Tiba-tiba saja, rapat direksi diadakan. Dalam waktu satu jam setelah perdebatan di lantai lima tadi, seluruh penghuni lantai itu sudah duduk di meja rapat. Berikut para sekretaris atau asisten pribadi masing-masing. Agenda rapat hari ini tentu untuk membahas kelakuan CEO, sekaligus anak pemilik perusahaan.
Lydia amat sangat bersyukur karena mantan mertuanya sudah menetap di Denmark dan tidak diikutkan rapat. Alasannya sederhana, di sana hari masih malam dan semua orang pastinya masih tidur. Kalau mereka sampai ikut, masalahnya akan menjadi makin pelik. Masalah kali ini sudah sangat pelik, jadi tidak perlu lagi ditambahkan masalah lain. Terutama fakta soal Lydia dan Reino yang adalah suami istri. Atau tepatnya mantan suami istri “Jadi bisa jelaskan kenapa bisa ada masalah seperti ini Reino?” tanya Pak Fendi yang terlihat paling tenang. Mungkin karena usianya yang sudah matang, membuat pria itu senantiasa tenang.“Tadi Pak Reino ngomong apa di depan semua orang?” hardik Lydia begitu sampai di ruangan bosnya itu. Lydia tidak perlu lagi khawatir soal kamera pengawas karena Hadi dan orang-orangnya sudah membersihkan semua benda itu. Dia kini bisa melakukan apa pun dengan bebas. “Hanya itu yang bisa kupikirkan. Atau kau mau membeberkan kontrak itu?” geram Reino marah. Reino saat ini sudah sangat kesal gara-gara kasus tidak masuk akal ini. Tapi lihatlah Lydia kini membuat emosinya makin menjadi. “Ya. Gak gitu juga kali, Pak. Nanti saya malah dicap yang aneh-aneh,” seru Lydia frustasi. Yeah. Manusia dan kecurigaannya. Setelah ini pasti banyak orang yang akan mencurigai Lydia masuk ke PT. Linder karena orang dalam. Atau bisa jadi asisten Reino karena hubungan mereka. Bisa jadi Lydia malah dituduh tidur dengan Reino, walau itu tidak salah sih. “Jadi kau ada ide lebih cemerla
Pada akhirnya Viktor sebagai kuasa hukum yang menyelesaikan semua masalah. Tidak instan memang, tapi katanya masih bisa diatasi. Dan pria itu juga meminta Reino memberi klarifikasi. Karena itulah kini Lydia sibuk mengatur konfrensi pers. “Ugh, padahal aku pikir hari ini bisa pulang cepat,” Lydia mengeluh karena kegiatan itu dilakukan pada malam hari. Padahal kan bisa dilakukan besok. Dan karena kejadian ini juga tersebar ke mana-mana, Liani jadi panik menelepon anaknya. Ibu Lydia itu bahkan sampai menelepon ke kantor, membuat Lydia menjelasakan dengan terburu-buru. Dia bahkan harus melapor tiap beberapa jam sekali dan itu membuat Lydia sakit kepala. Sakit kepala Lydia makin menjadi ketika menyadari tatapan orang-orang padanya. Pastinya ini semua gara-gara Polar Bear dan mulut sialannya itu. Untung saja dia sibuk dan tidak terlalu memperhatikan tatapan menusuk itu. “Belum pulang, Lyd?” Lydia mendonggak melihat orang yang menyapanya saat hendak masuk ke
Warning! 21+. Feel free to skip. “Sekarang buka.” Lydia membeku ditempat ketika mendengar ucapan Reino itu. Dia amat sangat paham apa yang dimaksud pria itu Tapi karena saking gugupnya, Lydia malah bertanya balik. “A... apa yang... dibuka?” “Kau tahu apa yang kumaksud,” geram Reino terdengar jelas karena suara dari luar sama sekali tidak terdengar. Sepertinya ruangan itu benar-benar kedap suara. Lydia yang masih saja gugup, membuat Reino merasa makin kesal saja. Dan karena wanita kurus itu masih berdiri dekat pintu, Reino memintanya mendekat hanya dengan gerakan tangan. Dan entah apa yang terjadi, tubuh Lydia seperti bergerak sendiri. Pikirannya mengatakan dia tidak boleh mendekat, tapi kakinya melangkah dengan pelan untuk medekati Reino. Lydia berhenti tepat di selangkah di depan pria arogan itu. “Buka,” perintah Reino sekali lagi. Lydia ingin sekali menolak dengan berbagai alasan yang sudah dia rangkai di otaknya, tapi yang terjadi ma
Masih ada adegan 21+, tapi cuma dikit di bagian pertengahan. Kalau mau skip, dibagian situ boleh.***“Maaf, Pak. Ruangan ini tidak bisa asal dimasuki,” seorang pegawai club itu menghalangi para polisi yang berkerumun di depan pintu. Yeah. Club malam yang tidak pernah dirazia polisi dan satpol pp, tiba-tiba saja didatangi. Parahnya mereka memaksa untuk memeriksa setiap ruangan yang ada, termasuk ruangan VVIP private yang disewa Reino. “Buka saja. Kalau tidak kamu bisa kena masalah,” jawab salah seorang polisi. “Maaf, Pak. Justru saya bisa kena masalah kalau anda memaksa,” pegawai itu meringis mendengar polisi tadi. Dan yeah. Para kumpulan penegak hukum itu menerobos masuk begitu saja. “Astaga!” teriak beberapa orang. Reino yang mendengar suara itu, segera menarik Lydia ke pelukannya dan berbalik memunggungi orang-orang itu. Lydia yang t
“Hah.” Entah sudah berapa kali Lydia menghela napas hari ini. Ini bahkan belum jam makan siang, tapi rasanya Lydia sudah sangat lelah. Dan ini semua gara-gara Reino Andersen, si Polar Bear mesum tukang cari masalah. Semua gara-gara omongannya saat rapat darurat kemarin. Gara-gara pengakuan yang asal diucapkan pria itu, Lydia jadi target gosip. Ya. Target gosip. Sudah sejak dia menjejakkan kaki di kantor pagi ini, Lydia bisa melihat orang memandanginya. Bahkan ada beberapa yang berbisik di depannya. Ada juga yang menyindir terang-terangan. “Pantas dia bisa tiba-tiba jadi asisten padahal sudah ada Pak Hadi.” “Yeah. Aku juga gak tahu apa yang dilihat Pak Reino dari perempuan kurus seperti dia. Mungkin kalau di ranjang dia liar.” Lydia kembali menghela napas ketika mendengar kalimat itu. Dia langsung berbalik dan menemukan dua orang yang ber
“Selamat pagi menjelang siang semuanya,” Lydia menyapa orang-orang di ruangan marketing. Selepas memberitahu asisten Thalita (yang kini beralih jadi asistennya), tentang beberapa hal soal pekerjaan yang harus di kerjakan, Lydia pergi ke divisi marketing untuk mulai menjalankan tugas dari Reino. Dan sesuai dugaan. Lebih banyak mata yang memandang Lydia dengan tatapan tidak suka. Sebagian besar berasal dari para wanita dan terutama dari tim dua. “Sesuai perintah dari Pak Reino, saya akan melakukan sedikit evaluasi di divisi marketing kantor pusat kita. Sekalian juga menangani komplain yang berkepanjangan.” Walau tatapan yang tertuju padanya agak membuat salah tingkah, Lydia tetap berusaha untuk tenang. Dia perlu segera menyelesaikan tugas ini jika ingin hidup tenang. “Apanya yang mau dievaluasi dari timku? Performa kami baik-baik saja,” tanya Manajer Marketing terlihat marah. “Maaf. Saya hanya menjalankan perintah dari Pak Reino. Untuk lebih jelasny
“Lydia kan?” Lydia berbalik ketika mendengar namanya. Dia cukup terkejut melihat Viktor ada di minimarket kecil seperti ini. Lydia pikir orang kaya dengan gaya parlente seperti Viktor hanya akan mengunjungi supermarket besar yang mewah. “Sepertinya ini masih jam kerja deh. Kok kamu bisa ada di sini?” tanya Viktor dengan kening berkerut. “Saya sedang kunjungan lapangan, Pak. Mau mengurusi beberapa komplain yang belum terselesaikan,” jawab Lydia dengan ringisan pelan. “Kamu yang turun tangan sendiri? Kiraiin ada tim untuk ini?” “Karena komplainnya gak kunjung selesai, saya disuruh turun tangan langsung.” Viktor mengangguk mengerti. Dan karena Lydia mengatakan masih menunggu manajer toko, Viktor mengajak Lydia untuk menemaninya belanja. Dan karena memang tidak ada yang dia lakukan selagi menunggu, Lydia mengiyakan saja. “Aku tidak menyangka
“Mau Mama pijitin?” “Loh, Mama? Kok belum tidur sih?” Lydia yang berbaring dengan menatap tablet, langsung berdiri menyambut ibunya. Liani membawa nampan kecil berisi susu vanila hangat. Lydia segera meraih nampan itu untuk diletakan di atas nakas. Lianilah yang kemudian mengambil gelasnya dan meminta anaknya untuk minum susu dulu. Lydia meminum susunya tanpa protes. Dia baru protes ketika sang ibu mulai memijat bahunya yang memang terasa kaku akibat terlalu lama kerja. “Mama,” Lydia menyingkirkan tangan Liani dengan lembut. “Mama ngapain sih?” “Mijitin kamu lah. Belakangan ini kan kamu lembur terus, pasti capek banget.” “Capek sih, Ma. Tapi bukan berarti Mama harus mijitin aku dong. Mama kan habis operasi, jadi harus banyak istirahat.” “Tapi kamu jadi makin sibuk pasti gara-gara biaya rumah sakit kan?” tanya Liani yang hanya bisa dijawa