Share

4. BLYTHE

Waktu sudah hampir menunjukkan pukul delapan. Blythe mengencangkan ikatan rambutnya. Rambutnya yang berwarna perak dan bola matanya yang biru membuat penampilannya sangat menonjol di antara ratusan mahasiswa di kampus ini. Di mana pun dia berjalan, banyak pasang mata melirik ke arahnya, sebagian merasa iri dan sebagian memujanya. Namun Blythe sudah terbiasa. She’s the perfect girl. Apa pun yang diinginkannya, semua pasti berlomba mewujudkannya.

Kemudian dia bertemu cowok itu, kepercayaan dirinya tercabik ketika cowok itu sama sekali tidak menatapnya saat mereka berbicara. Rasa penasarannya semakin bertambah ketika dia merasakan energi yang tidak biasa terasa di seluruh permukaan kulit cowok itu. Dia pun berusaha mendekatinya, namun entah mengapa, rasanya sulit sekali.

Seperti biasa, Blythe menunggu di dekat stasiun kereta tempat Dipa biasanya turun. Cowok itu tidak turun dari kereta yang biasa. Rasanya aneh, karena biasanya cowok itu sangat tepat waktu. Blythe memutuskan tetap menunggu di sana. Benar saja, dari kereta berikutnya, Dipa terlihat keluar dari stasiun.

“Hai,” sapanya tersenyum ramah.

“Oh, h-hai!” balas Dipa terkejut. Dia tidak berharap akan bertemu Blythe pagi ini, karena dia naik kereta yang berbeda dari biasanya.

“Tumben telat,” ucap gadis itu lagi. Walaupun penampilannya seperti orang asing, bahasa Indonesia-nya sangat lancar karena dia sudah berada di negara ini selama setahun terakhir.

Dipa mengangguk. “Tadi ada sedikit masalah.”

Blythe mengangguk. “Tapi untung saja sudah tidak kenapa-kenapa ya!”

“Bukan masalah besar kok!”

“Pagi, Blythe, Dipa!” tiba-tiba seseorang menyapa dari belakang mereka.

“Pagi,” balas Blythe sambil tersenyum ramah kepada dua cowok dan satu cewek teman sekelas di mata kuliah pagi ini.

“Kalian nggak buru-buru? Udah jam delapan lho!” ucap Binu, cowok bertubuh gempal dengan rambut setengah gondrong.

“Duluan, ya!” ucap Rijal, cowok berkulit putih dan berambut keriting.

“Iya, duluan aja!” jawab Blythe, sementara Dipa hanya mengangguk kepada mereka.

Ketika ketiga teman itu mulai menyeberang, tiba-tiba sudut mata Dipa menangkap motor yang melaju cukup kencang. Dipa yakin dua orang yang di depan pasti tidak akan kenapa-kenapa, namun Farah, yang berjalan agak lamban dan berada paling belakang, kemungkinan besar akan tertabrak.

“Fara−“ Dipa bermaksud memanggil temannya.

Kemudian, hanya dalam satu kedipan mata, Dipa mendapati Farah ternyata sudah berada di seberang jalan, berdiri di samping kedua cowok itu, wajahnya terlihat kebingungan. Motor itu melaju kencang di depan wajah Dipa.

Dipa kembali mengerjap, seolah tidak bisa memercayai penglihatannya. Dia yakin sekali sedetik yang lalu melihat Farah masih di tengah jalan. Tapi sekarang gadis itu sudah di seberang. Apakah mungkin hanya dalam sekajap gadis itu berlari cepat sampai ke seberang?

“Hei, kamu tidak apa-apa? Kita juga harus cepat! Nanti telat masuk kelas,” tegur Blythe.

Dipa menoleh dan menatap wajah gadis itu masih dengan terheran-heran. Kemudian dia menggeleng cepat. “A-aku nggak apa-apa,” balasnya.

“Kalau begitu kita harus lari juga agar sampai kelas tepat waktu!”

Dipa mengangguk. Tanpa banyak bicara dia melangkah cepat menyusul Blythe yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dia memutuskan untuk melupakan fakta membingungkan itu. Mungkin tadi itu bayangannya saja, bukan sesuatu yang aneh. Lagi pula, tidak ada siapa pun selain dirinya yang melihat kejadian itu. Jadi, lupakan saja.

*******

“Ya, nanti aku tunggu di rumah sakit aja, ya! Sore ini selepas kuliah aku akan mampir ke tempat Om Jaka. Oke, bye!” Syifa menutup telepon.

“Dari Dipa?” tanya Taeyang yang menggigit sumpitnya. Saat ini, seperti biasa mereka makan siang bersama di kantin.

“Iya,” balas Syifa, lalu melanjutkan menikmati ayam katsu yang jadi menu makan siangnya. Mereka sama-sama memutuskan untuk memesan menu masakan Jepang.

“Sebenarnya hubungan kalian itu bagaimana sih? Kok kayaknya nyaris setiap saat teleponan atau sms-an?” tanya cowok bermata sipit ini.

“Ng,” Syifa agak bingung menjelaskan hubungan mereka berdua, “kami saudara sepupu.”

“Ya, aku juga punya sepupu di Korea sana, tapi rasanya nggak seperti kalian.”

“Itu karena kalian berjauhan. Aku dan Dipa tinggal satu rumah, aku tinggal sama papanya Dipa. Kamu kan tahu kedua orangtuaku sudah meninggal. Cuma mereka keluarga yang aku miliki. Jadi, wajar kalau hubunganku dan Dipa sangat dekat. Kami sudah seperti saudara kandung,” jelas Syifa panjang-lebar.

Taeyang sedikit merasa tidak enak hati mendengar ucapan Syifa yang mengingatkan bahwa gadis itu sudah yatim piatu. “Sorry, aku nggak bermaksud membuat kamu sedih.”

Syifa menggeleng cepat. “Aku nggak apa-apa kok! Kedua orangtuaku sudah meninggal lima belas tahun yang lalu.”

Taeyang mengangguk, dia sudah tahu itu, tapi entah kenapa dia sering lupa. Tahun ini Syifa memasuki tahap klinik, dan bulan depan akan mulai berinteraksi dengan pasien sungguhan.

“Kamu jadi mau ke RSCM?” tanya Taeyang setelah kuliah selesai.

Syifa yang sedang merapikan buku-bukunya, hanya mengangguk.

“Naik apa?”

“Naik motor kayaknya sih! Sebenarnya sih paling cepat jalan kaki, soalnya bisa lawan arah, tapi kalau nanti aku balik lagi ke sini, capek banget. Jadi mending sekalian aja motornya dibawa.”

Taeyang mengangguk. “Hati-hati kalau begitu. Ingat ya, kalau kasih lampu sein ke kiri, jangan malah belok kanan.”

Syifa mencebik. “Ya iyalah, emangnya aku buta arah.”

Taeyang menyeringai. “Kirain kamu mulai pikun saking stres sama kuliah.”

“Itu kamu kali. Waktu itu aja lupa bawa tugas makalah ke kampus. Untung aja keluarga kamu punya orang yang bisa disuruh-suruh nganterin,” balas Syifa memeletkan lidah.

Taeyang tertawa, kemudian mengikuti Syifa berjalan keluar kelas. Ketika Syifa menuju parkiran motor, cowok itu masih mengikuti, sambil terus berceloteh tentang cuaca.

“Kamu yakin hari ini nggak bakalan hujan? Mendung begini lho!”

Syifa mendengkus. “Taeyang, kamu nggak ada pertanyaan lain yang lebih penting? Aku mana tahu hari ini bakalan hujan apa nggak.”

“Lho, waktu itu kamu bisa tahu kalau bakalan hujan.”

“Just a lucky guess!” Syifa merasa lelah juga, karena setelah kejadian itu nyaris setiap hari dia ditanya-tanya tentang cuaca.

Taeyang murid pindahan dari Korea pada tahun kedua perkuliahan. Mereka baru berteman dua tahun ini. Biasanya Syifa tidak pernah membicarakan tentang cuaca, dia hanya memikirkannya dalam hati saja. Entah kenapa saat itu dia keceplosan.

“Lagi pula, Taeyang, bukannya parkiran mobil arahnya ke sana ya? Kamu ngapain ngikutin aku?” Syifa mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya, aku hanya mau nganterin kamu aja. Biar yakin kalau kamu nggak kehujanan di tengah jalan.”

Syifa tertawa pelan. “Ih, apaan sih, lebay.”

Tapi setelah itu, tak lama mereka sudah saling berpamitan. Syifa mengendarai motornya menuju rumah sakit dengan jalan sedikit memutar. Setelah memarkir motor, dia menelepon Pak Jaka untuk menanyakan posisi beliau.

“Om sedang di gedung A, nengok pasien. Kamu mau ke sini?”

“Oh boleh, Om. Lantai berapa?”

“Lantai lima.”

“Oke, Syifa ke sana, Om.”

Lima belas menit kemudian, Syifa sudah sampai di kamar rawat tempat Pak Jaka sedang memeriksa pasien. Spesialisasi yang diambil Pak Jaka adalah penyakit dalam. Pasien ini wanita berusia akhir 50 tahunan. Wanita ini dirawat karena maag kronis yang membuatnya tidak bisa menerima makanan sama sekali tanpa memuntahkannya kembali. Karena sudah berlangsung lebih dari sehari, pasien ini pun menderita dehidrasi yang cukup parah.

Syifa memakai jaket putih khas dokter, hanya agar tidak membuat pasien bertanya macam-macam selain memaklumi dirinya mahasiswa kedokteran yang masih belajar.

Pak Jaka terlihat seperti sedang melontarkan beberapa pertanyaan kepada sang pasien. Apakah masih merasa mual, masih pusing, ataupun sakit kepala. Beliau juga memeriksa data yang sudah dicatat perawat sejak terakhir kali beliau mengecek kemarin sore.

“Kira-kira kapan saya bisa pulang ya, Dok?” tanya sang pasien.

Pak Jaka tidak langsung menjawab, beliau masih menimbang-nimbang kondisi pasien. “Ibu baru di sini dua hari. Tunggu hasil cek darah ya, Bu. Ibu memang sudah merasa segar, tapi dari laporan, setiap malam suhu tubuh Ibu meninggi. Selain itu, Ibu masih sakit kepala dan pusing. Kita tunggu besok ya, Bu, saya beri obat tambahan untuk menghilangkan pusing dan sakit kepalanya. Ibu pernah endoskopi?”

“Endoskopi, Dok?”

“Ya, tindakan nonbedah yang digunakan untuk memeriksa saluran pencernaan dari dalam. Biasanya dengan menggunakan tabung lentur dengan kamera yang melekat pada salah satu ujungnya. Dari sana akan terlihat kondisi lambung Ibu dari dalam.”

“Apakah sangat perlu? Kedengarannya mahal, Dok!”

“Perlu, Ibu. Tapi ini sekali lagi keputusan Ibu untuk menjalaninya atau tidak. Hanya saja dengan endoskopi akan lebih memudahkan untuk tindakan pengobatan pada lambung Ibu.”

Wajah ibu itu terlihat murung, seperti berpikir keras. Sementara itu Syifa sibuk memeriksa cairan infus , data yang sudah masuk, serta hasil lab. Semua terlihat normal, namun entah kenapa ibu itu masih merasa pusing dan sakit kepala, dan malamnya meriang.

Mungkin ini saatnya dia menggunakan kemampuannya. Syifa menarik napas dalam, kemudian memusatkannya ke dasar perut. Seketika indranya bertambah tajam, dan bisa merasakan semua jenis cairan yang mengapung di udara, bahkan di tubuh makhluk hidup di dekatnya. Dia mulai fokus untuk merasakan kondisi cairan dalam tubuh pasien.

Sudah sejak dulu dia bisa merasakan semua cairan itu, hanya saja dia baru bisa mengenali semuanya ketika mulai mempelajarinya di bangku kuliah sekarang. Itu pun belum semua mampu dia identifikasikan. Tapi sekarang … sepertinya dia mulai mengerti letak permasalahannya.

“Dokter, maaf, kalau tidak keberatan mungkin bisa dilihat dari hasil lab yang ini,” ucap Syifa. Sekali lagi, agar pasien tidak berasumsi, dia memakai bahasa formal dengan Pak Jaka.

Jaka mengangguk dan mendengar penjelasan Syifa dengan saksama. Sebenarnya hasil lab hanya menyajikan data tentang kondisi pencernaan. Syifa memakainya hanya demi menutup kemampuannya di mata pasien.

“Ada kemungkinan pasien terkena Thypus Abdominalis, terlihat dari ciri-cirinya yang demam di malam hari, namun siang harinya demamnya menurun. Tapi tetap harus dilihat dari hasil labnya, dok, untuk memastikan.” Syifa terus mengungkapkan teorinya yang didengarkan oleh Pak Jaka dengan teliti.

“Bagus, kamu akan saya beri nilai A untuk kejelian,” ucap Jaka setelah Syifa selesai mengeluarkan diagnosisnya.

Satu masalah selesai, Pak Jaka pun beralih ke ruang rawat berikutnya di lantai yang sama. Syifa terus mengikuti. Dia sangat menikmati aktivitas yang sedang dijalaninya saat ini. Tanpa terasa matahari sudah hampir terbenam, dan tahu-tahu Dipa menelepon.

Syifa pun pamit untuk pulang terlebih dulu. Jaka mengangguk dan hanya titip pesan agar Dipa langsung diminta membereskan pakaian yang akan dibawa untuk perjalanan esok pagi. Beliau sendiri akan pulang nanti, karena masih ada yang harus dikerjakannya.

Syifa menunggu Dipa di parkiran motor. Lima menit kemudian, cowok itu sudah menampakkan batang hidungnya.

“Kamu jalan kaki?” tanyanya ketika melihat sepupunya bermandi keringat.

Dipa hanya mengangguk, menerima helm yang diberikan Syifa.

“Padahal dari depan stasiun ada kopaja. Kamu naik itu aja. Cuma bayar dua ribu, daripada jalan kaki begitu.”

“Rame yang naik!” jawab Dipa singkat.

Ah, Syifa lupa. Adiknya ini lebih baik capek jalan kaki daripada harus berimpitan dengan orang asing dalam kendaraan umum.

“Ya udah, naik yuk! Sebentar lagi maghrib. Kamu mau makan apa malam ini?” tanya Syifa mulai menyalakan motor.

“Ayam goreng.”

Syifa terkekeh, selera makanan adiknya benar-benar bisa ditebak karena tidak suka macam-macam. Dia menjalankan motornya keluar dari tempat parkir, melaju di jalan raya, membelah kemacetan yang bertepatan dengan jam pulang kantor. Tipikal sore hari di kota besar.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status