Julian mendesah lega. Setelah sekian lama ia meyakinkan pria bodoh itu, akhirnya ia sadar juga. Pesan terakhir yang ia terima dari pria bodoh itu membuat Julian menggelengkan kepala.
Kasih gue pelayanan eksklusif.
Begitulah isi pesan dari pria bodoh itu. Walaupun setelah sekian lama mereka bersahabat, Julian tetap masih sulit untuk mengerti jalan pikirannya. Pasti tidak lepas dengan kejutan-kejutan yang sulit ditebak.
Sepertinya ia harus bersiap ke dapur dan mempersiapkan keinginan pria bodoh itu, jika tidak ingin rahasianya yang ia kubur sewaktu di New York terkuak. Lalu memikirkan cara yang tepat sebagai balasan yang setimpal bagi pria bodoh itu segera.
Sebelum ke dapur, Julian melihat Syila sedang melayani seorang tamu. Ia memanggilnya sesaat setelah Syila selesai melayani dan kini berjalan menuju arah dapur.
“Ya, Chef?”
Masih menggunakan pakaian koki, Julian masuk ke ruang kerjanya. Tak masalah baginya menyerahkan urusan dapur pada asisten, ia sudah sepenuhnya mempercayai kinerja mereka yang tak perlu diragukan lagi. Yang terpenting sekarang ialah bertemu dengan pria bodoh itu segera dan tak sabar mendengar apa yang akan disampaikan Raka padanya.“Gimana makan malamnya?” tanya Julian sambil mendaratkan tubuh ke sofa, tepat menghadap Raka.“Lumayan,” Raka menegakkan tubuh, sambil melemparkan senyum persahabatan.“Jadi—?” kata Julian menggantung. Mencari kepastian di kedua mata Raka.“Sorry untuk semua penyangkalan dan ketidakpercayaan gue sama lo. Gue terlalu buta untuk melihat kebenaran dan menghakimi Syila tanpa bukti. Pasti ulahku sangat menyakitinya. Membiarkan dia menanggung beban yang bukan kesalahannya adalah kebodohan gue yang tak termaafka
Nyatanya kenyataan menghantam sisi kesadaran. Bangunlah dari mimpi indah, sebelum semakin sulit melepaskan diri dari belenggu luka. ***Beberapa hari ini Syila merenung akan nasibnya yang jelas-jelas bukan ilusi semata. Banyak hal yang ia pikirkan di kamar kosnya yang tak seberapa luas. Menerawang sambil menatap langit-langit kamar. Kini senyumnya tak lagi palsu seperti yang selama ini ia tunjukan ketika bertemu orang. Melainkan senyum ketulusan dari hati terdalam.Sikap Raka yang berubah kala itu sedikit melambungkan harapan. Namun, kenyataan menohok batin. Mengembalikan kesadaran akan harapan semu. Syila tertawa miris, percuma berharap. Jika kenyataannya status dan kesenjangan ataupun masa lalu, merupakan jurang yang memisahkan antar keduanya."Syil?" Resti melon
Raka melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangan. Sesekali kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tak sabar. Matanya menatap lurus ke arah pintu terminal kedatangan di bandara. Ia yakin jika jadwal kedatangannya adalah sekarang, akan tetapi satu jam telah berlalu, namun sepasang suami-istri-tepatnya orang tuanya-tak kunjung menampakkan diri. Alih-alih ia merasa kesal harus dibuat menunggu."Sebentar lagi," ujar Felisya sambil mengelus lengan Raka.Hanya gumaman tak jelas keluar dari mulut Raka. Selang beberapa detik, orang yang sedari tadi mereka tunggu, akhirnya muncul juga. Mata Raka tertumbuk pada kebahagiaan yang terpancar dari wajah kedua orang tuanya. Ia mendengkus kesal. Dugaannya selama ini tidak pernah meleset. Mereka pasti akan menceritakan hal paling romantis selama berada di tempat liburan setelah ini dan sengaja membuat Raka iri dengan keharmonisan yang mereka ciptakan."Lama sekali," kelu
Sejak dari tadi, Syila tak henti memperhatikan pergerakan Alfa yang tak lepas dari ponsel. Sibuk mengangkat telepon dan tampak kegusaran menghantui wajah Alfa.Sejak satu jam yang lalu, Syila telah berganti pakaian dengan kemeja dan jeans, bahkan sudah mengenakan sepatu flat, tinggal menunggu keduanya berangkat. Akan tetapi, Alfa meminta waktu sejenak untuk mengangkat telepon, namun sampai sekarang tak kunjung selesai. Satu telepon masuk selesai, datang telepon dari yang lain, sehingga Syila merasa sangat bosan."Fa, kalau kamu sibuk kita tunda saja jalan-jalannya," ujar Syila mulai bosan dengan sikap Alfa yang mengabaikan eksistensinya sejak tadi.Alfa menoleh. "Maaf." Ia mengusap wajah dan menatap Syila sendu."Ada apa?" Syila sangat khawatir dengan perubahan wajah Alfa yang tiba-tiba."Mama masuk rumah sakit. Baru saja Kak Aurel telepon," kata Al
Sejak aku melepasmu, jalanku telah lama tersesat, bagai terombang-ambing di laut tak bertepi. Namun, saat kau benar-benar tak mampu kujangkau lagi. Bukan hanya kakiku yang bergeming, enggan tuk melangkah, jiwaku pun ikut mati oleh rasa sesal yang menggelayut bersama air mata. ***Raka mengambil ponsel yang berdering di dalam saku kemeja. Padahal sudah dua kali ia mengabaikannya, karena kesibukannya sedang mengawasi pembangunan proyek jalan tol yang ditangani RH Group. Sehingga ia tak ingin siapa pun mengganggu kerjanya di lapangan.Merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas, akhirnya ia putuskan untuk mengangkatnya. Ia mengernyitkan dahi saat suara Julian memberondong dengan pertanyaan, tanpa didahului salam.“Lo ada di mana sekarang?”
Pagi kelabu. Jemarinya yang lentik bergerak mengusap kaca jendela yang terlihat buram karena embun. Terasa dingin dan lembap di kulit. Iris matanya tak lepas dari orang-orang di bawah sana yang tak cukup hanya memakai baju yang berlapis-lapis saja, jaket pun wajib dipakai untuk melindungi diri dari dinginnya yang menusuk. Bagaikan semut-semut kecil di mata Syila, tampak kecil dilihat dari ketinggian.Mata Syila bergerak lucu memperhatikan bola-bola kapas terjun bebas dari langit kelabu untuk pertama kalinya. Sempat takjub dan berkali-kali bergumam menyatakan kekaguman. Kalau boleh, ia tak akan berpikir dua kali untuk pergi keluar, merasakan langsung butiran salju itu menempel pada kulit. Pasti sensasi dinginnya akan berbeda ketimbang menyentuh bunga es yang menempel pada kulkas.Sayangnya, orang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu, tak mengizinkannya keluar. Beralasan karena Syila baru pertama kali menginjakkan kaki di London, aka
“Hai, Mas Bro!” Fariz merebut gelas kelima dari tangan Raka. Dengan tenaga ekstra yang dimiliki seseorang yang benar-benar mabuk, ia merebut kembali gelas berisi cairan kuning keemasan itu dari Fariz dan menenggak isinya sampai habis.Fariz hanya bisa menggelengkan kepala. “Lo melanggar motto hidup lo. Drunk will not solve the problem. Tapi apa yang gue lihat sekarang!!” pekik Fariz lebay.Kesadarannya belum sepenuhnya hilang, masih bisa ia dengar gerutuan Fariz. Memang apa yang dikatakan Fariz benar adanya. Pantang baginya menyentuh minuman laknat itu, apalagi menenggaknya. Namun, sisi dari dirinya yang lain menyuruhnya untuk melarikan diri ke tempat itu. Berharap rasa sesak di dada bisa terangkat dan membuang penyesalannya yang semakin menggila.“Dunia memang udah jungkir balik,” ucap Fariz dramatis.Raka tak menanggapi kel
Obsesi dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Cinta yang tulus adalah cinta yang benar-benar berasal dari hati, bukan ego semata atau nafsu ingin memiliki seperti halnya obsesi. ***Dunia seolah berubah di mata Raka. Hampa dan kosong, sekalipun ia dikelilingi orang-orang terdekat yang menyimpan beribu pertanyaan di kepala mereka mengenai perubahan Raka. Sosoknya tak tersentuh, dingin dan dalam sekejap dapat dengan mudah menyemburkan amarah atas kesalahan sekecil apa pun yang diperbuat karyawannya mengenai urusan kantor. Mungkin jika situasinya bukan seperti sekarang, Raka sanggup mengontrol sifat amarahnya. Namun, tidak dengan hilangnya Syila, pusat dunianya, separuh jiwanya dan alasan ia hidup.Sungguh ironi bukan, ketika kebenaran mulai terkuak, ia dihadapkan pada kondisi yang tak me