Share

9. Keluarga Besar

“Jadi, kau mewarisi bakat dari klan ibumu?” ucap Eyang Adipramana menatap dirinya seolah sedang menyidik dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Dipa mengernyitkan dahinya demi mendengar nada suara yang berkesan menyangsikan dirinya.

Melihat Dipa yang tidak menjawab pertanyaan pemimpin keluarga ini, Syifa menyenggol bahu Dipa. Dipa menoleh memandang wajah Syifa dengan heran.

“Jawab.” Syifa memberi isyarat dengan gerakan bibir dan matanya.

Dipa berdecak, namun dia memilih menuruti kakak sepupunya, “Sepertinya begitu, Eyang.”

Kemudian setelah beberapa saat Eyang Adipramana hanya berdiam diri, beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam jeep. Dipa menoleh pada Syifa untuk bertanya apa yang baru saja terjadi. Syifa pun hanya mengedikkan bahunya.

“Syifa, Dipa, masuk ke mobil. Kita akan jalan sekarang,” perintah Jaka. Beliau pun masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Sebagai gantinya Bagas yang akan mengendarai mobil sampai ke Surabaya.

Tak lama kemudian, ketiga mobil itu sudah meluncur kembali di atas jalan utama, membelah hutan menuju ibu kota Jawa Timur, Surabaya.

Dipa dan Syifa duduk di bangku tengah. Karena masih lelah, Syifa memilih untuk langsung memejamkan matanya. Awalnya Dipa hanya memandangi bayang-bayang pohon yang terlewati, pikirannya kosong, melayang entah ke mana. Sampai kemudian matanya terasa berat, dan tak terasa dia pun menyusul Syifa tenggelam di alam mimpi.

*

Angin berembus menerpa rambutnya, menutupi sebagian matanya. Cuaca terlihat cerah hari ini. Matahari bersinar terang, langit biru jernih dengan kicauan burung-burung menyanyikan lagu suka cita.

Seorang lelaki berdiri di ujung sebuah tebing, matanya tajam menatap objek nun jauh di dalam lembah. Ekspresinya dingin tidak terbaca. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal.

Kesadarannya terusik saat seseorang menepuk bahu kanannya. Kepalanya pun menoleh untuk melihat wajah orang yang mengganggu suasana tenangnya.

Embusan angin melayangkan helai-helai rambut perempuan itu, menggelitik hidungnya. Tercium harum lavender dari tubuhnya.

“Dipa,” bibir perempuan itu terbuka dan menyebutkan namanya.

Untuk sesaat, Dipa tidak menjawab, matanya hanya fokus menatap wajah perempuan di hadapannya saat ini. Di mana dia merasa, kalau dia bisa melihat wajah itu, namun entah kenapa dia sama sekali tidak bisa mengenalinya.

“Dipa,” suara itu kembali terdengar.

Namun, lelaki itu tetap tidak bereaksi ketika namanya dipanggil. Merasa kesal, perempuan itu akhirnya memeluk tubuh lelaki dihadapannya, dan dalam sekejap mata, mereka berdua melayang di udara.

Dipa terkejut ketika merasakannya tubuhnya tidak lagi berpijak di atas tanah. Dia sempat panik menggeliat berusaha melepaskan diri dari pelukan gadis itu.

“SShht, tenanglah, kamu tidak akan terjatuh,” bisik gadis itu di telinganya.

Dipa berhenti menggerakkan tubuhnya, dia mempercayakan dirinya sepenuhnya pada gadis itu.

Tiba-tiba saja gadis itu melepaskan pelukannya. Kemudian dia melepaskan tangannya dari tubuh Dipa. Dipa terkejut bukan main. Namun, demi melihat keyakinan yang ada di mata gadis itu, Dipa berhasil menguasai rasa paniknya.

Angin berembus semakin kuat, seolah massa jenis udara sama dengan massa jenis tubuhnya, tubuh Dipa melayang-layang di udara. Rasa takut dan antusias berkelindan dalam dirinya. Ragu-ragu dia merentangkan kedua lengannya, mencoba untuk terbang.

Kemudian ketika dia sudah merasa yakin kalau tubuhnya tidak akan tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian ribuan meter. Tawanya lepas, hatinya mendadak merasa sangat ringan, bahagia bukan main.

Dia memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri, tiba-tiba gerakan tubuhnya langsung menukik ke arah kiri, mengikuti gerak tubuhnya. Cepat dia mengembalikan posisinya ke semula dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya kembali. Adrenalin mengalir deras, serotonin membanjiri sarafnya, jantungnya berdetak cepat. Dia pun berhasil menyeimbangkan posisi tubuhnya kembali. Tawa kembali lepas dari rongga dadanya.

“Kau menyukainya?” sapa suara itu mendadak sudah berada di sisi tubuhnya. Memang berbeda kalau yang sudah pro, hanya hitungan nano detik, sudah bisa terbang dengan cepat dari satu titik ke titik lain.

Dipa menghentikan terbangnya, dia melipat tangannya kembali, ke sisi tubuhnya, dan sekarang dia berdiri di atas awan, menatap gadis itu dengan saksama.

Keningnya terus mengernyit dalam, berusaha melihat wajah gadis itu lebih jelas. Kemudian seperti kamera yang bisa memperbesar dan memperjelas sebuah gambar, wajah di hadapannya perlahan terlihat jelas. Saat dia sudah bisa mengenali wajah itu, dia hanya bisa terpana menatapnya.

“Kau …,” ucapnya, “siapa namamu?” lanjutnya.

Gadis itu tersenyum lembut, “Kau melupakanku? Kita sudah pernah bertemu sebelumnya.”

Saat itulah ingatannya terbang pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saat dia kehilangan tasnya dan ada seorang gadis asing yang menolong dirinya. Kulit cokelat yang bersinar, rambutnya yang ikal dan lebat berwarna hitam, dan tentu saja harum lavender yang menguar di sekujur tubuhnya.

Namun belum dia sempat berbicara kembali, ada sebuah ledakan terjadi di daratan di bawahnya. Perhatiannya pun teralihkan. Cepat dia terbang ke asal ledakan.

“Jangan ke sana!” teriak gadis itu.

Namun Dipa tidak mendengarkan, dia terus meluncur turun. Namun karena posisinya yang sudah menjauhi sumber yang membuanya bisa terbang, Dipa kehilangan kontrol atas tubuhnya. Tubuhnya meluncur turun dengan sangat cepat, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan laju gerakannya. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah menghantam tanah, menambah jumlah ledakan lainnya yang lebih besar, membuat lubang sebesar lapangan basket. Dan dia pun tak sadarkan diri.

*

Dipa membuka matanya dengan napas yang memburu dan peluh yang membasahi kening dan punggungnya. Untuk sesaat dia mengalami disorientasi. Kepalanya terasa sakit, sehingga dia kembali memejamkan kedua matanya dan memijat pelipisnya.

“Dipa, kamu nggak apa-apa?” tegur Syifa.

Sekali lagi Dipa terkejut dengan suara Syifa, suara yang seharusnya sudah sangat dihapalnya. Ah, ini pasti karena mimpi yang baru saja dialaminya.

“Dipa?” Syifa memanggilnya kembali. Nada suaranya penuh rasa khawatir.

Cepat Dipa menggelengkan kepalanya, “Aku nggak apa-apa, aku hanya mimpi buruk,” ucapnya.

“Kita sudah mau sampai,” ucap Syifa. Walaupun masih mengkhawatirkan adik sepupunya, dia memilih untuk tidak menekannya saat ini.

“Oh, ya, syukurlah,” balas Dipa sekenanya.

Syifa hanya tersenyum tipis, masih menatap cowok yang berusia satu tahun lebih muda darinya ini.

Tak lama kemudian mobil yang dikendarai mereka melewati sebuah gerbang besi yang menjulang tinggi. Mobil pun melaju melewati taman, terus menuju ke bagian dalam halaman. Sampai akhirnya tiba di depan rumah tua bergaya kolonial Belanda bercat putih dengan tempelan batu alam kelabu, terlihat klasik, namun sangat asri dengan taman yang terawat.

Begitu mobil terparkir, mereka pun bergegas turun dari mobil. Di depan rumah mereka disambut oleh keluarga lainnya. Kebetulan memang akan ada pertemuan keluarga besar, jadi hampir seluruhnya hadir di rumah ini.

Wajah-wajah mereka dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang besar mengenai para pewaris elemen yang terlahir di keluarga mereka. Namun, perhatian mereka kali ini semuanya lebih terpusat pada sosok remaja berkacamata yang terlihat masih disorientasi dengan keadaan sekitarnya.

Dipa pun menyadari pandangan mata mereka semua. Walaupun merasa kikuk, dia mengangkat tangannya untuk dilambaikan sebagai salam pertemuan.

Mereka pun tersadar kalau sedang melakukan hal yang tidak sopan dan membuat pemuda itu salah tingkah.

“Nak Dipa, apa kabar?” sambut Eyang Putri Fatima menyambut cucunya. Ya, Eyang putri Fatima merupakan anak dari Eyang Adipramana. Dengan kata lain, beliau merupakan ibu dari Jaka.

Dipa yang disapa hanya menunduk dengan malu-malu. Jaka yang melihatnya pun merasa harus mewakili putranya agar yang lain tidak salah paham pada remaja itu.

“Ibu, sehat?” sapa Jaka memeluk ibunya dengan erat. “Dipa masih syok dengan kejadian sebelumnya, jadi maaf kalau dia agak sulit diajak bicara. Dia hanya butuh istirahat.”

Eyang Fatima mengangguk bisa memahami hal itu. “Maaf, seharusnya Ibu lebih peka dengan kondisi anak ini. Mari masuk. Kamar kalian sudah kami siapkan.”

Maka, mereka bertiga pun mengikuti Eyang Fatima masuk ke dalam rumah. Perlahan anggota keluarga yang lain mulai berpencar untuk melakukan aktivitas masing-masing. Begitupun halnya dengan Eyang Adipramana dan Bagas. Mereka bergegas menuju aula untuk membicarakan banyak hal.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status