Iring-iringan mobil sampai di rumah sewaan Hyunji pada pukul sepuluh malam. Bree bilang Max akan langsung menunggu di rumah baru Hyunji untuk ikut menurunkan barang-barang. Furniturnya tidak terlalu banyak, tapi hampir seluruhnya berukuran sangat besar. Termasuk kardus barang-barang kecil, kami mungkin hanya perlu dua putaran pengangkutan.
Victor dibuat penasaran dengan hubunganku dan Hyunji. Baru kali ini dia melihat seorang wanita yang kecantikannya sangat tidak manusiawi.
"Hey, Timmy." Victor berbisik di luar pintu rumah. "Menurutmu kenapa kita bertiga sama sekali tidak bergairah saat melihat wanita semagis aurora sepertinya?"
Karena ada wanita lainnya yang telah membuat kita otomatis menyimpan gairah itu di suatu tempat di dalam tubuh kita, yang hanya akan muncul oleh impuls dari wanita yang tepat. Sylvia untuk Victor, Junko untuk Jake, dan Bree untukku. Aku hanya menepuk bahu Victor dua kali sebagai jawaban, menyu
Aku masih tidak mengerti bagaimana sistem penilaian Hyunji walau sebagian besar waktu mengangkut barang-barang kuhabiskan untuk memikirkannya. Begitu semua barang masuk ke rumah, kami membongkar beberapa kardus. "Kau mau kita menata seluruhnya sekarang?" tawar Max.Hyunji bertanya sudah pukul berapa ini. Jake dan Bree yang senantiasa mengenakan arloji menjawab bahwa sekarang sudah pukul dua malam. "Aku bisa menatanya besok. Kalian harus kuliah dan kerja nanti pagi, kan? Kalau begitu untuk saat ini aku ingin mengucapkan terima kasih banyak. Aku bisa membayar orang untuk menata seluruhnya.""Tidak perlu sungkan meminta bantuan kami." Ketangguhan suara Bree membuat para pendengarnya mengangguk setuju.Hyunji mengulas senyum lebar dan membalas anggukan Bree dengan gerakan yang jauh lebih anggun. Seperti seekor rusa yang melenggang dengan tenang di bawah sinar bulan purnama. Seperti sehelai bulu merak yang melayang dengan ringan di udara. Aku terheran-heran bagaimana
"Tenang saja. Kejutannya sudah memuaskan. Hanya saja ada kesalahpahaman…" Aku tidak mendengar lanjutan kata-kata Max karena aku bergegas menghampiri Jeep dan membuka pintu penumpang depan untuk menemui Bree."Kau boleh terpelatuk. Tapi tanpa melupakan fakta kalau dua menit lalu kami berusaha memberikan kejutan padamu. Formasinya memang berantakan, tapi kami bersumpah sudah mengulanginya dua puluh kali sebelum pergi ke sini." Pintu terbanting menutup. Aku bahkan tidak merasa perlu untuk mengidentifikasi raut muka Bree. Rombonganku memandangiku dengan takjub, setengah menunggu-nunggu informasi dariku. Perasaanku kacau, tapi mereka mengharapkan kabar baik, jadi aku memaksakan diri untuk mengabulkan keinginan mereka. Aku mengangkat bahu dengan cuek dan menyeringai. "Kejutan kedua?""Kau yakin kita bisa melanjutkannya?" tanya Rain takut-takut."Bisa. Dia harus luluh dengan keteguhan rencana kita.""Ide… Bagus." Junko mengangguk. "Max, perintah be
Begitu terbangun, aku agak merasa de javu. Maksudku, kenapa harus de javu kalau tiap hari aku memang selalu bangun dari tidurku? Selama belum mati, aku akan terus bangun dari tidurku. Dan… Kemudian aku mengingatnya. Beberapa jam yang lalu aku telah bangun. Aku menghela tubuhku ke papan kayu sambil tersenyum. Kami bersama subuh tadi di sini. Tidak melakukan apa pun, hanya tidur, dia bercerita, dan aku mendengarkan cerita. Mungkin tidak sampai tiga jam, tapi tetap saja.Aroma kaldu jamur mengiris udara di sekitaran dapur. Sandra berpaling dari penggorengan kepadaku yang membawa handuk dan pakaian ganti menuju kamar mandi. "Pagi, Thomas! Aku akan memasak menu yang paling dibenci Bree: sup!"Aku tergelak. "Kenapa kau memasaknya kalau Bree membencinya?""Supaya dia belajar memasak untuk dirinya sendiri." Didikan yang tegas.Di lantai atas, Bree sedang mengitari ruang yang lapang di teras depan dengan bola basket memantul-mantul dari je
Plang besi berpanah ke kanan dari jalan raya mengarah pada sebuah gedung berlantai dua. Fasad di lantai satu memungkinkan kami melihat ke dalam toko karena dindingnya dibangun dari kaca yang membentang sekitar empat meter. Lahan parkir di depan gedung diteduhi oleh perpanjangan asbes yang menghalangi jarak pandang kami ke lantai dua. Max berdengung, bertanya apakah aku harus melalui seantero toko bunga terlebih dahulu untuk mencapai ruang psikolog kami."Rasa-rasanya ya. Tapi aku akan mengantar Thomas ke atas," kata Bree, memandang jauh pada rak dekorasi yang memuat keranjang-keranjang berbagai jenis bunga bertangkai di tengah-tengah toko."Atas?" tanyaku."Benar.""Perlukah? Kuasumsikan Thomas sudah cukup mandiri untuk membaca setiap plang yang menunjukkan ruang psikolog kalian.""Namanya Jessica Dharma, Max. Dan tentu saja, Thomas bisa melakukan apa pun sesuka hatinya, sebagaimana aku bisa melalukan apa pun sesuka hatiku.""Tanya Thomas ap
Camilan yang banyak dibelinya di mall pagi tadi ternyata dimaksudkan sebagai suguhan untuk menemani kopi-kopi yang Bree berikan sebagai wujud permintaan maaf pada orang-orang yang diundangnya. Barulah sekarang aku berkesempatan untuk mendengarkan cerita-cerita Josep dan Clara mengenai pertemanan mereka dengan Bree. Breelah yang memperkenalkan Josep pada Clara. Selama menggarap proyek modifikasi drone perusahaan videografi waktu lalu, waktu Bree tidak pulang berhari-hari, dia menginap beberapa jam di kos Josep atau Clara.Dari mereka aku tahu kalau metode belajar Bree adalah memetakan materi dalam garis besar, lebih suka mencorat-coret perhitungan di kertas HVS daripada mengisi lembar jawaban ujian dengan sebuah penjabaran matematis, sangat menggemari bangku tengah yang tidak terlalu mengundang perhatian, sebisa mungkin selalu duduk di bawah AC, memiliki desain mesin yang mantap dan detail, tidak suka makan di kantin sekolah dan lebih memilih bakso balungan d
Sebelumnya aku tidak tahu kalau Katrina punya mobil. Aku bahkan tidak tahu kalau kedua orang tua Katrina berprofesi sebagai dokter bedah. Dia cantik, kaya, dan pintar, hanya saja sama seperti Yuda, dia kurang pandai membangun sebuah percakapan dengan orang baru.Mobil hatchback mungilnya yang hanya dapat memuat empat orang masuk ke dalam inventaris perjalanan kami dan akan dikemudikan oleh Bree bersama Clara, Pamela, dan Resa. Senang rasanya berhubungan langsung dengan teman-teman sekolah Bree. Mereka semua adalah gadis-gadis yang bertingkah manja hanya pada Bree."Menyingkir dariku Res, jangan jadikan lenganku seperti batang eukaliptus bagi koala!" ketusnya saat kami hendak berangkat. Resa tampak sangat senang bisa mengusilinya. Dia malah semakin menjulurkan tubuhnya sampai rambut bob-nya menggelitik pipi Bree.Lalu mobil Jake lewat, Bree melirikku di kursi penumpang depan, melemparkan tatapan memohon yang langsung kutertawakan. Selain geng Ja
Kami berkeliling di wilayah Bangli, seperti rencana awal Bree, untuk menyerbu toko-toko cendera mata Bali setelah menikmati sarapan bersama-sama. Yuda bilang acara seperti ini mengingatkannya pada study tour SMA yang membawanya keliling Jawa. Walau dia dan teman-temannya harus menumpang mandi dan berganti pakaian di kamar mandi restoran, tapi rasanya seseru ini. Slyvia membeli biji kopi dan beberapa camilan tradisional. Janet bertugas memilih-milih cendera mata yang bersifat nonmakanan-dan-minuman seperti kain pantai, dekorasi bergaya boho, tas rotan, dan lainnya. Sisanya dari kami hanya melihat-lihat, menemani, dan memberi saran. "Kau ingat waktu kita berbelanja pakaian untuk berenang di Pecatu?" Tiba-tiba suara Bree menggelitik telingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lebar padaku. Dia selalu keren. Walau hanya mengenakan kaus putih, jeans berwarna terang, dan sneakers hitam-putih, dia tetap saja berpotensi menggerakkan roda tren
"Apa yang membuatmu terbangun sepagi ini?" tanyaku."Cokelat panas.” Bree mendekatkan sendok kayu ke hidungnya, menghirup aroma yang sebenarnya bisa tercium dengan gamblang di udara, dan akhirnya mengangguk dengan puas. “Rasa dingin ini memaksaku untuk tidak memikirkan hal selain penebusan dosa di neraka. Dan apakah neraka masih lebih panas untuk mengobati rasa dingin yang seperti ini.""Barangkali bakal impas.""Tapi kudengar api neraka itu superpanas.""Yah, kalau begitu kita tidak mau direbus di dalamnya."Kompor dimatikan. Bree menciduk cokelat dari panci ke dalam gelas plastik hitam lalu menyerahkannya padaku. Asap mengepul di atasnya, beradu dengan uap dari mulutku ketika aku mengucapkan terima kasih pada Bree. "Kau tidur cepat semalam.""Luar biasa mengantuk." Aku memutar-mutar gelas plastik dengan telapak tangan. Kulitku merasa girang bisa menemukan sesuatu yang hangat di tengah-tengah subuh mendung Kintamani. Mama masih