"Abigail Godfrey!" teriak Damon yang tiba-tiba muncul di depan pintu kedai.
Ia kemudian menghampiri Abby dan memeluknya sambil berkata, "aku tak menyangka bisa bertemu denganmu hari ini," katanya sambil melepaskan pelukan kemudian menggenggam erat kedua pundak Abby. "Kau tau, aku bahkan sudah lupa berapa lama kita tidak berjumpa."
Abby yang terkejut hanya bisa pasrah sambil tertawa. Katanya, "aku juga senang bisa berkumpul bersama kalian berdua disini."
Tak bisa kupungkiri, apa yang dilihat oleh kedua mataku saat ini adalah momen yang bisa dikatakan membuatku bahagia. Kami bertiga sudah berteman sejak masa SMA dan baru sekarang kami berkumpul lagi.
"Sudah, hentikan drama berlebihanmu itu," seruku kepada Damon. "Kau mau pesan apa? Dan Abby?"
"Kebetulan aku baru saja selesai makan, jadi aku pesan a
Sungguh tak bisa kubayangkan, sekarang aku sedang duduk di atas sofa empuk berwarna krem, di dalam apartemen seseorang yang dulu pernah sangat kucintai dengan segenap jiwa dan raga. Seseorang yang kayaking adalah cinta sejatiku, yang sekarang hanya sebatas teman yang datang dari masa lalu yang entah di mana ia meletakan mesin waktunya.Abby kembali dari arah dapur dan menghampiriku sambil membawa dua cangkir berisi cokelat panas."Ini, Syd. Minumlah selagi masih hangat," ucapnya dengan lembut seperti biasa.Pembawaan Abby memang seperti itu dari dulu. Tutur bahasanya yang lembut dengan mimik wajah yang bisa membuatmu merasa nyaman. Sekalipun ia sedang marah, ia tak pernah mengeluarkan kata tak pantas ataupun tak sopan. Justru jika ia sedang emosi, aku paling senang mengejeknya. Itu seperti sebuah kepuasan tersendiri jika melihat seseorang yang kau cintai makin 'ngambek' karena ke
Dengan cepat kuangkat tubuhnya kemudian ku naikan ke atas meja wastafel berwarna cokelat muda yang terbuat dari bahan marmer. Kuciumi setiap lekuk tubuhnya dari atas sampai bawah, tak ada satupun yang kulewati. Aku berhenti sebentar di antara selangkangannya. Abby terlihat sangat menikmati, sambil kedua tangannya meraih kepala dan mencengkram rambutku. Tubuhnya menggelinjang dengan hebat ketika dengan paksa aku menaikan kedua kakinya diatas meja sehingga kini terbuka lebar. "Sydney, don't stop! Aaaaaahhh!" erangnya dengan nyaring. Abby memang termasuk orang yang sangat ribut jika sedang dalam keadaan seperti ini. Suara desahan dan erangannya bisa membuatku makin menggila. Untung saja kami di dalam kamar mandi, sementara di luar sedang hujan deras. Jadi ku rasa, tak ada yang bisa mendengar suara kami. Dengan cekatan aku terus melangsungkan aksiku hingga Abby menjerit samb
"Oh, iya aku ingat. Yang waktu itu di mall, kan?" tanyaku kembali. "Jadi kau sudah kembali ke apartemenmu?""Iya, aku sudah kembali. Kapan kita bisa bertemu, Syd? Aku kangen." Virgie merengek."Kebetulan hari ini aku tidak masuk kerja karena bangun kesiangan. Tapi, nanti akan kuusahakan ke tempatmu, ya?""Kok hanya diusahakan sih? Kau tidak kangen padaku, ya?" ucapnya dengan nada manja."Tentu saja aku kangen, rasanya sudah seperti setahun tidak bertemu denganmu.""Makanya kalau kangen ya datang, Syd …." pintanya."Iya …, sore saja aku ke sana, ya?""Oke, Syd. Awas ya kalau tidak datang, kita putus pokoknya," ancamnya.Tak pernah terlintas di benakku gadis ini akan membuang kata seperti itu. Ak
Sebenarnya, apa yang kupikirkan? Semalam aku bersama Abby, dan sekarang bersama dengan wanita lain. Apa aku sebrengsek ini? Gumamku dalam hati sembari masih menciumi Virgie. Ketika sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba ponsel yang ada dalam kantong celanaku bergetar tak henti-hentinya. Sempat kuabaikan, tapi ponselku terus saja bergetar."Sebentar, Vi. Aku harus mengangkat ini. Seperti ini telpon penting, makanya benda ini tak berhenti 'mengoceh' di dalam kantong celanaku daritadi," ujarku mencoba meyakinkan Virgie sambil merogoh ke dalam kantong celana untu mengeluarkan ponsel.Ternyata Mommy yang menghubungiku. Tanpa mengindahkan wanita yang ada di depanku sekarang, aku langsung berlalu tanpa bicara untuk menjawab panggilan itu."Halo, Mom? Maaf tadi aku agak sibuk, jadi tidak bisa menjawab telpon Mommy.""Tidak apa-apa, nak. Apa sekarang masih
John Lucas Ellis. Lelaki yang dulu pernah sangat kusayangi namun perasaanku berubah seratus delapan puluh derajat ketika John memutuskan untuk pergi meninggalkan aku, Mommy dan Aiden saat umurku masih enam tahun. John tipikal ayah yang sangat mencintai keluarganya. Ia adalah sosok seorang ayah yang sangat perhatian dan bahkan terlalu memanjakan anak-anaknya. Namun sosok itu hilang tiba-tiba saat ia pamit untuk kerja saat Aiden masih berumur tiga tahun. Waktu itu aku belum terlalu mengerti dengan permasalahan keluarga, namun secara tidak sengaja aku pernah sempat mendengar pembicaraan telpon Mommy dan John ketika aku tiba-tiba terbangun tengah malam. Sebelumnya aku tidak pernah menaruh curiga dengan kepergian John, aku hanya sering merasa heran jika melihat Mommy menangis terisak di dalam kamarnya. Namun, betapa terkejutnya aku ketika mendeng
Bekerja sebagai karyawan di pengeboran minyak, bisa dibilang adalah pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa. Terkadang pekerjaan pekerjaan ini bisa dibilang seperti 'menjemput kematian sendiri', karena sudah pasti para pekerja ini secara tidak langsung sudah menabur benih kematiannya lebih cepat. Namun bagi sebagian orang, ini adalah pekerjaan yang menjanjikan bagi keluarga yang mereka sayangi.Terlihat jelas di video ini semua penderitaan ayahku yang selama ini berjuang demi keluarga yang sangat dicintainya. Seperti dalam pesan yang dikirim Mommy, kilang minyak tersebut mengalami kebakaran yang cukup besar sehingga memakan korban yang cukup banyak. Dan salah satunya adalah ayahku. delapan puluh persen kulit tubuhnya melepuh karena dilalap api ketika hendak mencoba menyelamatkan diri.Aku tak kuasa menahan tangis, aku menangis sejadi-jad
Aku tak mengerti dengan apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Jauh didalam lubuk hatiku, aku sangat ingin bertemu dengan ayahku. Aku sangat berharap bisa berada disisinya di saat-saat terakhir di hidupnya.Waktu menunjukan pukul dua lebih sepuluh menit. Aku bahkan tidak menghabiskan waktu istirahatku, hanya duduk merokok saja di belakang cafe sambil berpikir. Andrew dan Janice beberapa kali menanyaiku, namun aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Bahkan untuk mengobrol saja aku seperti tidak memiliki gairah."Hey, ini jam kerja! Jangan hanya bengong saja kau! Masih banyak orderan yang harus segera diselesaikan!" bentak Bastian yang tiba-tiba muncul di belakangku.Mood-ku memang sedang hancur, tapi sejauh ini kesabaran
Dari sini sudah bisa kupastikan apa yang ada di pikiran Abby. Aku hanya tersenyum simpul melihat kelakuan Bastian yang berusaha membuat Abby terkesan.Setelah selesai memanaskan susu, Bastian menghentak-hentakkan jug yang berisi susu yang panas tadi agar busanya sedikit turun, dengan tujuan supaya menghasilkan latte art yang sempurna, ia bertanya, "kau mau kubuatkan gambar apa, Ab?"Abby menatapku sambil mengernyitkan dahi dengan pandangan aneh kemudian mengangkat alisnya seperti sedang bertanya. Dari belakang punggung Bastian aku memberikan isyarat bibir agar ia menyampaikannya kepada Bastian.'R-O-S-E-