Share

2. Syifa dan Taeyang

Perjalanan ke kampus pagi ini berjalan lancar. Jalanan tidak terlalu macet, langit cerah dengan sinar matahari yang tidak terlalu terik, sehingga dia tidak perlu kepanasan di balik helm dan jaket motor. Pukul setengah sepuluh, dia sudah sampai di kampus. Masih ada waktu setengah jam sampai kuliah dimulai.

Dia berjalan menyusuri koridor, menuju ruangan kelas. Pagi ini, kelompoknya akan presentasi dengan tema anatomi jantung dan penyakit-penyakit yang kemungkinan muncul darinya. Semua bahan sudah selesai, teman satu kelompoknya, Taeyang, berjanji akan mencetak tugas kuliah tersebut sekaligus menjilid dan menjadikannya sepuluh rangkap, untuk dibagikan kepada kelompok lain juga dosen.

Syifa meletakkan tas di meja paling depan dekat papan tulis. Tak lama masuk Taeyang, orang yang sudah ditunggu olehnya.

“Morning,” sapa cowok itu.

“Morning,” balas Syifa. “Mana makalahnya?” tanyanya langsung.

Raut wajah Taeyang langsung berubah, dia terlihat kebingungan. Namun detik berikutnya, dia langsung ingat. Dengan cepat dia mengecek telepon genggamnya dan mendapati beberapa telepon dan pesan yang masuk.

“Mana makalahnya?” tanya Syifa lagi ketika Taeyang tidak kunjung menjawab.

“Ng…” wajah cowok itu terlihat khawatir, “sepertinya akan butuh waktu lebih panjang, masih di jalan.”

“Apa?” tanya Syifa belum paham.

“Begini, kamu kan tahu aku ngekos. Nah, di tempat kos memang ada printer, tapi kemarin tintanya habis, dan kebetulan kemarin jadwal aku pulang ke Sukabumi, jadilah aku nge-print di sana. Jadi, saat ini, makalahnya masih dalam perjalanan menuju Jakarta.”

“Apa?!” kali ini Syifa histeris. “Kamu meninggalkan tugas kita? Kamu lupa membawanya?” dia mulai diserang panik.

No-no, chill. Sudah dalam perjalanan kok!”

“Ya, tapi mau sampai sini jam berapa? Oh my God, Taeyang, setengah jam lagi kuliah dimulai! Sukabumi-Jakarta itu bukan dari Rawamangun ke Salemba, butuh tiga jam paling cepat dari sana!”

Teriakan Syifa sukses menarik perhatian teman sekelas yang sudah ada dalam ruangan.

“Kamu meninggalkannya? Tapi bawa soft copy-nya, kan?” tanya Ummie, salah satu teman sekelas yang angkatannya lebih tua setahun.

Soft copy-nya ada di laptopku,” jawab Syifa.

“Untuk presentasi masih aman kalau begitu. Bilang aja ke dosen makalahnya baru bisa dikumpulkan siang nanti. Dosennya baik kok!” ucap gadis bertubuh mungil itu dengan yakin.

“Nah, ternyata nggak masalah tuh!” ucap Taeyang merasa sangat lega, sampai-sampai cengiran di wajahnya tidak bisa hilang.

Syifa sebenarnya sudah merasa lega juga, hanya saja, rasa kesalnya kepada Taeyang masih belum hilang.

“Oh iya, makasih ya, Kak!” balasnya kepada kakak seniornya.

Ummie pun kembali ke bangkunya. Setelah itu, Syifa langsung menatap wajah Taeyang tajam, “Pastikan sopir kamu mengantarkan ke sini lebih cepat!”

“Yes, boss!”

***

Tepat saat makan siang, makalah itu sudah sampai di tangannya dalam kondisi sangat rapi. Presentasi tadi pun berjalan lancar, tentu saja karena Syifa sudah belajar semalaman, dan materi yang akan dipresentasikan sudah dihafal luar kepala.

Setelah memberikan makalah itu ke dosen yang bersangkutan, mereka berjalan menuju kantin untuk makan siang.

“Mau makan apa siang ini?” tanya Taeyang.

“Kayaknya sih soto ayam enak.”

“Oh, jangan makan soto ayam di kantin sana. Terakhir aku dengar, rasanya nggak jelas.”

“Tahu dari mana? Kamu biang gosip juga, ya!”

“Seriusan, Syi. Banyak anak-anak yang bilang gitu kok!”

“Ya udah, aku mau makan pasta aja.”

“Pasta instan begitu? Aku bisa bikin yang lebih enak. Oh, kita makan di seberang aja yuk!”

Ketika mereka melewati taman di dalam kampus, seketika bulu tangan Syifa meremang. Dia menghentikan langkah dan menatap langit.

“Ada apa?” tanya Taeyang terheran-heran.

“Sebentar lagi hujan.”

Taeyang ikut menoleh ke langit. “Cerah begini kok!”

“Terserah kamu.”

“Jadi kita makan di seberang?”

“Kamu aja. Aku nggak bawa payung, nanti baliknya bisa kehujanan.”

Taeyang berdecak. “Terus kalau kehujanan kenapa? Masih air, belum batu.”

“Yeah, says a boy who cried while watching Coco.”

“Hei, aku nggak nangis. Mataku kelilipan!”

“Kelilipan di dalam gedung bioskop?” Syifa tersenyum mengejek. “Aku duduk tepat di sebelahmu. Jadi aku bisa ngebedain mana air mata karena kelilipan sama yang bukan.” Syifa tertawa renyah.

Taeyang berdecak kesal. “Don't you dare telling this to anybody!”

Syifa hanya tertawa puas. “Sudahlah, aku lapar. Mau makan di kantin yang ada di dalam kampus aja.” Setelah mengucapkan itu, Syifa berjalan cepat meninggalkan Taeyang.

Taeyang sedang tidak ingin makan di kantin, jadi dia memutuskan untuk makan di restoran cepat saji yang terletak di seberang kampus. Namun, baru saja dia melangkah melewati gerbang kampus, mendadak langit mendung dan detik berikutnya, air tercurah deras tanpa memberikan jeda bagi siapa pun untuk mencari tempat berteduh.

Taeyang diguyur tetesan hujan. Untung saja kemampuan berlarinya terlatih dengan baik, sehingga dia cepat sampai di lobi kampus sebelum tubuhnya benar-benar basah kuyup.

“Sial, bagaimana cewek itu bisa tahu?” begitu batin Taeyang.

Agar tidak terserang flu, dia segera ke toilet untuk mengeringkan kemejanya. Di toilet tidak ada siapa-siapa. Benar-benar kebetulan. Dia membuka kancing kemeja dan meletakkannya di meja wastafel. Kemudian dengan mengerahkan panas tubuhnya, tangannya berubah merah seperti bara api. Tangannya bergerak menyusuri permukaan kemeja yang basah, menguapkan air hingga membentuk gumpalan asap tipis. Tidak membutuhkan waktu lama, kemejanya sudah nyaris kering kembali.

Tiba-tiba pintu toilet terbuka, dan seorang petugas kebersihan masuk. Tubuh Taeyang menegang, karena saat itu tangannya masih merah membara, dan uap tipis masih mengepul di dalam toilet.

“Lho, ada apa ini ya, kok berasap gini di dalam toilet,” ucap petugas itu terheran-heran.

Buru-buru Taeyang menyembunyikan tangan kanannya dan mengenakan kemejanya kembali.

“Mungkin asap rokok, Mas. Tadi pas saya masuk sudah seperti ini,” balasnya.

“Oh, iya toh. Tapi tidak seperti bau rokok.”

“Ya, saya nggak tahu juga.”

“Aneh, ya!”

“Mungkin asap vape, baunya kan nggak kayak rokok.”

“Oooh, yang rokok elektrik itu, ya! Mahasiswa kedokteran tapi ngerokok juga ternyata.”

“Namanya juga anak muda. Sedang masanya coba-coba.”

Petugas itu manggut-manggut, setelah itu dia mulai membersihkan bilik-bilik toilet. Taeyang menarik napas lega, karena mudah sekali meyakinkan petugas itu.

“Saya duluan ya, Mas,” pamitnya.

Taeyang berjalan menuju kantin kampus, perutnya keroncongan. Dia melihat Syifa masih di sana, sedang menerima telepon, dan makanannya baru habis separuh.

“Oh iya, Om, akhir bulan ini kan acara keluarganya. Kita bakalan ke Surabaya dong! Jalan darat aja, ya, Om! Please!... Yes! Oh, iya, nanti sepertinya aku pulang bareng Dipa. Tadi dia WA akan sampai di sini jam empat sore. Ya, Om. Iya. Makasih ya, Om. Bye.” Setelah itu, dia menutup telepon.

Shifa bermaksud menyuap makanannya kembali ketika menyadari kehadiran Taeyang di dekatnya.

“Kamu kehujanan?” tanyanya melihat rambut basah cowok di depannya. Alisnya berkerut terheran-heran, karena kemeja Taeyang terlihat kering, sedangkan celananya basah di beberapa tempat.

“Dari mana kamu tahu?” Taeyang langsung menarik kursi di depan Syifa dan duduk.

“Apa?”

“Dari mana kamu tahu bakal hujan padahal langit sedang cerah secerah-cerahnya?”

Syifa mengangkat bahu. “Feeling aja.”

Taeyang mendengkus, tapi tidak memperpanjang. “Jadi kamu akan dijemput adik sepupu, Dipa namanya, kan?” Tentu saja dia mengenal sepupu Syifa, walaupun tidak akrab. Berbeda dengan cewek di depannya yang sangat luwes bergaul, Dipa terlihat sangat pendiam dan sulit didekati.

Syifa mengangguk, namun tidak mengatakan apa-apa.

“Kamu akrab banget dengan adik sepupumu itu.”

“Nggak apa-apa dong! Wajar.”

Taeyang mengangguk, dia sendiri merasa heran, kenapa harus terganggu dengan kedekatan Syifa dengan cowok selain dirinya. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, dia juga tidak terlalu rukun dengan gadis ini. Mereka bahkan lebih sering adu mulut.

“Sebenarnya hujan kayak gini, aku bermaksud nganterin kamu pulang. Tapi karena kamu harus nungguin cowok itu, kamu pasti nggak mau.”

“Taeyang, kamu ngomong apa sih? Walaupun Dipa nggak menjemputku, aku tetap nggak akan mau dianterin pulang sama kamu. Aku kan bawa motor sendiri. Kalau aku dianterin kamu, motorku siapa yang bawa?” ucap Syifa, merasa geli sendiri mendengar ucapan temannya.

Seketika wajah Taeyang memerah, cepat dia memalingkan wajah. “Aku hanya bercanda! Tentu saja aku tahu kamu bawa motor. Ya sudah, aku mau pesan makanan dulu.” Setelah itu dia langsung bangkit dan berjalan menuju stan makanan.

Syifa masih tersenyum melihat kelakuan temannya ini. Entah kenapa, walaupun nada bicara Taeyang ketus dan seenaknya, dia senang karena bisa melihat wajah itu memerah. Tadinya dia masih kesal karena cowok itu sudah meninggalkan makalah kelompok di Sukabumi. Tapi saat ini, rasa kesalnya sudah menghilang, dan dia merasa senang bersama dengannya.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status