Nicky sedang berguling-guling tak jelas di kasur di kamar Shoujin sambil berkali-kali membuka ponselnya, lalu mematikan layarnya lagi. Shoujin merasa heran dengan kelakuan sepupu palsunya itu.
Shoujin bersandar pada sebuah meja tulis di kamar itu. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak apa-apa."
"Katakanlah, mungkin aku bisa membantu."
Nicky mendesah, "Aku kehilangan sebuah benda yang sangat berharga."
"Apa itu?"
"Sebuah foto."
Pikiran Shoujin melayang pada sebuah foto yang diambilnya dari meja di kamar Nicky beberapa waktu lalu. Ia tak bisa berbohong, tetapi juga tak mungkin mengatakan bahwa ia yang mengambilnya.
Shoujin berjalan ke arah ranjang, kemudian duduk di pinggirannya. "Apa foto itu sangat berharga?"
"Begitulah. Umm ... aku belum pernah cerita, ya? Aku sudah tujuh tahun amnesia." Nicky merentangkan tubuhnya, menggunakan sebelah lengannya sebagai bantal, menatap pada langit-langit kamar.
"Apa?!" Ini pertama kali dalam hidupnya, Shoujin mengenal seseorang yang mengalami amnesia. Tentu saja ia terkejut.
"Ya, tujuh tahun. Aku sendiri tidak mengerti kenapa bisa selama itu. Aku sama sekali tidak ingat apa pun sejak aku lahir sampai usia sepuluh tahun. Aku tidak ingat siapa orang tuaku dan seperti apa kehidupanku dulu, bahkan aku tidak tahu namaku yang sebenarnya. Aku mempercayai apa pun yang Kenny katakan.
Dan setiap kali aku mengingat atau mencoba mengingat sesuatu tentang masa laluku, kepalaku terasa sakit. Aku bahkan tidak bisa menggunakan kepalaku untuk berpikir sedikit berat, pasti terasa sakit. Itu sebabnya aku bodoh. Ya, kau pasti sadar 'kan kalau aku bodoh?"
Shoujin terkekeh mendengar penuturan Nicky yang blak-blakan. "Kau merasa dirimu bodoh?"
"Itu yang dikatakan orang-orang. Meski sebenarnya aku sangat benci mengakuinya, kenyataannya aku memang lambat dalam berpikir." Mendesah. "Dan foto itu, satu-satunya fotoku bersama kedua orang tuaku yang kupunya. Bukannya aku ingin mengingat tentang masa laluku, aku sudah menyerah soal itu. Hanya saja, setiap kali melihat foto itu, aku merasa umm ... bahagia.”
"Kau yakin itu foto kedua orang tuamu?"
"Aku tidak tahu, aku hanya mempercayai yang Kenny katakan."
"Nicky ..."
"Humm ..."
"Waktu kau pingsan, apa karena ingatanmu kembali?"
Nicky mendesah. "Sedikit. Dan sayangnya aku hanya mengingat satu kejadian buruk." Nicky membuang wajahnya. "Sudahlah, aku tidak mau membahasnya. Itu sangat menyiksaku."
"Maafkan aku."
"Shou ..."
"Hmm ..."
"Kalau kau menemukan foto itu, tolong kembalikan padaku." lirih Nicky.
"Baiklah, kalau aku menemukannya."
"Ah, tidak. Mana mungkin kau menemukannya?"
“Nicky, ada kalanya masa lalu memang lebih baik dilupakan.”
“Apa kau pernah mengalami hal buruk?”
"Mungkin sekedar pengalaman tidak mengenakkan saja," ucap Shoujin datar dengan membuang mukanya ke arah lain, menyembunyikan sesuatu.
Untuk beberapa saat, suasana hening. Shoujin menoleh kembali pada Nicky. Dan tanpa diperintahkah, tangan Shoujin menyentuh rambut Nicky dan memainkannya. Nicky tak sedikit pun terganggu dengan perlakuan Shoujin. Baginya itu sudah biasa. Kenneth sering melakukannya.
Tunggu, Kenneth ...
Nicky teringat kalau tadi ia ingin menelepon Kenneth. Dibukanya kembali ponselnya, memencet sebaris nomor yang sudah dihafal di luar kepala, lalu memencet tombol 'Panggil'. Muncullah nama 'Freak Brother #1' dengan latar belakang kakak berambut abu-abu cerah sedang memeluknya dari belakang dan dirinya menggenggam tangan sang kakak. Mereka berdua tersenyum.
Baru-baru ini Nicky memberikan nama 'Freak Brother #1' pada Kenny dan 'Freak Brother #2' pada Aaron.
Dijawab oleh suara wanita dengan bahasa formal, Nicky mendesah, kecewa panggilannya tak tersambung.
"Kau menelepon siapa?"
"Kenny."
"Kau merindukannya?"
"Uhum. Dia bilang akan meneleponku sesampainya di Springfield, tapi ini sudah empat hari dan dia belum meneleponku." Nicky mendesah lagi.
"Belum sebulan. Dasar cengeng."
"Apa kaubilang?" Nicky menoleh cepat pada Shoujin.
"Cengeng?"
"Katakan sekali lagi dan aku akan menghajarmu."
"Cengeng," ledek Shoujin sambil turun dari kasur.
Dikatai seperti itu, tentu saja Nicky tak terima. Tanpa berkata-kata lagi. Nicky bangun dan langsung meninju Shoujin. Namun, Shoujin sigap menghindar dan berlari keluar dari kamar dan turun ke ruang santai.
Nicky terus berusaha memukul dan menendang Shoujin, tetapi selalu meleset.
"Dasar! Dibutuhkan seratus tahun agar kau bisa mengalahkanku. Pukulanmu tak satu pun mengenaiku."
"Berisik."
Bugh!
Akhirnya sebuah tinju berhasil mengenai perut Shoujin, membuatnya jatuh tersungkur. Si korban pukulan terdiam meringkuk memegangi perutnya. Tak bersuara.
"Shoujin, kau tidak apa-apa?" sedikit-banyak Nicky khawatir dengan keadaan sepupu palsunya.
"Kenapa kau benar-benar memukulku?"
"Kaupikir aku tidak kesal kausebut cengeng, huh?!"
"Aku 'kan hanya bercanda."
"Itu sama sekali tidak lucu."
"Baiklah. Sekarang bantu aku bangun!"
"Tidak mau! Bangun saja sendiri!"
"Keterlaluan. Aku sudah mengijinkanmu menumpang, tapi kau malah bersikap buruk padaku."
Nicky mendengus, lalu membantu Shoujin bangun. Keduanya lalu duduk di sofa di ruangan itu.
"Dari mana kau belajar beladiri?"
"Aku ikut kelas krav maga¹ musim panas tahun lalu, sekedar pengisi liburan. Dan sesekali aku masih bertanding melawan Kenny."
"Pantas saja."
"Apanya?"
"Tanpa bekal beladiri kau tak akan bisa melawan berandalan di Palmline waktu itu. Hanya saja, kau perlu lebih mengendalikan emosimu, agar seranganmu lebih akurat dan pertahananmu tetap kuat. Emosi membuat lawanmu lebih mudah membaca gerakanmu."
"Terima kasih, sarannya. Kenny juga pernah mengatakannya. Kau sendiri pernah belajar beladiri?"
"Ya, dulu, seseorang mengajariku karate."
"Shou/Nicky?" panggil keduanya bersamaan
"Kau dulu." Shou mempersilakan.
"Tidak, kau dulu," tolak Nicky.
"Baiklah." Mendesah. "Apa kalian sangat dekat?" Shoujin menatap lekat pada Nicky yang terlihat masih kesal padanya dan menatap lurus pada layar televisi yang tidak sedang menyala.
"Siapa?"
"Tentu saja kau dan kakak freak itu. Kita tadi membicarakannya."
"Hei, Shou, sesama freak dilarang saling menghina."
"Menurutmu aku freak?"
"Memangnya kau tidak sadar?"
"Umm ... tapi aku tampan 'kan?"
Nicky mengangkat sebelah alisnya. Melirik dengan pandangan menghina.
"Jadi sedekat apa kau dengan Kenneth?"
"Sedekat apa? Aku tidak yakin, tapi yang jelas Aaron sering kesal karena kedekatan kami."
"Bisakah aku menggantikannya?"
"Mana bisa! Dia segalanya bagiku."
"Kalian berpacaran?"
"Jangan asal bicara, dia kakakku!” Nicky menoleh pada Shoujin, membalas tatapan Shoujin.
"Kalian sama sekali tidak mirip. Oh ya, kau tadi ingin mengatakan sesuatu 'kan?"
"Aku sudah lupa."
Ini kedua kalinya kedua orang itu saling menatap. Hanya saja, kali ini terasa berbeda dengan yang pertama. Jika dulu mereka saling memberikan tatapan tajam dengan aura permusuhan, saat ini yang ada tatapan lembut dari keduanya.
Lihatlah iris biru jernih itu yang dengan sempurna menyembunyikan luka yang sangat dalam di balik binar cerahnya. Dan iris hitam arang yang memendam sifat posesif dan protektif di balik sorotnya yang biasanya terlihat tajam mematikan.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Nicky merasa ada yang salah, sorot mata teduh yang posesif di depannya berubah menakutkan. Seolah dipenuhi kebencian dan ...
"Aargh ..." pekik Nicky tiba-tiba. Ia meremas kepalanya.
‘Aku tidak akan melepasmu begitu saja.’ sebuah suara berbisik di dalam kepala Nicky.
Reflek Shoujin menahan kedua pundak Nicky, mengkhawatirkan keadaan sosok yang baru saja ia kagumi, "Ada apa, Nicky? Kau kenapa?"
"Kkep ... ppa ... laku ... ss ... sak ... kit. Eegh ... obbatku di ... ttaass ..." erang Nicky dengan suara tertahan dan tubuh menegang.
"Tunggu sebentar!" Shoujin bergegas menuju kamarnya, lalu membongkar semua isi tas Nicky.
Ditemukannya sebotol pil. Dibacanya sepintas dosis yang tertulis pada botol pil itu. Ia kemudian berlari ke dapur dengan membawa obat Nicky, mengambil segelas air dari dispenser dan mengambil dua butir pil. Lalu kembali pada Nicky dan meminumkan obatnya.
Dalam beberapa detik saja, sekujur tubuh Nicky sudah dipenuhi keringat dingin. Shoujin tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa mengusap perlahan rambut Nicky, berharap bisa sedikit menenangkan.
Perlahan Nicky mulai terlihat tenang, tubuhnya tak lagi tegang, kemudian tertidur di lantai. Shoujin masih setia menungguinya.
Setelah yakin Nicky benar-benar tertidur, Shoujin menyelusupkan sebelah tangannya di bawah punggung Nicky dan yang sebelah lagi di bawah lutut. Dengan sekali hentakan ia mengangkat tubuh anak itu. Lalu membawanya naik ke lantai dua, ke kamarnya.
Perlahan dan hati-hati ia baringkan tubuh Nicky di ranjang, kaosnya basah oleh keringat dingin.
Penglihatan Shoujin menyapu seluruh tubuh Nicky dari ujung rambut hingga ujung kaki, yang saat itu mengenakan kaos sedikit longgar tanpa lengan dan celana pendek beberapa senti di atas lutut, mengekspos kulit sewarna karamel. Shoujin mengangkat sebelah alisnya. Ia terpesona pada kulit coklat seperti karamel, terlihat semanis karamel di atas croquembouche². Sial!
Tak ingin berlama-lama dalam kekaguman yang bisa saja membuat dirinya kehilangan kewarasan, Shoujin pun menyelimuti tubuh yang tergolong tak seberapa tinggi untuk ukuran gadis remaja Kaukasoid berumur tujuh belas tahun itu. Namun, saat tangannya sampai pada bagian dada, Shoujin terpaksa menelan ludah dengan susah payah. Dasar laki-laki, bisa-bisanya berpikir ‘macam-macam’ dalam situasi seperti itu.
Ditatapnya lekat wajah teduh Nicky. Ia masih belum mengerti luka psikis seperti apa yang tersembunyi di balik wajah periang si pirang itu. Sepertinya hari-harinya sangat berat. Bagaimana bisa ia bertahan selama itu dengan amnesia?
Shoujin duduk di samping Nicky. Mengusap rambutnya. Mempertayakan siapa gadis itu sebenarnya, apa hubungannya dengan Michelle. Perlahan jari-jari Shoujin menuruni dahi Nicky, lalu hidung dan sesaat terhenti di bibir si pirang. "Salahkah jika aku menginginkanmu?" gumamnya.
Kemudian telapak tangannya mengelus lembut pipi sebelah kiri Nicky. Pada saat itu salah satu jarinya merasakan sesuatu yang tak wajar pada pipi itu—wax yang ditutup make up. Shoujin menggosok perlahan wax yang melapisi kulit itu. Hingga muncullah bekas luka seperti tergores benda tajam. Tampaknya itu luka yang sudah lama, pernah dijahit, tetapi bekasnya tak bisa hilang, mungkin karena lukanya cukup dalam. Bekas luka itu tersembunyi nyaris sempurna dibalik wax dan make up tebal yang diaplikasikan hanya di sekitar luka itu. Lalu bagian itu tertutup oleh rambut yang sengaja dipanjangkan lebih dari rambut di sebelah kanan.
Penglihatan Shoujin beralih pada pelipis kanan Nicky. Masih nampak bekas jahitan di sana. "Kucing manis, kucing liar yang manis." gumam Shoujin lagi.
Terdengar dering ponsel Shoujin yang tergeletak di atas meja tulis di kamar Shoujin. Entah perasaannya saja, atau memang dering ponsel itu sangat nyaring. Mengalahkan suara deras hujan yang entah sejak kapan turun mengguyur. Hujan ... di musim panas? Shoujin kadang merasa kesal dengan tabiat cuaca di St. Angelo, sering berubah semaunya sendiri.
"Sial!" gerutunya setengah berbisik.
Kalau bukan karena khawatir dering itu akan membangunkan Nicky, ia lebih memilih mengabaikannya.
Madam O, nama yang muncul di ponsel.
"Ya?"
"Aku sudah mendapatkan informasi tentang Nicky dan Kenneth. Temui aku besok di tempat aku menemukan Gingie." jawab suara serak dan berat di seberang.
"Oke.”
"Kau sedang bersama bocah itu?"
"..."
"Tak perlu kau jawab. Aku sudah tahu."
Shoujin memutus sambungan teleponnya lalu berjalan mendekat ke jendela kamarnya. Dari sana samar terlihat olehnya sebuah mobil terparkir di sisi jalan tepat di depan rumahnya. Hujan dengan intensitas sedang yang telah turun sejak beberapa menit lalu mengaburkan pandangan dan pendengaran. Menyamarkan suara dan visual objek di luar sana, yang saat ini menjadi fokus Shoujin, tetapi Shoujin yakin dengan apa yang dilihatnya.
“Sejak kapan dia di sana?”
Mobil itu kemudian melaju tenang meninggalkan tempat ia semula terparkir
_______1. krav maga : beladiri asal Israel
2. croquembouche : kue sus yang disusun mengerucut dan disiram karamelKami suka ceritanya? Komen, rate dan vote donk. Kasih kritik juga boleh banget. Biar author makin semangat nulisnya.❤️Dan unlock juga donk pastinya, nanti mau dipakai author beli vitamin, biar kuat nulis samapi finish.😘
Malam yang sama, di kota berbeda, yaitu Springfield, Yuri sedang berbicara dengan Kenneth di sebuah ruangan seukuran ruang keluarga di rumah Kenneth. Beberapa buku tebal bertumpuk di atas sebuah meja kerja di dekat dinding, bersebelahan dengan salinan berkas-berkas, lampu meja yang biasa digunakan ketika bekerja larut malam, alat tulis dan laptop yang sedang menyala yang terhubung ke seperangkat audio system yang memainkan musik jazz yang sama sekali tidak populer. Anggap saja ruangan itu sebagai ruang meeting. Sedangkan kedua manusia yang ada di ruangan itu, yang mana salah satunya memiliki rambut diwarnai putih keabu-abuan dan yang satunya diwarnai warna biru, duduk bersebalahan di dua kursi yang berbeda, menghadap sebuah coffee table. Di hadapan kedua pria berusia cukup matang tapi masih melajang itu tersuguhkan dua kopi dalam dua gelas kertas, sekotak pizza dengan topping pepperoni dan daging cincang, dan beberapa bungkus makanan ringan.
Matahari merayap naik, tampak di balik barisan rumah-rumah dan gedung-gedung di St. Angelo. Mengusir hawa sejuk yang dibawa hujan yang semalam menyelimuti kota itu. Pagi yang tenang di St. Angelo. Namun ketenangan itu tak berlaku di sebuah rumah di ujung jalan. . . Nicky masih terlelap, padahal seharusnya ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tetapi tubuhnya masih terasa lemas. Mungkin efek dari obat penenang yang diminumnya semalam, membuatnya tidur terlalu nyaman, sehingga ia tak mendengar alarm ponselnya. Dan yang mengusiknya dari tidur super nyenyaknya pagi ini adalah suara pintu yang tanpa sengaja terbanting. Cukup membuatnya terkejut. Bersamaan dengan itu aroma kaldu daging menyapa indera penciumannya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya saat ia melihat sesosok manusia sedang menghadap meja. Seingat Nicky ini bukan hari libur. Ia hanya melihat punggung orang itu, kabur. Matanya masih terasa berat, enggan membuka. Ia pun kembali menutup ma
Seorang pria androgini¹ sedang duduk sendiri di sofa di lobi sebuah hotel. Siapa pun orang yang belum mengenalnya, baru akan menyadari bahwa dia adalah pria setelah mendengar suaranya yang serak dan berat. Pria itu tampak mengutak-atik ponselnya, kemudian menunggu panggilan tersambung. "Halo. Sayang, aku tidak bisa menemuimu. Istriku menguntit. Sebagai permintaan maaf, aku sudah mengisi rekeningmu." Hanya itu yang diucapkannya, lalu menutup teleponnya. Mata pria itu menyelidik ke sekeliling, ia tahu saat itu dua orang sedang mengikutinya. Orang itu duduk di kursi sekitar tiga meter darinya dan ia tampak sedang bermain-main dengan ponselnya. Namun, Owen —si pria androgini— tahu pria yang mengenakan blazer hitam dan sepatu docmart² itu tidak sungguh-sungguh sedang bermain ponsel. Orang itu pasti sedang menguping pembicaraannya. Lalu ada seorang pria mengenakan celana jeans, jaket kulit dan sepasang sneaker yang duduk di kursi lain tak jauh dari meja resepsionis. Owen sempat melihat o
Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter
"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya." "Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya. "Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama." "Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco. "Untukmu ..." "Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus. "Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur. Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti. Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky. "Apa ini? Tidak terlihat seperti taco." Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kenneth dan Yuri mengunjungi penjara tempat Blake menjalani hukuman. Setelah melalui pemeriksaan dan dinyatakan 'bersih', keduanya diperbolehkan memasuki ruang kunjungan. Setelah beberapa menit menunggu, muncullah sesosok pria berbadan kira-kira setinggi Kenneth, dengan lengan berotot. Kenneth memberikan tatapan ambigu padanya. Pria itu lalu duduk berhadapan dengan Kenneth dan Yuri, di balik kaca transparan yang menjadi pemisah antara narapidana dengan pengunjung. Pria itu adalah Blake. Yuri mengangkat gagang telepon. Kemudian Blake pun melakukan hal yang sama, dengan kedua siku bertumpu pada meja. Ketiga orang di tempat itu berhadapan dengan wajah tanpa ekspresi. "Bagaimana keadaanmu?" Yuri membuka dialog. "Kupikir kau ke sini bukan untuk menanyakan keadaanku." "Ya ..., kau benar. Dan sejujurnya aku juga tidak begitu peduli." "Dan aku juga tak butuh itu. Lalu siapa orang ini?" "Dia Kenneth, rekanku di divisi yang berbeda," han
Karina baru saja pulang dari Rhein's. Ia melemparkan ponsel dan tas selempangnya ke ranjang. Waktu terus berjalan. Ia sedikit gugup sekaligus bersemangat. Ia bergegas membersihkan dirinya dari peluh dan rasa lelah setelah bekerja. Ia harus tampil sempurna. Saat ini dengan mengenakan kimono mandi, Karina sedang berdiri menghadap ke lemari pakaiannya. Matanya menelisik ke setiap tumpukan dan deretan pakaian yang tergantung dalam lemarinya. Ia mendesah, tak tahu harus memakai apa untuk kencan pertamanya setelah sekian tahun. Pendengarannya menangkap suara dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Seseorang menelepon. Sederet angka tanpa nama tertera di layar ponsel, tetapi ia yakin mengenali nomor itu. "Halo, I* ..." "Aku baru saja memikirkannya. Aku ingin kau memakai kado yang kuberikan tahun lalu. Bisa?" singkat dan jelas, arahan yang diberikan seseorang di seberang. "Hum, baiklah." Sambungan telepon terputus. Kenapa tak terpikirkan sebelumnya? Outfit itu sepertinya ide yang