Bree bergumam dan mengangguk sebagai jawaban. Aku pun kembali menyorotkan sinar senter ke langit-langit kamar. Dan akhirnya, di sana, tampaklah Orion sang pemburu yang menghunus pedang ke atas dan menahan tameng dengan tangan lainnya.
"Akan seperti apa dia?" bisik Bree.
"Keanu Reeves?"
Bree tertawa. "Hm, baiklah, boleh juga." Tanganku digenggam. Aku menolehnya. Bree juga menolehku. Dengan tatapan terkunci pada mataku, dia mengarahkan telunjukku ke atas untuk menelusuri setiap bintang yang membentuk tubuh Orion. Bree mencengkeram pergelangan tanganku dan meluruskan telunjuknya di dalam kepalan telapak tanganku. "Lihat baik-baik," katanya setelah sosok itu selesai kami telusuri. Setiap detik yang berlalu dan membuat sentuhan kami menjadi semakin intim, aku tidak bisa berkonsentrasi terhadap hal di luar dirinya. Suaranya, panas tubuhnya, fokusnya.
Tapi aku mencoba, membiarkan diriku dilelehkan oleh panas
Jemariku terasa kebas. Aku berkedip-kedip. Paru-paruku kering. Kulitku dijalari angin berdebu yang rendah dan tajam. Orang-orang berlari ke sofa, melaluiku, berkerumun di sekitar tangan Junko yang mengulurkan handphone. Tapi Bree kemudian merebut handphone itu dan berbalik entah ke mana. "Apa yang sebenarnya dia pikirkan?" hardik Max, diwarnai nada baru dalam suaranya: berang. Biasanya dia hanya memiliki tiga jenis tanggapan, yaitu bercanda, cuek, dan mengantuk. Aku menoleh ke belakang, pada Bree yang menggapai kursi bar dengan tangan kanan sementara kepalanya masih menunduk ke arah handphone Junko. Sandra bergumam, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Entah karena terlalu lirih atau karena aku hanya sedang ingin memikirkan nasibku sendiri. Salah satu media sosial Kenny dipenuhi oleh foto-foto dirinya dan Bree sedang bermesraan. Apa pun artinya itu… sialan. Itu pasti berarti sesuatu. Dia seol
Untuk mengambil kunci rumahnya, Hyunji memintaku datang ke kampusnya. Tidak perlu masuk ke dalam gedung. Aku bisa menunggu di mana pun yang kumau di sekitaran area kampus, misalnya saja di tanah berpasir dekat warteg beratap kampil yang didirikan dengan bambu di sebelah parkiran terbuka kampus, atau di istana boneka (toko, bukan istana sungguhan) yang dipimpin oleh raja Teddy Bear raksasa di fasad kaca dan letaknya sekitar dua puluh langkah memutari ujung gang di sebelah kampus, atau di mana pun.Dia rela berjalan jauh demi aku.Rok hitam panjangnya yang berbelahan sampai betis dan menyatukan kakinya seperti ekor putri duyung berkelepak di dekat pergelangan kaki ketika dia melangkah dengan cepat. Hyunji mengenakan blazer hitam yang terkancing sampai dada sehingga membuatnya tampak formal, menunjukkan sedikit kemeja biru kobalt yang mentereng di bagian kerah.Rambut pirangnya berkibar, membuat orang-orang yang berada da
Dusta. Bree mengerjap-ngerjap. Aku hanya tidak tahu lagi bagaimana cara mengakhirinya. Tentu saja aku berutang penjelasan padanya tentang mengapa aku harus mengakhirinya, tentang rasa sakit yang ditimbulkannya tapi malah menyelamatkanku dari dosa pengkhianatan, tentang hukum universal menyerahkan sebanyak yang pernah diserahkan kepadaku. Kalau aku ngotot mendapatkannya, mungkin saja yang akan terjadi selanjutnya lebih buruk lagi. Karena… itu tadi. Semesta mengambil dariku sebanyak yang kuambil darinya. Bree adalah berkah besar. Aku tidak bisa menukarnya dengan apa pun, kurasa. Tapi tidak mendapatkannya mungkin bisa menyelamatkan banyak hal. Bagaimana caraku mengetahui itu sekarang? Entahlah. Tapi nanti. Nanti pasti akan kuketahui secepatnya. Kemalangan yang nyaris mengenaiku tapi meleset karena aku telah bertindak bijak dan adil dengan melepaskan Bree. Dan kemalangan itu akan melesat seperti batu yang diluncurkan dari katapel yang han
Tersisa satu UAS lagi. Bu Diana memindahkannya ke hari Senin, di luar minggu UAS yang dijadwalkan karena beliau baru saja kembali dari sebuah penelitian tentang perancangan smart village di daerah Jawa Timur. Penundaan ini, tak pelak, agak merugikanku. Sebab jadwalku sangat padat mendekati keberangkatanku ke Belanda. Aku berencana membeli rempah-rempah titipan Mama pada hari UAS terakhir itu, yang jatuh pada tanggal 20. Tanggal 21 aku akan berkemas dan memastikan kesiapan bagasiku sekali lagi.Tanggal 19 Desember, yaitu besok, aku harus memenuhi undangan Jake untuk menghadiri grand opening Buen Tiempo, restoran Mexiconya. Dia menerapkan dress code formal, yang artinya aku harus memakai setelan. Jake menawariku setelan sewaan, dan dia berjanji akan membayarnya untukku. Namun, penawaran itu tidak hanya datang dari Jake.Tadi sore, Junko menghubungiku. Kupikir dia sudah tidak marah lagi padaku, tapi ternyata yang
Bergantian diamatinya antara aku dan Rain. Merasa risih dengan pemindaian Mario, Rain melepaskan gandengannya dariku. Mario pun memisahkan diri dari rombongan teman-temannya yang telah berhenti memperhatikan kami.Mirip kilasan di masa lalu. Ketika dia mendengarku berselingkuh dengan kekasihnya, seperti inilah caranya melangkah padaku di kafetaria pada suatu siang. Satu tangan di kantung celana, dagu diangkat tinggi-tinggi, mata menusuk bagai sebilah sabit, dan langkahnya kelihatan ringan tapi mengancam. Dulu, aku tak punya Victor. Mati-matian harus berlari untuk menyelamatkan diri dari atlet sepak bola ini.Kubu pertemanan kami sempat terpecah menjadi dua: golongan otot dan golongan otak. Dia dan aku. Tukang onar tidaklah memiliki banyak teman dahulu kala. Teman-teman yang sedang beranjak dewasa mengerti bahwa semakin tinggi tingkatan kelas kami, satu-satunya yang kami butuhkan adalah pikiran yang bagus untuk lulus. Aku memiliki itu se
Karena tidak ingin mereka menjemputku di rumah Hyunji, pada hari Rabu aku memesan taksi untuk mengantarku ke bandara. Hyunji ingin melakukannya, tapi tidak bisa. Dia masih harus mengajar sampai besok.Mereka memintaku menunggu di parkiran mobil karena kami harus berbincang-bincang sebentar. Junko lalu memberiku satu tas makeup berwarna peach yang berisi set perawatan kulit yang Sandra titipkan untuk Mama dan botol sampo besar berbau citrus untuk Papa. Papa pasti akan menyukainya. Sandra kebetulan memilihkan wangi yang paling disukai Papa.Kemudian Junko dan Max memeluk Bree dan aku secara bergantian. "Dua minggu." Max menggeleng-geleng. "Aku akan merindukan kalian.""Kau tidak ingin main ke Jerman?" Aku menawarkan."Nanti saja, sekalian mengantar Philip dan Conrad pulang.""Kupikir mereka akan menetap di sini.""Mereka selalu begitu. Monda
Bree tertegun sejenak, tapi dia dapat mengembalikan situasi dengan cepat. "Aku memakai rok pada saat-saat tertentu. Dengan celana aku bisa bergerak lebih luwes."Mama memandangi celana wolnya dengan kritis dan segera berpaling pada wajah Bree tanpa menyebutkan kesimpulan apa pun. "Aku tidak memasak makan malam, Nak. Tapi kalau kau lapar, Thomas bisa membuatkanmu uitsmijter atau sesuatu."Tante baik sekali, tapi aku tidak merasa lapar. Terimakasih atas perhatiannya. Kurasa aku mau langsung naik ke atas.""Silakan." Mama mengulas senyum lebar dan selalu memperhatikan langkah-langkah yang diambil Bree menuju lorong. Pintunya dibiarkan terbuka, membuat kami dapat melihatnya berbelok dengan hati-hati di depan tangga. Pijak kakinya di tangga kayu terdengar kalem dan teratur. Sampai bunyi langkahnya benar-benar menghilang sepenuhnya, aku baru menoleh Mama dan mengingatkannya."Kau kasar, Ma. Setidak
"Bukan…""Kupikir kalau kau ingin menjadi teman Mama, kau harus berusaha lebih keras lagi.""Aku tahu…""Kau tidak tahu. Mama memang selalu galak. Mama bahkan dulu sangat galak pada May, tapi…"Aku tertegun saat menyadari nama siapa yang baru saja kusebut keras-keras. Nama itu terasa begitu asing saat kuucapkan di depan orang lain. Benar memang, belakangan ini aku sering menyebutnya di depan Olaf, tapi sesi-sesi konselingku dengan Olaf lebih terasa seperti curhat yang kulakukan pada kakak perempuanku sendiri. Dan maka dari itu menyebutkan namanya di depan Olaf merupakan sebuah keharusan yang bertujuan untuk memilah-milah kemungkinan penyelesaian yang paling sesuai dengan masalahku tentang May dalam kepalaku.Tapi di depan Bree? Perasaan asing itu menekan tengkukku kuat-kuat, membuatku terpaksa menggigit lidah saat merasakan tatapan Bree yang menantiku untuk melan