Share

8. Pewaris Elemen Tanah

Menunggu merupakan kegiatan yang tidak disukai oleh Dipa. Kalaupun dia biasa menunggu Syifa, dia memiliki hal lain yang bisa dilakukan sambil menunggu, mengerjakan tugas kuliah misalnya. Bukan hanya diam saja tanpa ada kejelasan selanjutnya.

“Pa, ayo kita jalan aja sekarang!” desak Dipa ketika mereka sudah menunggu selama lima jam dan matahari sudah berada di puncaknya.

Dia sudah bosan bermain game di ponselnya atau melafalkan deret aritmatika di dalam otaknya. Dia bahkan sudah sempat tertidur, namun saat dia terbangun bantuan belum juga tiba.

“Sabar, Dipa, pertolongan sedang dalam perjalanan. Papa khawatir mereka masih berada di sekitar sini, menunggu sampai kita keluar dari persembunyian ini. Kalau sampai kita dikejar kembali. Papa tidak yakin kita bisa selamat dari mereka untuk kedua kalinya.”

Tentu saja di tengah hutan ini tidak ada sinyal telepon. Oleh sebab itu Pak Jaka memakai gelombang radio untuk meminta bantuan. Untungnya mobil ini dilengkapi dengan peralatan transreceiver yang cukup canggih.

Dipa terdiam. Ya, tidak mungkin dia membantah hal itu, karena dia pun melihat betapa pengejaran tadi malam sangat menguras tenaga ayah dan kakak sepupunya.

Kalau saja dia sudah bisa memakai kekuatannya secara maksimal. Mungkin saja dia bisa melemparkan batu-batu ke arah mereka dengan telekinesis, seperti halnya Syifa yang sanggup mendatangkan hujan.

Dipa berjalan menjauh menuju sebatang kayu yang tumbang dan duduk di sana. Dia membungkuk dan memungut sebuah batu. Kemudian dia mencoba memusatkan fokusnya, menatap batu itu untuk membuatnya melayang dari telapak tangannya.

Namun sampai beberapa menit, tidak terjadi apapun. Dipa frustasi dibuatnya. Dia langsung melempar batu itu dengan marah ke sembarang arah.

Tiba-tiba bahunya disentuh oleh Syifa, “Bukan begitu caranya,” ucap gadis itu. Dia pun menempatkan dirinya duduk di sebelah Dipa. “Kamu kan sudah diajarkan dasar-dasarnya, kamu harus mengumpulkan chi di dasar perutmu, kemudian kamu harus tahu apa yang ingin kamu lakukan. Karena kamu penguasa elemen tanah, kamu bisa menggerakkan, membelah, memecah, mengangkat tanah ini, bahkan membuatnya menjadi tameng untuk dirimu. Dan itu adalah dasarnya. Saat kekuatanmu sudah semakin besar, kamu bisa menggerakkan semua makhluk yang berada di atas tanah. Kamu bisa membuat tanaman tumbuh lebih cepat, membuat hewan-hewan menuruti perintahmu.”

Dipa tidak bisa mengatupkan mulutnya saat Syifa selesai menjelaskan detil dari kemampuan yang seharusnya dia miliki. Karena semua itu sungguh sangat tidak masuk di akalnya. Sama sekali tidak logis. Semua yang terjadi padanya selama 12 jam terakhir sama sekali tidak logis!

“Ibumu yang menceritakannya padaku sebelum meninggal dunia. Seperti yang kita ketahui, garis keturunan dari Tante Candra merupakan elemen tanah. Seharusnya beliau memiliki kemampuan menguasai elemen tanah, namun saat berusia 15 tahun, ibumu diculik. Untung saja beliau bisa melarikan diri. Namun sejak itu, beliau tidak bisa mengeluarkan kembali kemampuannya. Mungkin karena trauma. Yang pasti, kami sama sekali tidak pernah mengetahui secara detail apa saja yang terjadi pada beliau saat itu. Ibumu sama sekali tidak bisa mengingatnya. Mungkin itu juga sebabnya, kemampuan itu diwariskannya padamu. Padahal seharusnya setiap pewarisan, pasti ada satu atau dua generasi yang terlewati.”

Dipa terdiam, mendengar cerita Syifa membuat rasa rindu pada ibunya kembali membuncah. Sudah lima tahun berlalu sejak ibunya meninggal dunia. Selama itu pula dia selalu mengurung dirinya, tidak ingin membicarakannya sama sekali. Dia ingin melupakan, namun karena dia sangat dekat dengan ibu, sulit sekali rasanya. Refleks tangannya mengepal dengan kuat dan matanya terasa panas.

Syifa tersenyum tipis, dia membawa Dipa ke dalam pelukannya, menepuk punggungnya pelan untuk menenangkan adik sepupunya. Setelah itu dia melepaskannya kembali.

“Sebagai penguasa elemen, kita terbagi menjadi dua.”

“Maksudmu kita terpecah?”

Syifa menggeleng, “Aku tidak paham kalau untuk masalah yang itu. Maksudnya, kita terbagi dua pada saat menggunakan sumber kekuatan kita. Ada yang memakai otak untuk menggerakan kekuatannya, dan ada yang memakai hatinya untuk menggerakkannya.”

“Bedanya apa? Kamu bagaimana?”

Syifa mengedikkan bahunya, “Tidak banyak penguasa elemen di antara kita, jadi aku juga tidak tahu bagaimana membedakannya. Hanya saja, sekali kita memakai hati kita untuk menggerakan kekuatan kita, untuk seterusnya hati kita yang akan berperan besar dalam setiap pengambilan keputusan. Pun sebaliknya. Dan sumber kekuatanku dari pikiran.”

“Apa tidak ada yang bisa menggunakan keduanya?”

Syifa menggeleng, “Aku juga tidak tahu. Selama hidupku aku belum pernah bertemu penguasa elemen lainnya selain kamu.”

“Sejak kapan kamu tahu aku mewarisi kemampuan ini? Aku saja tidak pernah merasakannya.”

“Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi kita tinggal serumah. Apa kamu tidak menyadari kenapa taman di rumah kita jauh lebih rimbun daripada rumah-rumah lainnya? Aku mungkin saja menguasai elemen air, aku yang menyirami mereka setiap hari, namun keberadaan dirimulah yang membuat tanaman itu tumbuh dengan baik.”

Dipa masih tidak bisa mempercayai cerita Syifa, wajahnya penuh keraguan. Syifa hanya tertawa melihat reaksi adik sepupunya yang meragukan ceritanya.

“Tiga tahun lalu, kamu ingat kan kalau pohon mangga di rumah sempat mati karena diserang ulat? Saat itu aku dan Om Jaka sudah sepakat untuk menebangnya. Namun sehari sebelum jadwal penebangan, kau terlihat berdiri lama di depan pohon itu, aku juga tidak tahu apa yang kau bicarakan saat itu, namun hanya dalam waktu semalam, pohon itu kembali mengeluarkan pucuk daun, dan ulat di pohon itu hilang seluruhnya.

Masih banyak kejadian lainnya, namun kejadian tiga tahun lalu merupakan kejadian paling signifikan yang membuat aku dan Om Jaka menyimpulkan mungkin kau mewarisi bakat dari klan ibumu. Hanya saja entah kapan kemampuanmu akan sepenuhnya muncul. Makanya kan, aku mulai mengajakmu lagi untuk melakukan senam pernapasan. Tapi memang dasar kau tidak sabaran dan pemalas, baru seminggu latihan kau sudah mengeluh capek dan berdalih sibuk mengerjakan tugas kuliah.”

Dipa terdiam mendengar cerita Syifa. Otaknya sibuk mengolah semua informasi yang baru saja disampaikan oleh kakak sepupunya.

Kalau dipikir-pikir, kondisi taman di rumahnya memang lebih mirip hutan rimba dibandingkan rumah-rumah lain, sih! Dan anehnya, tidak pernah ada hewan liar seperti ular, biawak, atau tikus, atau apapun yang menyerang mereka dengan keberadaan taman serimbun itu.

“Sebentar lagi pertolongan kita datang, bersiaplah untuk berangkat, kita harus mengejar waktu sebelum malam kembali tiba,” teriak Jaka membuat Dipa sedikit terkejut.

“Baik, Om,” balas Syifa sigap. “Yuk!” ajaknya pada Dipa.

Dipa mengangguk. Dia pun bangkit dan mengikuti Syifa berjalan menuju Jaka yang sejak tadi bersiaga di dekat radio.

Tak lama kemudian, dua buah mobil jeep tiba di tempat persembunyian mereka. Masing-masing jeep berisi empat orang, sehingga ada total delapan orang yang akan mengawal mereka sampai ke tujuan dengan selamat.

Seorang pria berusia tiga puluh tahunan keluar dari dalam jeep. Melihat kakaknya dalam keadaan selamat, pria itu segera memeluk Jaka.

"Mas, gimana keadaan, Mas? Perlu gantian menyetir?" ucap pria yang berwajah mirip dengan Jaka.

Sementara di belakangnya menyusul turun dari dalam jeep, seorang pria paruh baya dengan rambut yang seluruhnya memutih dan jenggot putih yang lebat. Walau terlihat sangat tua, tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Sementara sisanya hanya menunggu di dalam mobil.

"Bagas, aku tidak apa-apa. Kami berhasil melarikan diri tepat waktu," ucap Jaka terkekeh pelan saat adiknya sibuk memeriksa kening, tangan dan hampir saja menarik kaosnya untuk memeriksa perutnya.

"Mas, kita memang tidak memiliki kekuatan elemen, namun fisik kita dianugerahi kelebihan dibanding manusia lainnya. Tapi dengan usia yang tidak lagi muda, saat terlampau memaksakan kekuatan, pasti akan memunculkan ruam-ruam. Dan itu harus segera diobati, minimal beristirahat, kalau tidak, pembuluh darah Mas bisa pecah," tegur Bagas tidak menerima penolakan abangnya.

Jaka hanya mendesah pasrah dan membiarkan adiknya memeriksa kondisi tubuhnya. Sementara itu, sang pria tua berjalan mendekati Syifa dan Dipa. Kemudian dia menatap wajah kedua remaja ini dalam diam. Seolah sedang menilai sesuatu.

"Eyang Adipramana," sapa Syifa dengan hormat.

Sementara Dipa hanya diam. Dia tidak terlalu mengenal kakek buyutnya, yang kalau dia dengar sudah berusia 100 tahun. Dulu setiap acara keluarga, Dipa cenderung menyendiri atau hanya menempel pada ibunya, Candrawati.

Setelah beberapa saat terdiam, Eyang Adipramana pun berkata, "Jadi, kau mewarisi bakat dari keluarga ibumu?"[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status