Aku bergelung pada selimut lembut yang tebal. Rasanya hangat. Bunyi klakson dikejauhan membuatku berpikir ulang. Forks tidak seramai ini. Kubuka mataku perlahan. Langit mendung diluar jendela besar membuatku merasa mengantuk. Salju sedang turun. Aku ingin kembali tidur, tapi tubuhku menolak.
Kulepaskan diri dari gelungan selimut. Dengan malas berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Kesadaranku baru benar-benar merasuki diri saat aku menatap pantulan wajahku pada cermin diatas westafel.
Bukan. Cermin ini bukanlah cermin yang sama dengan cerminku di Forks. Aku berputar, menatap dinding dengan cat berwarna gading. Dibagian atas dekat langit-langit ada lukisan telapak tangan berwarna biru dan kuning yang dulu pernah kubuat dengan mom.
Bukan. Ini bukan kamar mandiku di Forks. Ini adalah kamar mandiku di New York!
Dengan cepat aku melangkah pergi dari kamar mandi. Kuputar gagang pintu kamar, kemudian menghambur keluar. Mom duduk diruang TV, dengan kakinya yang berselonjor ke meja. Tangannya memeluk semangkuk besar popcorn. Mom menoleh kearahku saat aku masih mematung ditengah ruangan.
“Apa kau tidak kedinginan?” suara serak yang berasal dari sofa disebelah tempat mom duduk malas membuatku tergelitik untuk menoleh.
Damien duduk disana, tangannya bersedekap. Wajahnya menatapku sekilas, kemudian kembali fokus pada TV. Mom dan Damien tertawa saat film memutar adegan lucu. Tapi aku benar-benar tidak tertarik untuk ikut bergabung dengan mereka saat ini.
“Kau ingin aku mengambilkan selimut untukmu?” Damien kembali bertanya padaku. Wajahnya terlihat tenang. Senyum simpulnya membuatku kembali kesal.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Membuat Damien mengangkat sebelah alisnya tinggi. Mom akhirnya menoleh menatapku. Mulutnya masih sibuk mengunyah popcorn. Tapi terlihat jelas dia penasaran dengan kelakuanku saat ini.
Seperti sedang kerasukan, aku berjalan mendekati Damien. Kutarik dia dengan sentakan keras hingga dia langsung berdiri. “Abby,” teguran ibuku tidak membuatku berhenti.
“Sebentar, mom.” Jawabku sebelum aku menutup pintu kamarku.
Damien masih diam. Tangannya yang nyaris kuremas akhirnya kulepaskan. Kembali aku menatap wajahnya. Dia hanya memberikanku sedikit ekspresi. Senyumnya yang terlihat tulus tapi menyimpan begitu banyak rahasia.
“Apa yang kau lakukan dirumahku?” tanyaku saat aku tak menemukan jawaban apapun dari wajahnya. Damien berjalan maju, menghabiskan jarak. Tangan kanannya melewati tubuhku. Kemudian bunyi ‘klik’ kunci kamarku terdengar.
“Aku minta maaf,” suaranya terdengar tulus, tapi tidak dengan ekspresinya yang tersenyum manis setengah terluka.
Aku mendengus, “Untuk apa?” tanyaku bingung. “Masalah apa yang mengharuskan kau meminta maaf padaku?”
“Angel—”
Kugelengkan kepalaku cepat. Kedua tangan Damien yang ingin memegang bahuku tergantung diudara. Aku mendorong tubuhnya pelan, membuatnya menjauh beberapa langkah dariku. “Kau tidak melihat keseluruhannya,”
Yeah. Aku tidak melihat keseluruhannya. Aku bahkan tidak melihat apapun yang dilakukan Damien saat ini. Aku juga tidak mendengar apa yang dikatakannya. Aku tidak mengerti.
Damien dengan segala rahasianya.
“Aku tidak ingin tahu,” ujarku. Meskipun aku tidak mengerti arah pembicaraan ini, anehnya hatiku terasa ngilu. Aku tidak memiliki kenangan yang mengharuskan Damien meminta maaf padaku. Tapi lucunya, aku tahu saat ini dia melakukan kesalahan besar. “Menjauh dariku, Dame.”
Untuk sesaat, aku bisa melihat wajah terluka Damien. Tapi kemudian dia mengganti ekspresinya dengan cepat. Damien tersenyum—meskipun terlihat sedih. Sudut bibirnya berkedut menahan sesuatu.
Saat ini, aku menyadari keegoisanku. Mungkin aku memang tidak mengetahui apa yang terjadi hingga dia harus meminta maaf padaku. Tapi rasa sakit dihatiku membuatku egois untuk tidak mendengarkan penjelasannya. Aku menulikan telingaku untuk sesuatu yang harus didengarkan.
Damien memelukku pelan. Hangat tubuhnya membuatku ingin bersandar padanya. Ada keinginan kuat untuk menyuruhnya tetap tinggal. Tapi kemudian pelukannya melonggar. Kedua tangannya memegang bahuku. Bibirnya mencium keningku dengan hangat.
Lalu dia membuka kunci, memutar gagang pintu dan keluar kamar. Aku masih mematung ditempat. Mendengarkan Damien yang pamit dengan mom. Beralasan jika temannya sedang mengunjunginya.
Saat aku benar-benar tidak mendengar lagi suaranya. Aku menangis. Untuk sesuatu yang terasa begitu menyakitkan hatiku. Untuk kepergiannya dari hidupku.
Aku terbangun karena alarmku berbunyi nyaring. Rasanya ingin tetap berada dibawah selimut. Tapi aku harus bersekolah. Kupandang sejenak langit Forks yang berkabut. Hujan semalam membuat suhu semakin dingin.Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kacau. Aku bahkan menemukan jejak air mata di wajahku. Mimpiku tentang Damien, yang sudah hampir tujuh bulan tidak menghantuiku, kini mulai kembali. Ada rasa penyesalan dihatiku karena tidak menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu. Tapi kemudian kusingkirkan perasaan bodoh itu dengan berpikir bahwa dirinya yang memicu masalah.Kuperiksa ponselku sebentar. Menemukan pesan mom yang mengatakan dia akan terbang ke New York, sebelum melanjutkan perjalanan ke Miami. Lalu pesan dari nomer semalam yang menanyakan kabarku hari ini.Aku mengerang kesal. Ingat bahwa hari ini ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Damien Priessle meskipun secara kebetulan.Akhirnya, setelah aku selesai merutuki mimp
Satu tahun yang lalu“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudia
Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga. “Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya. Udara terasa menyesakkan. Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku. Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik p
Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab
Selama satu minggu ini, cuaca Forks cukup baik. Matahari muncul menjelang pukul sepuluh dan kabut yang tidak terlalu tebal. Semua orang melakukan aktivitas diluar rumah dengan bahagia. Tapi tidak denganku. Aku bergelung pada selimut, memasang pemanas ruangan meskipun cuaca tidak terlalu sejuk. Selama satu minggu ini, aku kembali mengasingkan diriku didalam rumah. Mengabaikan seluruh panggilan dan juga pesan dari teman-temanku. Mengabaikan pertanyaan kesal mom yang semakin hari berubah menjadi pertanyaan kebingungan. Aku tidak mengatakan apapun. Aku tidak ingin melihat siapapun. Mom mengetuk pintuku untuk yang kelima kalinya pagi ini. Memaksaku untuk keluar kamar dan mengatakan sesuatu. Tapi aku hanya mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mungkin mom mengira aku belum siap melihat Ben dan Sidney di sekolah. Dan aku sedang tidak ingin meluruskan pemikiran mom yang salah. Kubiarkan seluruh asumsi orang-orang yang melihatku kembali mengurun
Hari ini mom berangkat ke New York. Beberapa kliennya ingin dirinya langsung yang menjadi pengacara. Mom tidak tahu kapan dia akan pulang. Mungkin dua minggu lagi, atau mungkin sebulan lagi. Setelah membantunya melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan kedalam koper, mom menutup koper, mendorong koper itu hingga bergerak menjauh dan membentur kursi goyang. Mom melirik sekilas arlojinya, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Wajahnya menatapku, dengan seringaian lucu. "Beberapa hari ini berjalan dengan baik?" Aku masih kesal dengan ibuku. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah ibuku. Rasa sayangku padanya jauh lebih besar dari kekesalanku. Mungkin karena kami hidup berdua. Mungkin karena aku hanya memilikinya. Aku mendengus. Bergabung dengan ibuku. "Orang-orang berpikir aku terpuruk karena Sid dan Ben. Tapi semuanya baik-baik saja." Jelasku. Mom bergerak miring, menarik kepalaku. Membawanya kedalam dekapannya. Hal yang sejak kecil selal
Aku menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan guru-guru kepadaku dalam waktu empat hari. Mengurus beberapa hal untuk akhir semester, sebelum aku menyerahkannya ke bagian administrasi. Aku tidak perlu ikut ujian semester, hal yang memang kuinginkan. Dan aku akan menghabiskan beberapa minggu menjelang libur semester dengan kehidupanku yang tenang—kuharap. Hari jumat sepulang sekolah, aku mencuci mobil dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Kuselesaikan daftar pekerjaan yang ingin kukerjakan dengan sebaik mungkin. Mom akan menghabiskan akhir minggu dirumah—janjinya semalam saat aku menelponnya—jadi aku akan membuat rumah ini menjadi layak untuk ditinggali. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengecek surel. Melihat pesan masuk dari beberapa universitas tempatku mendaftar kuliah. Dua sudah membalas, selebihnya belum. Jadi aku memutuskan untuk menutup laptop dan menyiapkan makan siangku. Omelet bukanlah hal yang sulit untuk dimasak. Aku selesai membua
Damien pulang bersamaan dengan kedatangan mom. Mereka berbicara beberapa saat, kemudian Damien melambaikan tangan dengan mom—dan aku. Aku membantu mom mengeluarkan koper di bagasi. Ada beberapa tas belanja yang khusus dibeli untukku. "Dame berkunjung?" Aku mengangguk. Kutaruh koper mom kedalam kamar, dan barang-barang lainnya diruang TV. "Ransel?" tanyaku saat aku mengeluarkan isi tas belanja—tidak menggubris pertanyaan mom. "Hm," suara mom terdengar di dapur. Kemudian dia ikut bergabung denganku dan membuka barang belanja mom. "Sudah berbaikan dengannya?" Mendengar pertanyaannya membuatku memutar mata. Mom mendelik tak suka, tapi aku membalasnya dengan dengusan. "Kupikir berbaikan bukan kata yang tepat." Mom tertawa, "Jadi?" "Berusaha memaafkan." Jawabku cepat. "Aku hanya berpikir, jika hidupku akan lebih tenang jika memaafkannya." Jawabku. Kulirik mom, dia mengangguk. Dia tersenyum, tapi kemudian cepat-cepat disembunyikannya. "Dan?"