“Secara garis besar, keadaan Bu Liani sebenarnya cukup bagus. Masalahnya hanya satu yaitu pendarahan di bagian kepala. Dan itu butuh penanganan lebih lanjut.”
Lydia mengerjap beberapa kali mendengar pernyataan dokter. Katanya kondisi mamanya cukup bagus, tapi kenapa malah dikatakan pendarahan di kepala? Bukannya itu hal yang sangat berbahaya? Melihat wajah bingung Lydia, dokter yang diperkirakan berumur awal 40 itu menjelaskan lebih lanjut. Katanya lokasi terjadi pendarahan itu agak jauh dari otak. Tepatnya berada lebih dekat dengan tulang tengkorak dan pendarahannya tidak terlalu banyak, tapi bukan berarti bisa dibiarkan. Takutnya gumpalan darah yang terbentuk bisa menekan ogan otak dan menimbulkan penyakit lainnya. Intinya Liani akan dioperasi setelah keadaannya lebih stabil. Dan untuk langkah awal dia hanya diberikan obat-obatan saja dulu. Paling lama seminggu lagi kondisinya akan dicek terlebih dulu, setelah siap opEntah sudah berapa kali Lydia menghela napas. Entah berapa lama juga dia berdiri di depan gedung kantornya. Pikirannya yang kusut menjadi penyumbang hal-hal yang dia lakukan di luar kebiasaan. “Lydia?” Yang empunya nama berbalik. Dia bisa melihat Kiara turun dari ojek online dan berlari ke arahnya. “Ngapain berdiri di sini?” “Melamun,” jawab Lydia jujur. “Apa sih yang dilamunkan?” tanya Kiara penasaran, sambil menggandeng mantan teman sedivisinya itu. “Mamaku masuk rumah sakit karena kecelakaan,” jawabnya terpaksa mengikuti langkah Kiara. “Eh, kok bisa?” Lydia menjelaskan kronologisnya sesuai yang dia dengar dari polisi. Dia juga mengatakan alasannya melamun karena memikirkan biaya operasi yang mahal. Tidak ada yang bisa dikatakan Kiara, selain berusaha menghibur rekan kerjanya itu. Dia juga tida
Lydia menatap ponselnya dengan tatapan nanar. Lima belas menit lalu Kenzo mengirim pesan yang baru dia baca. Katanya salah satu sahabat Lydia datang untuk membantu menjaga ibunya dan adiknya itu pamit untuk ke kampus. Dan baru saja, Lydia mendapat chat dari Cinta. Sahabatnya itu melaporkan apa saja yang dikatakan dokter ketika mengunjungi ibunya 5 menit lalu. Katanya Liani sudah siap untuk dioperasi. Paling lama 3 hari lagi. “Kalian pikir aku akan membiarkan ini begitu saja? Aku tidak terima karyawanku direndahkan segitunya.” Lamunan Lydia buyar begitu mendengar teriakan Reino. Dia bisa melihat kalau Polar Bear, meneriaki klien mereka di depan polisi yang sedang bertugas. Sementara tiga orang lelaki berusaha menahannya agar tidak mengamuk. Ya. Reino Andersen dan Lydia, besera kliennya dibawa ke kantor polisi karena keributan yang mereka timbulkan. Lebih tepatnya klien mereka yang menelepon polisi, setelah mendapat bogem mentah tepat di bagian mata. “Pa
“Lydia, Sayang.” “Ya, Ma.” Lydia yang sedari tadi melamun mendonggak menatap ibunya yang berbaring rendah di ranjang rumah sakit. “Kamu kenapa sih? Melamun saja dari tadi. Mana menghela napas terus. Kerjaannya banyak ya?” tanya Liani prihatin dengan anaknya itu. “Ya gitu deh, Ma. Mana aku khawatir banget sebentar Mama sudah mau operasi,” jawab Lydia yang duduk di kursi dekat ranjang ibunya. Karena ini hari sabtu, kemarin Lydia yang menginap di rumah sakit. Dia ingin menjaga ibunya dan mengurus administrasi dulu sebelum ibunya dioperasi. Lagi pula Kenzo juga perlu istirahat dengan nyaman di kasur. Jadi kini giliran Lydia yang tidur di kursi. “Pagi Tante.” Suara cempreng Vanessa, sahabat Lydia membuat seisi ruangan berbalik. Bahkan pasien yang di sebelah pun menoleh, membuat para tamu yang datang nyengir seketika. “Jangan terlalu keras sua
“Apa maksud pasal-pasal sialan ini?” geram Reino terlihat sangat marah. Hari sudah berganti dan sekarang sudah hari senin. Operasi ibu Lydia pun berjalan lancar, bahkan selisih biaya rumah sakit sudah di bayar sebagian. Reino menepati janjinya untuk mengirimkan uangnya duluan. Tapi apa yang didapatnya sama sekali tidak sebanding. Ya, semua yang dituliskan Lydia sebagai persyarata sama sekali tidak masuk akal bagi Reino. Amat sangat tidak masuk akal. Kalau soal rahasia, dana 200 juta itu masih bisa dipahami Reino. Lalu soal pemeriksaan laboratorium dan kontrasepsi, itu juga masih bisa dipahami (walau Reino merasa itu juga tidak masuk akal). Lalu pasal soal tidak boleh punya pasangan itu juga aneh, tapi Reino tidak begitu peduli. Satu-satunya masalah adalah Reino harus menunggu 2 minggu lagi. Itu tidak mungkin. Dia tidak ingin disuruh puasa 2 minggu lagi. “Ya, maksudnya seperti itu
“Loh, kok masih ke sini dek? Bukannya ruangan Mama kamu sudah dipindah?” “Hah?” seru Lydia sedikit kaget mendengar keterangan itu. Dia baru saja pulang dari kantor dan langsung ke rumah sakit. Tapi begitu membuka pintu ruangan, pasien kepo yang sekamar dengan Liani malah memberitahunya kabar mencengangkan. “Loh? Masa kamu gak diberitahu sih?” tanya orang tadi terlihat bingung. “Kalau gitu saya coba tanya dulu, Bu. Makasih infonya.” Lydia menunduk sopan sebagai ucapan terima kasih. Dengan perasaan yang tak menentu, Lydia pergi ke meja informasi di lantai itu. Dan betapa terkejutnnya dia ketika menemukan ibunya memang dipindahkan ke kamar untuk satu orang. “Tapi saya kan gak memberi perintah untuk memindahkan Mama saya ke amar itu,” sergah Lydia makin pusing memikirkan biaya yang pasti akan makin melonjak. “Oh, katanya lagi ada program dari atas Mbak. Pasien yang terpilih bisa upgrade kamar secara gratis.” Lydia langsung mengernyit mendeng
Lydia menghela napas panjang. Cacing di perutnya yang sedari tadi meronta-ronta kini sudah terdiam, walau nasi gorengnya belum tersentuh. Rasa syoknya jauh lebih mendominasi ketika melihat wajah pucat ibunya. “Sekali lagi makasih, Pak ya.” Lydia menunduk pada pria yang tadi menyelamatkan ibunya. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya kebetulan saja menjalankan tugas dari Pak Reino untuk menjenguk keluarga karyawan yang sedang sakit. Kebetulan beliau siibuk dan saya yang diutus untuk menjenguk.” “Aduh, rupanya Pak Reino itu baik banget ya,” seru Liani yang kini sudah cerah ceria. Ya. Tadi Liani terlihat pucat hanya karena syok dan karena kejadian tadi. Ditambah dengan perempuan yang menyamar sebagai perawat tadi rupanya mencabut infus dari tangan Liani dengan kasar sampai berdarah. Untung jarumnya tidak sampai tertinggal di dalam. “Jangan berlebihan deh, Ma. Pak Reino seperti itu pasti karena kewalahan gak ada aku di kantor. Belum juga ditinggal cuti,” gerutu
Diluar dugaan Lydia, proses pemulihan ibunya cukup cepat. Selang di kepala Liani bahkan sudah dilepas sebelum satu minggu karena memang darahnya tidak banyak. Dan setelahnya, Liani sudah bisa beraktifitas seperti biasa dan boleh pulang dalam waktu dekat. Itu tentunya kabar buruk bagi Lydia karena itu berarti dia sudah harus kembali ke kantor senin ini. Dan itu berarti perjanjian mereka sudah akan berjalan. Tiba-tiba saja Lydia berharap dia datang bulan saja agar bisa menghindar. Tapi itu jelas tidak mungkin karena Lydia baru selesai bulanan 2 hari lalu. Mau berbohong pun Lydia takut kalau Reino meminta bukti. Karena itu disinilah Lydia sekarang, berdiri di depan gedung kantornya dengan helaan napas panjang. “Kamu bisa, Lyd,” gumamnya melangkah masuk. Suasana aneh terasa begitu Lydia masuk ke lobi kantor. Rasanya hampir semua orang menatapnya sambil berbisik. Ada yang memandang penuh tanya, ada juga
Tiba-tiba saja, rapat direksi diadakan. Dalam waktu satu jam setelah perdebatan di lantai lima tadi, seluruh penghuni lantai itu sudah duduk di meja rapat. Berikut para sekretaris atau asisten pribadi masing-masing. Agenda rapat hari ini tentu untuk membahas kelakuan CEO, sekaligus anak pemilik perusahaan. Lydia amat sangat bersyukur karena mantan mertuanya sudah menetap di Denmark dan tidak diikutkan rapat. Alasannya sederhana, di sana hari masih malam dan semua orang pastinya masih tidur. Kalau mereka sampai ikut, masalahnya akan menjadi makin pelik. Masalah kali ini sudah sangat pelik, jadi tidak perlu lagi ditambahkan masalah lain. Terutama fakta soal Lydia dan Reino yang adalah suami istri. Atau tepatnya mantan suami istri “Jadi bisa jelaskan kenapa bisa ada masalah seperti ini Reino?” tanya Pak Fendi yang terlihat paling tenang. Mungkin karena usianya yang sudah matang, membuat pria itu senantiasa tenang.