Kepala Reino berdenyut kencang. Tidak ada satu pun pekerjaannya yang beres hari ini. Dan itu semua karena asisten barunya. Ya, benar. Semua karena Lydia. Andaikata perempuan itu tidak menolaknya lagi, Reino yakin kerjaannya tidak akan berantakan andaikata tidak ada penolakan. Sebab salah satu penyumbang sakit kepalanya adalah dia tidak mendapat pelampiasan. Dan itu hal normal bagi lelaki yang aktif di ranjang, apalagi sudah hampir 2 minggu. Reino menatap Lydia dari meja kerjanya. Wanita itu terlihat sangat fokus dalam bekerja, seolah tidak punya rasa bersalah telah menolaknya kemarin. Apa hanya dirinya yang terus terbayang-bayang malam itu? Saking kepikirannya, Reino bahkan sampai mimpi basah. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali. Tadi pagi, Reino bahkan menuntaskan hasrat dengan tangannya sedniri. Itu pun harus dibarengi dengan memikirkan mantan istrinya itu dengan cara yang paling sensual. “Arg
“Dasar manusia mesum gila,” terik Lydia memukulkan bantal ke kepala ranjang. Lydia sudah melakukan hal ini sejak sejam lalu. Dia sempat berhenti sebentar, tapi begitu teringat Reino lagi dia kembali jadi histeris. Rupanya efek melihat otot Reino terlalu besar dan tidak bisa ditanggung oleh pikiran polos Lydia. Padahal mereka sudah pernah tidur bersama. “Lydia?” Liani mengetuk pintu anaknya. “Kamu kenapa?” “Gak apa-apa, Ma,” teriak Lydia dari dalam kamar. Ugh. Ini sangat memalukan baginya. Padahal ini bukan pertama kalinya Lydia melihat pria yang setengah telanjang, tapi tetap saja ini berbeda. Apalagi jika Lydia kembali mengingat kejadia ketika dia menghabiskan malam dengan Reino. Itu membuatnya memerah. “Ya, udah kalau gitu buka pintunya. Ini ada kiriman buat kamu,” Lydia bisa mendengar teriakannya ibunya dari luar. “Hah? Kiriman?” tanya Lydia dengan nada bi
“Coba kamu jujur ke Mama deh, Lyd. Kamu pasti punya pacar kan? Cuma mungkin lagi marahan aja,” tanya Liani dengan sebelah tangan menopang dagu dan senyuman penuh arti. Lydia memutar bola matanya dengan gemas melihat tingkah ibunya. Belum ditambah dengan tatapan menyelidik sang adik yang terlihat sangat menyebalkan. “Gak ada yang seperti itu,” hardik Lydia kesal sekali. “Lantas yang setiap malam dikirim ke rumah dan Kakak tolak itu siapa yang kirim? Gak mungkin juga salah kirim setiap hari kan?” tanya Kenzo dengan cengirian mengejeknya. “Pokoknya gak ada yang gituan,” hardik Lydia kesal dan segera meninggalkan meja makan, walau sarapannya belum habis. Liani hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putrinya, sementara Kenzo si adik malah tertawa. Dan ini semua gara-gara Polar Bear Reino. Coba bayangkan saja bagaimana dua orang itu tidak berpikir aneh-aneh
“Kau tidak akan ke mana-mana.” Desisan marah Reino itu membuat Lydia tersentak. Untuk apa juga pria itu marah? “Tapi Pak, ibu saya sedang-” “Kau pikir saya peduli dengan kebohongan tidak masuk akalmu itu? Kau hanya ingin menghindariku kan?” “Demi Tuhan, Pak. Ibu saya barusan mengalami kecelakaan,” teriak Lydia frustasi. Apa sih yang dipikirkan atasannya ini? Seterobsesi itukah pria di depannya ini pada tubuh kurusnya atau gimana? Reino terdiam mendengar penuturan asistennya barusan. Kebohongan soal orang tua yang kecelakaan adalah sesuatu yang fatal dan Reino tidak suka hal itu. Tapi dia juga tidak ingin langsung mengambil keputusan karena berita ini belum jelas. “Kau hanya akan pergi jika aku mengizinkan. Kau pikir kantor ini lelucon?” tanya Reino dengan nada datar. “Tapi ini nyata, Pak.” Lydia yang panik langsung ma
“Secara garis besar, keadaan Bu Liani sebenarnya cukup bagus. Masalahnya hanya satu yaitu pendarahan di bagian kepala. Dan itu butuh penanganan lebih lanjut.” Lydia mengerjap beberapa kali mendengar pernyataan dokter. Katanya kondisi mamanya cukup bagus, tapi kenapa malah dikatakan pendarahan di kepala? Bukannya itu hal yang sangat berbahaya? Melihat wajah bingung Lydia, dokter yang diperkirakan berumur awal 40 itu menjelaskan lebih lanjut. Katanya lokasi terjadi pendarahan itu agak jauh dari otak. Tepatnya berada lebih dekat dengan tulang tengkorak dan pendarahannya tidak terlalu banyak, tapi bukan berarti bisa dibiarkan. Takutnya gumpalan darah yang terbentuk bisa menekan ogan otak dan menimbulkan penyakit lainnya. Intinya Liani akan dioperasi setelah keadaannya lebih stabil. Dan untuk langkah awal dia hanya diberikan obat-obatan saja dulu. Paling lama seminggu lagi kondisinya akan dicek terlebih dulu, setelah siap op
Entah sudah berapa kali Lydia menghela napas. Entah berapa lama juga dia berdiri di depan gedung kantornya. Pikirannya yang kusut menjadi penyumbang hal-hal yang dia lakukan di luar kebiasaan. “Lydia?” Yang empunya nama berbalik. Dia bisa melihat Kiara turun dari ojek online dan berlari ke arahnya. “Ngapain berdiri di sini?” “Melamun,” jawab Lydia jujur. “Apa sih yang dilamunkan?” tanya Kiara penasaran, sambil menggandeng mantan teman sedivisinya itu. “Mamaku masuk rumah sakit karena kecelakaan,” jawabnya terpaksa mengikuti langkah Kiara. “Eh, kok bisa?” Lydia menjelaskan kronologisnya sesuai yang dia dengar dari polisi. Dia juga mengatakan alasannya melamun karena memikirkan biaya operasi yang mahal. Tidak ada yang bisa dikatakan Kiara, selain berusaha menghibur rekan kerjanya itu. Dia juga tida
Lydia menatap ponselnya dengan tatapan nanar. Lima belas menit lalu Kenzo mengirim pesan yang baru dia baca. Katanya salah satu sahabat Lydia datang untuk membantu menjaga ibunya dan adiknya itu pamit untuk ke kampus. Dan baru saja, Lydia mendapat chat dari Cinta. Sahabatnya itu melaporkan apa saja yang dikatakan dokter ketika mengunjungi ibunya 5 menit lalu. Katanya Liani sudah siap untuk dioperasi. Paling lama 3 hari lagi. “Kalian pikir aku akan membiarkan ini begitu saja? Aku tidak terima karyawanku direndahkan segitunya.” Lamunan Lydia buyar begitu mendengar teriakan Reino. Dia bisa melihat kalau Polar Bear, meneriaki klien mereka di depan polisi yang sedang bertugas. Sementara tiga orang lelaki berusaha menahannya agar tidak mengamuk. Ya. Reino Andersen dan Lydia, besera kliennya dibawa ke kantor polisi karena keributan yang mereka timbulkan. Lebih tepatnya klien mereka yang menelepon polisi, setelah mendapat bogem mentah tepat di bagian mata. “Pa
“Lydia, Sayang.” “Ya, Ma.” Lydia yang sedari tadi melamun mendonggak menatap ibunya yang berbaring rendah di ranjang rumah sakit. “Kamu kenapa sih? Melamun saja dari tadi. Mana menghela napas terus. Kerjaannya banyak ya?” tanya Liani prihatin dengan anaknya itu. “Ya gitu deh, Ma. Mana aku khawatir banget sebentar Mama sudah mau operasi,” jawab Lydia yang duduk di kursi dekat ranjang ibunya. Karena ini hari sabtu, kemarin Lydia yang menginap di rumah sakit. Dia ingin menjaga ibunya dan mengurus administrasi dulu sebelum ibunya dioperasi. Lagi pula Kenzo juga perlu istirahat dengan nyaman di kasur. Jadi kini giliran Lydia yang tidur di kursi. “Pagi Tante.” Suara cempreng Vanessa, sahabat Lydia membuat seisi ruangan berbalik. Bahkan pasien yang di sebelah pun menoleh, membuat para tamu yang datang nyengir seketika. “Jangan terlalu keras sua