Share

6. Pengejaran

“Syifa, lakukan seperti yang biasa kamu latih. Dan apakah kamu bisa… mendatangkan kabut untuk menghalangi mereka?” ucap Jaka tanpa sedetik pun berpaling dari jalan.

Dipa keheranan mendengar permintaan ayahnya. Mendatangkan kabut? Kabut merupakan salah satu fenomena alam di mana uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban menjadi seratus persen. Jadi, bagaimana caranya gadis itu bisa membuatnya?

“Akan aku usahakan, Om,” Syifa mulai mengatur napasnya kembali. Bagaimanapun, tidak seperti Dipa, Syifa sudah cukup terlatih.

Dipa melongo, dia benar-benar seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. “Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?”

Mobil bergetar kembali, tapi kali ini disertai hawa dingin dan bau yang menusuk. Dipa menutup hidung, lagi-lagi merasa mual.

“Kamu … bisa menyelamatkan kita dari situasi ini dengan mencarikan tempat yang aman dari jangkauan mereka.”

Lagi-lagi Dipa melongo. Aku menyelamatkan kita? Bagaimana caranya?

“Lakukan saja! Kamu bisa. Kamu penguasa elemen tanah. Kamulah yang paling bisa menemukan tempat paling aman di dunia ini!” teriak Jaka ketika mobil di belakang sudah menyundul bemper, membuat mereka terpekik kaget. Terlebih Syifa. Gadis itu sempat hilang konsentrasi.

Apa? Apa yang baru saja Papa ucapkan? Penguasa elemen tanah? Apakah Papa sudah gila?

“Dipa, ikuti aku! Kamu akan mengerti,” Syifa akhirnya memberi perintah.

Dipa mengangguk, tapi dia langsung terpekik kaget ketika melihat dari sekujur tubuh Shifa keluar aura berwarna biru yang sangat terang. Matanya terbelalak, dia tidak bisa memercayai penglihatannya saat ini. Tiba-tiba dia menyadari di luar mobil terlihat gelap sekali karena ditutupi kabut putih yang sangat tebal.

“Apa… apa yang terjadi?” Dipa terpesona sekaligus ngeri dengan apa yang dilihatnya.

BRAKK!

Mobil kembali ditabrak dari belakang. Dipa berpegangan pada sabuk pengaman, kemudian memandang Jaka yang masih fokus memandang ke depan. Entah bagaimana cara beliau bisa melihat dalam kondisi berkabut seperti itu tanpa menabrak apa pun.

Dipa beralih kepada Syifa yang masih terus memejamkan mata dengan kedua tangan terkepal di depan lutut. Dia bisa melihat bulir keringat mengalir di kening gadis itu. Dipa tahu, tabrakan tadi sempat membuyarkan konsentrasi Syifa karena kabut sempat menipis beberapa saat.

Dipa kembali berkonsentrasi seperti yang dilakukan sepupunya. Lambat laun dia bisa merasakan kembali aura ketiga orang yang mengikuti mereka perlahan menjauh. Kabut itu berhasil menghambat mereka.

Namun dalam jarak seperti ini, dia masih bisa merasakan hawa menakutkan ketiga manusia tersebut. Sampai lama, tidak terjadi apa-apa. Namun Jaka masih terus melaju kecepatan mobil. Sampai akhirnya, Dipa bisa melihat keadaan sekelilingnya. Dipa menoleh, dia bisa melihat kabut tersebut masih berada di belakangnya.

Luar biasa! Kabut itu berhasil menahan mobil tersebut! batinnya sambil memandang Shifa takjub. Dia tidak tahu sepupunya mampu melakukan itu. Selama ini pikirnya dia memiliki sepupu paling aneh sedunia yang gemar sekali nyemplung di mana pun yang ada airnya. Kalau ucapan Pak Jaka masuk akal, Syifa pasti penguasa elemen air.

“Dipa, bagaimana… apakah kamu sudah menemukan tempat kita bisa bersembunyi untuk sementara?” Jaka membuyarkan lamunan Dipa.

Dipa tidak tahu harus menjawab apa. Terus terang dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menemukan tempat persembunyian yang aman karena daerah ini sama sekali asing baginya.

“Belum… belum, Pa!” gumam Dipa memberanikan diri.

“Lalu apa yang kamu tunggu? Konsentrasikan pikiranmu dengan alam di sekitar sini. Syifa takkan bisa menahan mereka selamanya!”

Dipa bingung. Dia kembali menoleh dan melihat Syifa masih memejamkan mata. Jaka benar, Syifa tidak bisa terus menahan mereka, dia harus melakukan sesuatu. Tapi apa?

Selama ini yang dia pelajari bersama Syifa hanya bagaimana mengatur pernapasan dan mengembangkan “chi” yang ada di dasar perut. Tapi selama latihan pun, Dipa tidak pernah menganggap serius dan cenderung bermain-main. Sampai akhirnya dia bosan dan selalu berdalih sibuk mengerjakan hal lain setiap kali Syifa mengajaknya berlatih. Selama ini dia mengira latihan itu hanya untuk kesehatan, tanpa mengetahui manfaat sesungguhnya. Tapi kali ini, dia tidak bisa main-main lagi. Dia merasakan sendiri betapa kuat aura membunuh dari dalam Hummer hitam tersebut.

Dipa kembali menarik napas dan menahannya dalam beberapa hitungan. Dia mengulangi untuk kedua dan ketiga kali. Dan pada saat kelima kali, dia sempat tersentak begitu sesuatu menyentuh mata batinnya. Ketika itulah dia mendengar suara-suara.

“Sudah malam-sudah malam, saatnya cari makanan.”

“Di sini… di sini…”

“Manusia kurang ajar sudah menghancurkan rumahku!”

“Di sini… di sini, Manusia kecil…”

Dipa langsung diserang sakit kepala yang amat sangat, seolah-olah ratusan suara itu hujan peluru yang menyerang otaknya. Dia memaksakan diri menarik napas kembali. Dan ajaibnya sakit kepalanya mulai berkurang.

Kemudian perlahan-lahan dia bisa membedakan makhluk-makhluk yang mengeluarkan suara-suara tersebut. Suara bajing di atas pohon yang merasa senang karena sudah berhasil mengumpulkan biji-bijian di lubang sangkarnya. Suara burung hantu yang sedang bernyanyi memanggil-manggil malam. Suara semut yang bekerja di bawah tanah. Akhirnya, saat ketujuh kali dia menarik napas, mata batinnya sudah terbuka semua. Dan Dipa hanya bisa terpana.

Walaupun matahari sudah terbenam di peraduan, walaupun rembulan sedang malas menampakkan sinar, dan bintang-bintang terhalang awan-awan yang menggumpal, saat ini dia merasa sedang berdiri di tengah hamparan padang rumput yang terang benderang, dan bisa melihat segala sesuatunya. Dan suara-suara itu tidak lagi terlalu mengganggunya, dia menemukan satu suara yang merupakan jawaban atas kondisinya saat ini.

Tepat pada saat itulah, cahaya berwarna merah tiba-tiba meluncur dan menghantam dari belakang. Mobil sempat oleng ke kanan dan kiri. Syifa terbanting menghantam pintu, keningnya berdarah.

Saat itulah kabut di belakang menghilang, dan Dipa bisa melihat lagi sorot lampu Hummer tersebut melaju dengan kecepatan penuh.

“Syifa, kamu tidak apa-apa?” tanya Jaka khawatir sambil melihat melalui kaca spion.

Gadis bertinggi 165 cm ini menggeleng. “Maaf, Om, aku tidak cukup lama menahan mereka.”

“Tidak masalah, dengan bantuanmu kita sudah bisa kabur sejauh ini. Mereka tidak mungkin bisa menyusul kita.” Tapi baru saja Jaka selesai berkata…

BUMM!

Sinar merah tersebut kembali menyerang.

“Sial! Ada penguasa api di antara mereka!” gumam Jaka, sekuat tenaga berusaha menahan kemudi agar tidak oleng.

Shifa berusaha mengobati diri sendiri. Dia mengambil sebotol air mineral dan menyiramkannya ke atas lukanya, kemudian menarik napas dan menahannya beberapa saat.

BUMM! BUMM!

Jaka memutar mobil untuk menghindari serangan api. Beberapa kali api tersebut mengenai bagian belakang mobil, bahkan melesat melewati mobil dan meledak di depan. Akibatnya sering kali Jaka harus melakukan manuver yang membuat mobil bergerak zig-zag.

Api langsung membakar hutan di sekeliling mereka. Melihat kebakaran yang semakin besar, entah bagaimana sebuah tenaga menggerakkan Syifa. Dia langsung memosisikan tubuh kembali, duduk tegak dan mengepalkan kedua jemarinya di lutut. Seolah tahu apa yang harus dilakukan, Syifa menarik napas dan menekannya di dasar perut. Kemudian dia memejamkan mata dan memusatkan pikiran untuk memanggil satu-satunya zat yang bisa memadamkan kebakaran hutan seperti ini---awan Cumulo nimbus yang gemuk karena berisi banyak tetesan hujan.

Jauh di atas sana, seolah digerakkan tangan tak kasatmata, gumbalan awan raksasa dengan panjang puluhan kilometer, berarak ke lokasi kebakaran. Petir menyambar-nyambar disertai dengan suara geledek yang memekakkan telinga.

Penyerangan sempat terhenti, ketiga manusia itu sempat tidak percaya dengan mata mereka sendiri. Info yang mereka terima ternyata meleset jauh, buruan mereka tidak selemah yang diberitakan.

Setelah berada pada posisi yang tepat, seolah ditumpahkan dari ember raksasa, air pun membasahi hutan dan memadamkan api dalam waktu singkat. Tahu bahaya masih mendekat, Syifa mengarahkan salah satu awan ke Hummer tersebut.

“Petir!” pekik Shifa, berkonsentrasi penuh memandang objek sasarannya.

Petir pun menyambar-nyambar dan sempat membuat Hummer oleng.

“Kerja bagus, Fa!” puji Jaka tulus tanpa sekali pun mengalihkan pandangan dari jalan.

Shifa tersenyum, lalu memanggil semakin banyak awan dan mengarahkannya pada Hummer pemburu mereka. Akhirnya mereka tertinggal jauh karena sibuk mengurus petir-petir kecil yang memekakkan telinga dan memecahkan kaca mobil serta membocorkan empat ban mobil.

Namun Jaka belum melambatkan laju mobil. Dipa bisa memahaminya, karena sejauh ini hawa menyeramkan itu masih terasa. Itu berarti para pemburu pun bisa merasakan mereka juga.

“Papa, seratus meter di depan, belok ke kanan,” ucapnya.

Tanpa bertanya, Pak Jaka menuruti petunjuk Dipa. Melewati jalan yang semakin menyempit dan pepohonan yang semakin lebat, suara-suara hewan malam semakin terdengar jelas, burung kakak tua, jangkrik, kelelawar, dan serangga kecil lainnya. Mereka bertiga pun akhirnya sampai di tepi hutan.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status