"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya."
"Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya.
"Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama."
"Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco.
"Untukmu ..."
"Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus.
"Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur.
Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti.
Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky.
"Apa ini? Tidak terlihat seperti taco."
Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kenneth dan Yuri mengunjungi penjara tempat Blake menjalani hukuman. Setelah melalui pemeriksaan dan dinyatakan 'bersih', keduanya diperbolehkan memasuki ruang kunjungan. Setelah beberapa menit menunggu, muncullah sesosok pria berbadan kira-kira setinggi Kenneth, dengan lengan berotot. Kenneth memberikan tatapan ambigu padanya. Pria itu lalu duduk berhadapan dengan Kenneth dan Yuri, di balik kaca transparan yang menjadi pemisah antara narapidana dengan pengunjung. Pria itu adalah Blake. Yuri mengangkat gagang telepon. Kemudian Blake pun melakukan hal yang sama, dengan kedua siku bertumpu pada meja. Ketiga orang di tempat itu berhadapan dengan wajah tanpa ekspresi. "Bagaimana keadaanmu?" Yuri membuka dialog. "Kupikir kau ke sini bukan untuk menanyakan keadaanku." "Ya ..., kau benar. Dan sejujurnya aku juga tidak begitu peduli." "Dan aku juga tak butuh itu. Lalu siapa orang ini?" "Dia Kenneth, rekanku di divisi yang berbeda," han
Karina baru saja pulang dari Rhein's. Ia melemparkan ponsel dan tas selempangnya ke ranjang. Waktu terus berjalan. Ia sedikit gugup sekaligus bersemangat. Ia bergegas membersihkan dirinya dari peluh dan rasa lelah setelah bekerja. Ia harus tampil sempurna. Saat ini dengan mengenakan kimono mandi, Karina sedang berdiri menghadap ke lemari pakaiannya. Matanya menelisik ke setiap tumpukan dan deretan pakaian yang tergantung dalam lemarinya. Ia mendesah, tak tahu harus memakai apa untuk kencan pertamanya setelah sekian tahun. Pendengarannya menangkap suara dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Seseorang menelepon. Sederet angka tanpa nama tertera di layar ponsel, tetapi ia yakin mengenali nomor itu. "Halo, I* ..." "Aku baru saja memikirkannya. Aku ingin kau memakai kado yang kuberikan tahun lalu. Bisa?" singkat dan jelas, arahan yang diberikan seseorang di seberang. "Hum, baiklah." Sambungan telepon terputus. Kenapa tak terpikirkan sebelumnya? Outfit itu sepertinya ide yang
Setelah mengunci pintu kamarnya, Nicky perlahan membuka pintu kamar Aaron sedikti. Melongok ke dalam kamar itu, memastikan penghuninya sudah tidur. Pelan-pelan Nicky menutup kembali pintu kamar itu. Akhirnya ia bisa keluar dari rumah dengan tenang. YES! Ini Jum'at malam, weekend telah datang, waktunya bersenang-senang. Malam belum begitu larut, masih ada dua jam sebelum tengah malam tiba. Nicky berjalan meninggalkan rumahnya dengan mengenakan hoodie berwarna hitam dengan kombinasi oranye. Wajahnya tersembunyi di balik tudung. Ia berjalan sambil menopang lengan kirinya yang masih terasa nyeri. Di ujung blok ia berhenti. Di sana sebuah Wrangler Jeep telah menunggu. Shawn berada di belakang kemudi, Charlie di sampingnya, dan Kevin di bangku belakang. Nicky masuk ke dalam dan duduk di sebelah Kevin. Shawn melajukan mobil yang dikendarainya. St. Angelo di malam hari masih ramai. Di malam hari St. Angelo menampakkan sisi lain wajahnya—penuh warna d
Di dalam kamar, Kenneth melempar ponselnya ke atas kasur. Ia mendengus. Diteguknya sedikit air dari gelas yang baru saja diisinya di lantai bawah beberapa saat lalu, kemudian diletakkannya gelas itu di atas nakas di samping ranjangnya. Ia mencoba menahan diri akan rasa penasaran, khawatir dan curiga tentang apa yang dilakukan Nicky. Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Nicky sejak dua jam yang lalu, tetapi tak mendapat respon. Pesan chat pun tak satu pun dibalas. Entahlah, ia bahkan tak sanggup menjelaskan pada dirinya akan berbagai emosi negatif yang saat ini bersekongkol menderanya. Alasan logis bahwa saat ini sudah lewat tengah malam, adik kesayangannya mungkin sudah mendengkur pulas hingga tak mendengar dering ponselnya. Ditambah kemungkinan bocah tomboi itu mensenyapkan ponselnya. Kenneth hanya sangat merindukan Nicky dan ingin mendengar suaranya. Apa hanya ada satu alasan saja untuk meneggelamkan akal sehat Kenneth saat ini, dan menggantikannya de
"Dasar sial! Sekalinya ikut kalian, aku malah harus terjebak di sini. Tempat apa ini? Memangnya aku kriminal?! Aku 'kan hanya nonton," gerutu Nicky. "Apa kau bisa diam? Aku mengantuk," rutuk Shawn. "Tidak biasanya ada razia. Sejauh ini semua aman-aman saja. Tapi kenapa kali ini ...?" heran Kevin. "Apa pun itu, aku hanya tidak mau Aaron menceramahiku." Shawn dan dua orang yang tak dikenal telah terlelap, atau pura-pura terlelap. "Nasibku bisa lebih buruk lagi kalau jatuh ke tangan ibuku," keluh Kevin. "Tenanglah Nick, tak ada gunanya kau mengomel seperti itu. Tak akan membuatmu keluar lebih cepat. Lebih baik kau tidur saja," hibur Irina. Nicky berdecak kesal. "Panas sekali. Bagaiamana aku bisa tidur? Hei, Sir. Opsir, Hei ...!" panggil Nicky pada penjaga. "Lagipula aku harus tidur di mana?" "Pundak Kevin, mungkin." Charlie menyahut. "Tidak, terima kasih. Pundak Kevin sama sekali tidak nyaman." "Bagaimana k
Saat hampir meninggalkan ruang interogasi, Nicky teringat akan ponselnya. "Maaf, Opsir. Aku membutuhkan ponselku untuk menghubungi kakakku lagi, aku belum selesai bicara dengannya." "Baiklah. Kau bisa menelepon di sini." "Oke." Nicky mengambil ponselnya yang masih ditahan di dalam ruang interogasi. _______ "Sulit dipercaya," gumam Kenneth sambil meraup kasar wajah lelahnya yang lengkap dengan sepasang mata berkantung saat turun kembali ke ruang meeting. "Ada apa, Kenneth?" selidik Sean. Ponsel Kenneth kembali berdering, Lovely Nicky menelepon. Senyum simpul di bibir Kenneth menyayupkan matanya. Segenap emosi negatif seketika lenyap. Memalukan, jangan sampai teman-temannya melihat. Kenneth melangkah meninggalkan ruang meeting. Ia tak ingin ada yang menguping obrolannya dan image cool harus tetap dijaga. Kenneth senang bocah nakal itu bergantung padanya. "Ya, Sayan
"Aaron, dengarkan aku! Kau benar-benar membuatku semakin kesal! Dengarkan!" tak bisa lagi membendung emosinya, Kenneth pun meneriaki Aaron. Dadanya naik-turun. "Baiklah, aku mendengarkanmu." Mendengar teriakan Kenneth, Aaron langsung patuh. Saat itu juga Aaron sadar Kenneth sedang marah besar. Kau tahu bagaimana marahnya seseorang yang tak pernah marah? Mengerikan. Seperti gunung api yang telah tertidur ratusan tahun, lalu tiba-tiba kembali aktif dan menyemburkan lavanya tinggi-tinggi ke angkasa. "Kau pasti belum membuka chat dariku." Kenneth menghela nafas, berusaha meredam emosinya. "Chat?" "Sudah kuduga .... Cari Nicky di tahanan Kepolisian St. Angelo, cari tahu siapa yang mengeluarkannya dari sana!" Kenneth tetap berusaha tenang. "Apa maksudmu?" "Nicky kena razia balap liar tadi malam dan dia diduga mengkonsumsi narkoba. Tapi itu hanyalah false positive." "Tapi bagaim
Di sebuah mansion, sambil menikmati linting cerutu, seorang pria berusia di kisaran tiga puluhan akhir dengan tato hampir memenuhi sebelah lengannya baru saja selesai menikmati makan siangnya dengan ditemani oleh wanitanya yang tak memiliki status yang jelas—seperti asisten, tetapi seringkali juga menghangatkan ranjangnya. Selain seorang wanita, ia juga ditemani oleh seorang pria di meja itu. Beberapa orang berbadan kekar mengawalnya. Sambil menghisap cerutunya ia menunggu sebuah panggilan untuk tersambung. Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor yang sama. Namun tetap saja tak ada jawaban. Lalu ia menghubungi nomor lain, hasilnya sama nihilnya. Baru saja ia memutus dengan kesal panggilan yang entah ke berapa puluh kali, ponselnya kemudian berdering. "Daniel? Dasar parasit," gerutunya saat mendapati nama yang muncul di layar ponselnya. "Halo," dijawabnya panggilan itu. "Bagaimana Owen? Apa sudah kaubereskan?" buka suara di seberang langsun