Share

3. Gadis Asing

“Aku nggak mau ikut,” ucap cowok berkacamata dengan tinggi 179 cm ini.

“Kamu harus ikut, karena semuanya ikut. Kamu akan sendirian di rumah,” Pak Jaka terlihat gusar dengan kekeraskepalaan putra sulungnya ini.

“Nggak apa-apa. Aku sudah besar, sudah kuliah, bisa urus diri sendiri.”

“Ya, yang ada kamu nggak makan tiga hari, cuma minum air putih aja,” timpal Syifa. Dia sudah selesai makan dan baru saja membawa piring kotor ke bak cuci piring.

“Nggak makan nggak akan mati.”

“Nggak akan mati, tapi habis itu kamu harus dirawat di rumah sakit. Tangan kamu diinfus, ditusuk jarum. Mau?” ucap Syifa lagi, merasa sangat gemas dengan adik sepupunya ini.

“Itu nggak akan terjadi. Aku akan baik-baik saja.”

“Dipa Arya!” Pak Jaka menarik napas dalam-dalam, “Kamu kenapa sih, segitu tidak maunya bertemu kakek-nenekmu? Di sana kamu bisa bertemu sepupu yang lain. Kamu pasti akan senang bertemu banyak saudara.”

“Aku nggak mengenal mereka, jadi kenapa Papa berpikir aku akan senang bertemu mereka?”

“Sudahlah. Suka atau tidak suka, pokoknya kamu harus ikut. Akhir pekan ini kita berangkat! Tidak ada tapi-tapian atau alasan apa pun!” Keputusan Pak Jaka tak bisa dibantah.

“Kalau begitu, sejak awal untuk apa Papa bertanya? Papa tinggal bilang Jumat ini kita berangkat pukul sekian, kalian harus siap.”

“Dipaaa!” keluh Syifa yang ikutan stres dengan kelakuan sepupunya ini, “Sejak awal Om Jaka memang bilang begitu. Kamunya aja yang terlalu defensif! Belum selesai bicara sudah kamu potong nggak mau ikut! Udah gitu pakai ngotot lagi!”

Bibir cowok berkulit sawo matang ini mengerucut, merasa malu karena sadar sudah bersikap bodoh dan keras kepala.

“Kalau begitu kita nggak usah datang aja sekalian. Biasanya juga kita nggak pernah datang. Kenapa sekarang harus repot-repot datang?” ucap Dipa lagi.

“Justru karena tahun-tahun kemarin kita tidak datang, tahun ini harus datang. Tahun ini sangat penting, karena ada pembagian warisan yang harus diurus. Papa diancam Pak De Irwan harus datang tahun ini,” jelas Pak Jaka sambil membetulkan kacamatanya yang melorot.

Secara keseluruhan, wajahh Dipa mirip ibunya. Tapi karena dia dan Pak Jaka sama-sama memakai kacamata dan postur mereka mirip jika dilihat dari belakang, meskipun Dipa lebih tinggi lima sentimeter, orang yang melihatnya pertama kali pasti mengatakan Dipa mirip dengan Pak Jaka.

Akhirnya setelah berdebat panjang, Dipa tidak bisa menolak untuk tidak ikut. Selesai sarapan dia segera bersiap-siap berangkat kuliah pagi. Dia diantar Pak Jaka yang kebetulan akan berangkat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dekat Stasiun Cikini. Dipa pun turun di Metropole. Dari sana dia berjalan kaki, sementara Pak Jaka meneruskan menuju rumah sakit.

Jalanan pagi ini sudah cukup ramai, di beberapa titik terbentuk kemacetan, namun cepat terurai kembali. Dipa berjalan bersama orang-orang lain menuju stasiun. Ranselnya cukup berat, karena berisi laptop dan beberapa buku kuliah yang cukup tebal.

Dia merasa mendengar dering telepon, tapi tidak menemukan teleponnya di saku jaket maupun celana. Dia baru ingat kalau tadi sebelum turun dari mobil, dia memasukkan teleponnya ke ransel.

Dia melepaskan satu tali ransel dan menariknya ke depan tubuh untuk mencari telepon. Isi tasnya banyak sekali, sehingga agak sulit baginya menemukan yang dicarinya. Terpaksa dia meletakkan tasnya di jalan, kemudian berjongkok untuk mencari. Telepon genggamnya berada di dasar ransel, tertumpuk buku-bukunya. Begitu dia menariknya, panggilan itu terhenti.

Dari Syifa, dia membaca sebaris nama di layar telepon genggam. Ada apa kakak sepupunya itu menelepon? Dipa pun menekan tombol panggil, seraya bangkit sementara tasnya masih tergeletak di jalan. Orang-orang melewatinya yang berdiri di tengah trotoar. Tak lama telepon diangkat.

“Halo, Syifa, ada apa?” tanyanya sambil memunggungi ransel.

Tiba-tiba seseorang menyambar ransel itu dan membawanya kabur. Awalnya Dipa hanya diam mematung, lalu tersadar orang itu pencuri.

“Dipa, bekal kamu ketinggalan,” ucap Syifa di seberang telepon.

Dipa sama sekali tidak mendengarnya, karena detik berikutnya dia berseru kencang. “Pencuri!” Dengan agak kerepotan, dia memasukkan telepon genggamnya ke saku celana dan langsung berlari mengejar pencuri itu. “Pencuri!” serunya lagi sambil mengerahkan seluruh volume udara di rongga dadanya.

Namun bukannya menolong, orang-orang yang lewat kebanyakan hanya berhenti berjalan dan menoleh untuk menonton Dipa tunggang-langgang mengejar pencuri itu.

Dada Dipa terasa sesak. Dia tidak pernah menyukai olah raga, jadi berlari seperti ini benar-benar di luar batas kemampuannya. Belum lagi dia sampai menginjak tali sepatu sendiri, sehingga jatuh terjerembap. Hidungnya berdarah karena menghantam jalanan, tapi sakit yang dirasakannya tidak seberapa dibandingkan malu yang dirasakannya. Tentu saja banyak orang yang melihatnya terjatuh menertawakan dirinya.

Pencuri yang berpenampilan seperti mahasiswa itu semakin jauh dan nyaris lenyap di belokan. Jika saja dia berjalan santai sambil membawa ransel Dipa, tidak akan ada yang mengira itu tas curian. Tapi, kenapa tidak ada satu pun yang menolong Dipa? Apakah orang-orang sudah tidak memiliki perasaan empati lagi di dunia ini? Atau itu lebih disebabkan karena Dipa laki-laki?

Dipa berusaha bangkit dan kembali berlari. Dia tidak bisa berteriak karena dadanya sesak sekali. Ketika dia nyaris pingsan, dari balik kacamatanya yang tertutup embun napasnya sendiri, dia melihat seseorang berlari melewatinya dan mengejar pencuri itu.

Entah itu hanya khayalannya atau bukan, langkah kaki gadis pengejar itu sangat ringan dan lebar. Dengan cepat, dia sudah berada di belakang si pencuri dan menjegalnya.

Dipa bangkit dari tanah, membetulkan letak kacamatanya agar dapat melihat lebih jelas apa yang terjadi. Dia berlari mendekati gadis itu. Sialnya, setelah tas berhasil direnggut, si pencuri kabur. Namun kali ini, gadis itu tidak repot-repot mengejar.

“I got your bag,” ucapnya dengan logat India yang kental.

Dipa terdiam beberapa saat. Matanya tidak bisa berkedip melihat kecantikan yang ada di depannya saat ini. Mata gadis itu bulat indah, berwarna hijau zaitun dan bulu matanya lentik. Kulitnya yang cokelat tampak berkilau sehat, hidungnya mancung dan bibirnya tebal. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang dibiarkan tergerai di punggung. Bahkan angin bertiup nakal memainkan beberapa helai rambutnya, hingga menyentuh lembut wajah Dipa, dan dia pun mencium aroma lavender dari perempuan itu.

“Hei-hei!”

Dipa terkejut ketika gadis itu menjentikkan jemari di depan wajahnya. Kesadarannya langsung kembali, Dipa merasa malu baru saja melakukan hal yang benar-benar bodoh.

“Kenapa kamu membiarkan pencuri itu kabur?” sergahnya. “Kita harus membawanya ke kantor polisi. Apa kamu nggak mengerti?”

Sesaat gadis itu terheran-heran melihat reaksi Dipa. “Well, I got your bag. Bukankah itu yang paling penting?”

Dipa mencebik. “Aku bisa melakukannya sendiri. Aku nggak butuh bantuanmu!” balasnya seraya mengambil tas itu dari tangan si gadis.

Gadis itu terkejut melihat sikap Dipa yang kurang ajar. “Oh ya? Aku juga yakin kok kamu pasti bisa mengejar pencuri itu sendiri, kalau saja kamu tidak pura-pura terjatuh sampai menghantam wajahmu sendiri begitu!” balas gadis itu sarkastis.

Dipa mengerutkan alis. Dia tahu sikapnya tidak sopan, tapi tetap saja mendengar gadis itu bicara ketus kepadanya membuatnya kesal.

“Ya, aku bisa mengurus diriku sendiri. Dan sekarang kalau nggak ada hal penting lainnya, aku harus pergi. Aku bisa ketinggalan kereta kalau begini!” Dipa berbalik. Dia tidak bisa berlama-lama berada di dekat gadis itu, detak jantungnya membuatnya sesak napas.

Namun belum lagi dia melangkah, tubuhnya sudah dihalangi gadis itu. Dipa sempat heran bagaimana gadis itu bisa bergerak begitu cepat.

“Not so fast, hot shot! Kamu boleh saja merasa tidak memerlukan bantuanku. Tapi aku paling tidak suka melihat orang sok, lemah badannya tapi tidak tahu terima kasih kayak kamu. Okelah salahku karena sudah membiarkan pencuri itu pergi begitu saja. Tapi mau kamu akui atau tidak, aku telah membantumu mendapatkan kembali tas itu! Dan aku tidak tahu bagaimana caramu dibesarkan, tapi aku yakin sekali ibumu pasti mengajarkanmu mengucapkan terima kasih dan bukan main kabur begitu sa−“

Ucapan gadis itu langsung terhenti ketika kedua tangan Dipa menutup mulutnya. Namun bukannya kesal, gadis itu terdiam ketika merasakan aliran listrik mengalir saat kulit mereka bersentuhan. Matanya terbelalak menatap wajah cowok di depannya, yang juga sedang memandang dirinya.

Dipa sendiri tidak bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ada ketertarikan yang dia rasakan ketika kulit mereka bersentuhan dan itu membuatnya terpaku. Seperti orang bodoh, dia hanya terdiam menatap wajah gadis itu. Apalagi ketika mata mereka bertatapan.

Setelah beberapa saat yang cukup lama, kedua tangan gadis itu menepis tangan Dipa dari mulutnya.

“Apa yang baru saja kamu lakukan?” omelnya. Untung saja kulitnya cokelat, sehingga Dipa tidak menyadari kalau wajahnya terasa panas saat ini.

“So-sorry, aku nggak bermaksud−“ Namun Dipa tidak bisa menyelesaikan ucapannya sendiri. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.

Gadis itu bergerak salah tingkah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dipa ingin sekali mengatakan sesuatu, namun lidahnya kaku. Akhirnya dia berbalik, sedetik lagi berada di dekat gadis itu, entah apa yang akan dilakukan olehnya. Tapi kali ini dia tidak lupa berkata, “Te-terima kasih.”

Dipa melangkah cepat, jantungnya masih berdegup kencang, getaran itu masih terasa olehnya. Bukan berarti dia tidak pernah menyentuh seorang gadis selain Syifa. Dia pernah bersalaman dengan bu guru atau teman-teman wanitanya di sekolah dan kampus. Namun bersentuhan dengan gadis itu terasa berbeda. Bayangan gadis itu terus berputar-putar dalam ingatannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Oh, sial! Dia sama sekali lupa menanyakan namanya.

Bodoh-bodoh-bodoh! makinya dalam hati. Dia berbalik, berharap masih melihat gadis itu. Namun gadis itu sudah tidak ada di sana. Entah kenapa Dipa merasa kecewa.

Dia menarik napas dalam-dalam, mungkin takdir mereka memang hanya sampai di sana. Kemudian dia melangkah kembali. Dia sudah ketinggalan kereta jam tujuh dan sebaiknya tidak ketinggalan kereta selanjutnya, karena bisa-bisa dia terlambat masuk kuliah pagi ini. Diam-diam, di sudut hati dia berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu.[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status