanya. Suara deringan alarm terus mengganggu ketenangannya, memaksa tangannya meraba-raba ponsel yang tergeletak di meja.Setelah berhasil menemukan ponselnya, Nathaniel mematikan fitur alarm. Dia menggeliat singkat, mencoba memaksa dirinya untuk bangkit dari gravitasi yang paling membuatnya nyaman di tempat tidur.Ketika akhirnya dia berhasil bangun dan duduk di tepi ranjang, tatapannya tertuju pada sticky note yang tertempel di meja. Nathaniel segera meraih sticky note tersebut dan membacanya.[Aku tidak tega membangunkanmu, tapi aku harus segera pergi sekarang karenaada kepentingan mendadak. Sampai ketemu nanti. Love you ❤️]Nathaniel mengernyit saat membaca pesan tersebut. “Urusan apa yang begitu mend
“Bagaimana? Kau sudah ambil keputusan? Jangan membuatku menunggu terlalu lama, Sayang,” Henrik memerhatikan Isabella sambil menyunggingkan senyuman licik.“Aku tidak bisa,” jawab Isabella tegas. “Saat ini aku sudah tanda tangan kontrak kerjasama dengan penerbit BelleVue Books, sedangkan Nathaniel adalah editorku. Mustahil aku bisa menjauh darinya.”“Aku tidak peduli itu, aku hanya mau kau menjauh darinya, jika tidak bisa—kau akan melihat berita tentang Nathaniel jadi headline,” ancam Henrik dengan nada tajam.“Jangan berani melakukan itu!!!” tegur Isabella dengan suara gemetar, takut akan konsekuensi dari ancaman tersebut.Henrik tertawa, “Aku tidak akan melakukannya, asal kau menerima persyaratan dariku.”Tanpa berpikir lebih lama, Isabella segera mengangguk menyanggupi persyaratan yang diberikan Henrik. “Baiklah, aku akan melakukan apa yang kau minta. Tapi kau jug