Begitu terbangun, aku agak merasa de javu. Maksudku, kenapa harus de javu kalau tiap hari aku memang selalu bangun dari tidurku? Selama belum mati, aku akan terus bangun dari tidurku. Dan… Kemudian aku mengingatnya. Beberapa jam yang lalu aku telah bangun. Aku menghela tubuhku ke papan kayu sambil tersenyum. Kami bersama subuh tadi di sini. Tidak melakukan apa pun, hanya tidur, dia bercerita, dan aku mendengarkan cerita. Mungkin tidak sampai tiga jam, tapi tetap saja.
Aroma kaldu jamur mengiris udara di sekitaran dapur. Sandra berpaling dari penggorengan kepadaku yang membawa handuk dan pakaian ganti menuju kamar mandi. "Pagi, Thomas! Aku akan memasak menu yang paling dibenci Bree: sup!"
Aku tergelak. "Kenapa kau memasaknya kalau Bree membencinya?"
"Supaya dia belajar memasak untuk dirinya sendiri." Didikan yang tegas.
Di lantai atas, Bree sedang mengitari ruang yang lapang di teras depan dengan bola basket memantul-mantul dari je
Plang besi berpanah ke kanan dari jalan raya mengarah pada sebuah gedung berlantai dua. Fasad di lantai satu memungkinkan kami melihat ke dalam toko karena dindingnya dibangun dari kaca yang membentang sekitar empat meter. Lahan parkir di depan gedung diteduhi oleh perpanjangan asbes yang menghalangi jarak pandang kami ke lantai dua. Max berdengung, bertanya apakah aku harus melalui seantero toko bunga terlebih dahulu untuk mencapai ruang psikolog kami."Rasa-rasanya ya. Tapi aku akan mengantar Thomas ke atas," kata Bree, memandang jauh pada rak dekorasi yang memuat keranjang-keranjang berbagai jenis bunga bertangkai di tengah-tengah toko."Atas?" tanyaku."Benar.""Perlukah? Kuasumsikan Thomas sudah cukup mandiri untuk membaca setiap plang yang menunjukkan ruang psikolog kalian.""Namanya Jessica Dharma, Max. Dan tentu saja, Thomas bisa melakukan apa pun sesuka hatinya, sebagaimana aku bisa melalukan apa pun sesuka hatiku.""Tanya Thomas ap
Camilan yang banyak dibelinya di mall pagi tadi ternyata dimaksudkan sebagai suguhan untuk menemani kopi-kopi yang Bree berikan sebagai wujud permintaan maaf pada orang-orang yang diundangnya. Barulah sekarang aku berkesempatan untuk mendengarkan cerita-cerita Josep dan Clara mengenai pertemanan mereka dengan Bree. Breelah yang memperkenalkan Josep pada Clara. Selama menggarap proyek modifikasi drone perusahaan videografi waktu lalu, waktu Bree tidak pulang berhari-hari, dia menginap beberapa jam di kos Josep atau Clara.Dari mereka aku tahu kalau metode belajar Bree adalah memetakan materi dalam garis besar, lebih suka mencorat-coret perhitungan di kertas HVS daripada mengisi lembar jawaban ujian dengan sebuah penjabaran matematis, sangat menggemari bangku tengah yang tidak terlalu mengundang perhatian, sebisa mungkin selalu duduk di bawah AC, memiliki desain mesin yang mantap dan detail, tidak suka makan di kantin sekolah dan lebih memilih bakso balungan d
Sebelumnya aku tidak tahu kalau Katrina punya mobil. Aku bahkan tidak tahu kalau kedua orang tua Katrina berprofesi sebagai dokter bedah. Dia cantik, kaya, dan pintar, hanya saja sama seperti Yuda, dia kurang pandai membangun sebuah percakapan dengan orang baru.Mobil hatchback mungilnya yang hanya dapat memuat empat orang masuk ke dalam inventaris perjalanan kami dan akan dikemudikan oleh Bree bersama Clara, Pamela, dan Resa. Senang rasanya berhubungan langsung dengan teman-teman sekolah Bree. Mereka semua adalah gadis-gadis yang bertingkah manja hanya pada Bree."Menyingkir dariku Res, jangan jadikan lenganku seperti batang eukaliptus bagi koala!" ketusnya saat kami hendak berangkat. Resa tampak sangat senang bisa mengusilinya. Dia malah semakin menjulurkan tubuhnya sampai rambut bob-nya menggelitik pipi Bree.Lalu mobil Jake lewat, Bree melirikku di kursi penumpang depan, melemparkan tatapan memohon yang langsung kutertawakan. Selain geng Ja
Kami berkeliling di wilayah Bangli, seperti rencana awal Bree, untuk menyerbu toko-toko cendera mata Bali setelah menikmati sarapan bersama-sama. Yuda bilang acara seperti ini mengingatkannya pada study tour SMA yang membawanya keliling Jawa. Walau dia dan teman-temannya harus menumpang mandi dan berganti pakaian di kamar mandi restoran, tapi rasanya seseru ini. Slyvia membeli biji kopi dan beberapa camilan tradisional. Janet bertugas memilih-milih cendera mata yang bersifat nonmakanan-dan-minuman seperti kain pantai, dekorasi bergaya boho, tas rotan, dan lainnya. Sisanya dari kami hanya melihat-lihat, menemani, dan memberi saran. "Kau ingat waktu kita berbelanja pakaian untuk berenang di Pecatu?" Tiba-tiba suara Bree menggelitik telingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum lebar padaku. Dia selalu keren. Walau hanya mengenakan kaus putih, jeans berwarna terang, dan sneakers hitam-putih, dia tetap saja berpotensi menggerakkan roda tren
"Apa yang membuatmu terbangun sepagi ini?" tanyaku."Cokelat panas.” Bree mendekatkan sendok kayu ke hidungnya, menghirup aroma yang sebenarnya bisa tercium dengan gamblang di udara, dan akhirnya mengangguk dengan puas. “Rasa dingin ini memaksaku untuk tidak memikirkan hal selain penebusan dosa di neraka. Dan apakah neraka masih lebih panas untuk mengobati rasa dingin yang seperti ini.""Barangkali bakal impas.""Tapi kudengar api neraka itu superpanas.""Yah, kalau begitu kita tidak mau direbus di dalamnya."Kompor dimatikan. Bree menciduk cokelat dari panci ke dalam gelas plastik hitam lalu menyerahkannya padaku. Asap mengepul di atasnya, beradu dengan uap dari mulutku ketika aku mengucapkan terima kasih pada Bree. "Kau tidur cepat semalam.""Luar biasa mengantuk." Aku memutar-mutar gelas plastik dengan telapak tangan. Kulitku merasa girang bisa menemukan sesuatu yang hangat di tengah-tengah subuh mendung Kintamani. Mama masih
Pandangan Olaf begitu terarah. Di atas medan pertempuran, dia berdiri di atas keretanya yang tinggi, kokoh, dan sulit digulingkan. Kakinya disilangkan dengan tenang seperti minggu lalu. Bedanya, kali ini dia mempersiapkan senyum penuh kemenangan seolah-olah strategi yang kusembunyikan darinya telah terungkap dan aku tidak memiliki pilihan selain membongkar strategi yang sudah bocor itu tepat di hadapannya."Bagaimana kalau kau tetap mengulur waktumu?" tanyanya. Dan itu adalah pertanyaan yang mustahil kuketahui jawabannya. Waktunya telah kusita untuk mendengarkan ceritaku dan kini dia bertanya bagaimana jika aku semakin menyia-nyiakan waktunya? Hanya dialah satu-satunya yang mengetahui jawaban itu. Aku mengangkat bahu, setengah menyipit.Olaf tergelak. Jalinan otot-otot di wajahnya yang sejak tadi membentuk kebahagiaan kini melonggar. "Menyenangkan, Thomas. Semakin kau berputar-putar di sekitar May, semakin aku bisa menarik sebu
Respon ramah Janet yang biasanya selalu dia tunjukkan kini tidak bisa kami temui. Aku refleks mengetuk punggung tangan Bree yang berdiri di sebelahku. Bree langsung mendenguskan senyuman."What. Are. You. Doing. Here?" Pertanyaan Janet seharusnya ditujukan padaku, tapi karena Bree tinggi dan dia sedang cengar-cengir, Janet jadi memelototinya.Sepupunya murka padaku pagi tadi. Ini adalah perlakuan yang sepanjang jalan sudah kunanti-nanti, tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku terkejut. Janet marah. Janet yang cantik, santai, dan lucu marah. Mataku terpejam sekejap. Sialan. Begini. Apa saja tadi opsi dialog yang ingin kusampaikan pada Janet kalau dia yang membuka pintu vila?Mataku lalu terbuka dan kurasakan bahu yang menegang kini lebih santai. Aku menunjuk ke dalam. "I want to make up for the wrong I did to Sylvia, if you let me see her.""That's not one of a brilliant idea sci
Kami mendengar gerbang didorong terbuka dan tertutup pukul satu malam waktu Hans pulang. Segera setelahnya kami pergi untuk tidur. Tapi dengan tangan panjang Max terbentang lebar di kasur seperti kolonialis haus kekuasaan, aku tentu tidak bisa pergi tidur begitu saja. Jadi untuk tiga menit yang tidak berarti aku hanya duduk di meja belajar Bree sambil memandangi jemari kaki Max yang masing-masingnya berbentuk mirip tunas jahe. Di antara jari-jari itu timbul pemikiran seandainya kaki diciptakan juga untuk memegang sesuatu, aku akan menggunakannya untuk memegang pulpen, dan aku akan menulis segalanya dengan keempat alat gerakku, yang pasti akan memakan waktu lebih singkat. Tidak perlu tulisan bagus, yang penting bisa terbaca. Dan mungkin saja aku bisa mencoba menuliskan sepuluh kejadian yang diminta Olaf dengan menggunakan tangan kiri sebagai pemanasan.Begitulah. Aku mengambil pulpen hitam dari wadah keramik putih di atas meja dan merogoh laci untuk menem