Share

Elements
Elements
Penulis: Ninna Krisna / Ninna Krisnamurti

1. DIPA

Sepuluh Tahun yang Lalu

Napas memburu, keringat menetes, dan adrenalin mengalir deras. Namun bukan untuk menyambut kegembiraan, melainkan rasa takut yang semakin menekan saraf. Langkah kakinya semakin cepat, kerikil beterbangan saat dia berlari di atasnya.

Jalan di depannya buntu, langkahnya terhenti dan tubuhnya berbalik. Matanya nyalang memeriksa sekelilingnya. Detik sebelumnya dia melihat bayangan itu berada dua puluh meter di belakangnya, namun detik berikutnya bayangan itu tinggal beberapa meter di belakangnya.

“HIYAH!” Tangannya terangkat ke udara, membuat aspal jalan terangkat ke atas, pecah di udara, dan menyebar menyerang benda apa pun yang mencurigakan.

Namun pengejarnya bergerak sangat cepat, batu-batu itu sama sekali tidak melukainya. Mata gadis itu terbelalak melihat bayangan itu semakin mendekat dan berhasil melukai bahu kanannya. Dia pun menciptakan pusaran kerikil sebagai tameng di sekujur tubuhnya, membawanya terbang naik ke puncak bangunan berlantai lima di belakangnya.

Sesaat dia yakin telah berhasil melarikan diri. Matanya kembali nyalang memeriksa sekelilingnya. Merasa aman, dia duduk bersandar di dinding pembatas gedung. Tapi tiba-tiba pintu menjeblak terbuka, membuatnya kaget bukan main. Dia langsung waspada, namun tidak melihat apa pun, hanya kegelapan malam.

“Siapa kamu? Keluarlah, pengecut!” teriaknya.

Tubuhnya sangat lelah. Pengejaran ini sudah berlangsung nyaris satu jam. Dia telah menyerang sekuat tenaga, tapi rasanya sia-sia, karena si pengejar tak tampak terluka sedikit pun. Bahkan untuk melihat dengan jelas wajah penyerangnya saja sangat sulit. Yang terlihat hanya kilasan rambut berwarna perak dan mata biru terang. Di antara orang yang dikenalnya, hanya ada satu orang yang memiliki ciri seperti itu. Yang membuatnya ragu, dia mengenal orang itu sebagai pribadi yang rapuh dan ramah.

“Aku tahu siapa kamu! Jadi, berhentilah mengejarku dan biarkan aku pergi!” teriaknya kembali.

Sarafnya masih waspada, nyeri di bahunya semakin menggerogoti pertahanannya. Pusaran batu kerikil kembali dijadikan tameng. Kemudian entah bagaimana, ada pukulan menyerang bahu kirinya. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pusaran kerikil langsung buyar dan menyebar di jalanan. Dia bersandar di dinding pembatas gedung, napasnya terengah-engah. Saat itulah orang yang mengejarnya menampakkan diri, tepat di depan wajahnya.

“Jangan memberontak, aku membutuhkanmu untuk percobaan ini,” desis si penyerang. Dia mengeluarkan sesuatu seperti jarum suntik dan mengambil darah gadis itu. Namun, sebelum berhasil menusuknya, gadis itu menahan tangan si penyerang.

“Tidak… semudah itu.”

“Apa?”

Detik berikutnya, gadis itu menubruk tubuh lawannya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, dia membelah jalanan di bawah, bermaksud mengubur si penyerang. Sesaat dia merasa serangannya berhasil, namun satu detik kemudian, penyerang itu sudah tidak ada di bawah tubuhnya, sementara dia sendiri akhirnya terjatuh ke dalam lubang buatannya.

Dia terkapar dalam lubang sedalam tiga meter tersebut, tubuhnya sulit bergerak. Wajahnya penuh darah, kesadarannya nyaris hilang.

“Why would you do that?” teriak orang itu, terlihat sangat murka. “Oh, terserahlah. Yang aku butuhkan hanya darahmu!” Dia bermaksud masuk ke lubang, tapi ketika sisi-sisi dinding lubang bergetar, dia menghentikan langkah. “Apa yang−“

Gadis itu tersenyum, penyerangnya yang panik hanya berdiri di bibir lubang. Detik berikutnya dinding di sekelilingnya runtuh dan dirinya terkubur.

“Sialaaaan!” teriak sang penyerang merasa sangat murka.

*******

MASA KINI

Dipa membuka kedua matanya. Selama beberapa saat, dia hanya terdiam dalam keremangan, mencoba mengumpulkan kesadaran, sebelum akhirnya tersadar dia masih di kamarnya sendiri. Seberkas sinar matahari mengintip dari balik tirai jendela.

Terdengar nyanyian merdu dari halaman belakang, suara yang sangat familier di telinganya, suara saudara sepupunya, Syifa, yang sedang menyiram tanaman. Sudut bibir Dipa tertarik ke atas, seketika dia menjadi segar. Dia pun bangkit dari kasur, mengucek kedua matanya, dan menguap lebar. Tipikal pagi hari yang disukainya.

Dia beranjak menuju wastafel di sudut kamar dan mencuci muka. Setelah itu, dia kembali duduk menghadap layar komputer dan laptop yang sedang dalam mode stand by. Tidak lupa dia memakai kacamata yang diletakkan di atas keyboard. Begitu tangannya menyentuh mouse, layar komputer langsung memintanya memasukkan password.

Setelah mengetikkan sebaris huruf dalam kolom password, layar beralih pada halaman terakhir yang sedang dikerjakan olehnya. Terlihat sebaris angka dan kode-kode rumit yang masih menghitung cepat. Begitu perhitungan ini selesai, aplikasi yang sedang dikerjakannya akan bisa berfungsi walaupun masih sangat sederhana.

Dia meraih remote TV dan menyalakannya, tampaklah wajah pembaca berita yang sedang mengabarkan kondisi Lombok yang baru mengalami gempa bumi semalam, menelan ratusan korban jiwa dan masih terus bertambah. Dalam kondisi seperti itu, memang sulit sekali menemukan lokasi aman. Oleh sebab itu, dia bertekad menyelesaikan proyek pribadinya yang sudah berjalan selama enam bulan terakhir ini, sebuah aplikasi bernama “Safe Place”.

Cara kerja “Safe Place” sebenarnya lebih mirip GPS, dilengkapi lokasi-lokasi aman ketika sebuah bencana alam sedang berlangsung. Dia belum sempat menguji coba, tapi mulai hari ini, atau besok paling lambat, dia pasti bisa mengetesnya. Walaupun mungkin hanya akan berfungsi sebagai GPS biasa pada awalnya.

Terdengar ketukan di pintu. “Hei,” sapa Syifa. Kepalanya muncul begitu pintu terbuka. “Aku membawa sarapanmu.”

Namun tidak terdengar jawaban. Syifa membuka pintu lebih lebar dengan bahu karena kedua tangannya memegangi nampan makanan.

“Aku bikin nasi goreng ikan asin, kamu pasti suka. Kamu habiskan, ya! Aku nggak akan mau masak lagi kalau kamu menyisakan makanan seperti kemarin. Oh ya, juga ada jus jeruk kesukaan kamu. Setelah ini, aku akan langsung berangkat ke kampus.” Syifa terus berceloteh sambil menghampiri meja nakas di samping tempat tidur. Kemudian dia meletakkan nampan makanan tersebut di sana.

“Oh hati-hati,” balas Dipa tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer yang sudah selesai menghitung. Sebagai gantinya, layar komputer mulai menampilkan peta kota Jakarta.

Syifa hanya menggeleng melihat kelakuan sepupunya. Tentu saja dia tahu cowok itu bukannya bersikap tidak sopan dengan tidak memandang dirinya sama sekali. Itu hanya karena Dipa memang Dipa.

“Kamu ke kampus hari ini?”

Dipa mengangguk.

“Sore nanti hubungi aku kalau mau pulang bareng.”

Dipa kembali mengangguk. Syifa memutuskan beranjak keluar kamar dan bersiap-siap pergi kuliah, sementara Dipa mulai membuka buku tugasnya. Dia baru teringat ada tugas mata kuliah Data dan Algoritma untuk siang nanti, ketika dia membaca jadwal kuliah yang tertempel di dinding yang ada di belakang layar komputer. Dia harus menyelesaikanya sampai dengan pukul sepuluh nanti, karena pukul sebelas dia sudah harus berangkat kuliah.

Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Dari nada deringnya, dia tahu itu ayahnya, Pak Jaka.

“Halo, Pa?” sapanya.

“Halo, Dipa, kamu sudah sarapan?”

“Belum, Pa, tapi tadi Syifa sudah mengantarkan sarapan ke kamar. Syifa sudah berangkat kuliah sepuluh menit yang lalu.”

“Berarti sarapan kamu sudah dingin. Dipa, kamu harus menjaga kesehatan.”

“Iya, Pak Dokter.”

Terdengar tawa di seberang sana. “Dengarkan nasihat dokter pribadimu. Badan kamu terlalu kurus, dan kamu kurang terkena sinar matahari. Kamu sedang dalam masa pertumbuhan.”

“Pa, makanku sudah banyak, memang nggak jadi daging aja,” protesnya, merasa risi dicereweti.

“Ya, Papa tahu kok! Intinya, matikan komputer, letakkan pulpen, tutup bukumu, dan segera habiskan makananmu. Kamu tidak suka makanan dingin, tapi sering membiarkan makanan menjadi dingin. Sekarang lebih baik kamu habiskan kalau tidak mau kena marah Syifa lagi.”

Dipa menghela napas. “Oke, Dipa tutup sekarang teleponnya, ya! Lebih baik Papa fokus bekerja aja di rumah sakit, jangan sampai salah memberikan diagnosis.”

“Ya, Papa ada praktik jam sepuluh nanti. Sore juga ada, jadi mungkin hari ini akan pulang larut.”

“Iya, nggak apa-apa, di rumah ada Syifa kok, Pa. Bye!

Setelah menutup telepon, dengan kaki dia mendorong kursinya yang beroda ke meja nakas dan mengambil piring makannya. Setelah itu, masih duduk di kursi, dia mendorong kembali ke meja belajar. Hampir saja dia memuntahkan makanannya. Nasi gorengnya memang sudah dingin, seperti baru keluar dari kulkas. Wajar, AC di kamarnya menyala. Hampir saja dia melempar makanannya ke tempat sampah kalau tidak teringat ancaman Syifa. Bisa saja dia berbohong dengan mengatakan sudah menghabiskannya, tapi dia tidak suka berbohong, terlebih kepada orang-orang yang disayanginya. Jadi dia memaksa diri dan melahap habis nasi goreng tersebut. Walaupun dingin, setidaknya itu nasi goreng kesukaannya dan rasanya enak.

Setelah menghabiskan sarapan, termasuk segelas jus jeruk, dia kembali fokus mengerjakan tugas kuliahnya. Pagi ini pun berjalan normal, tidak terjadi sesuatu yang aneh, malah cenderung membosankan. Namun dia tidak masalah dengan itu. Membosankan berarti semua baik-baik saja. Dan dia menyukai semua yang baik-baik saja.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status