Kenneth baru saja menginjakkan kaki di bandara di Middlesburg. Sebelum meninggalkan bandara, terlebih dahulu Kenneth harus menjalani pemeriksaan atas kepemilikan senjata api serta verifikasi identitasnya selaku pemilik senjata api, serupa dengan yang dijalaninya di Springfield saat hendak berangkat. Tak ada kesulitan di sana.
Hujan tiba-tiba saja turun. Dengan aplikasi di ponsel, Kenneth memesan taksi online. Padahal ada banyak taksi di bandara yang siap mengantar, tetapi ia lebih memilih menggunakan aplikasi. Mungkin karena ia bisa langsung mengetahui tarifnya. Dan tak perlu khawatir jika jalanan macet akan membuat angka di argometer langsung melonjak tinggi.
Radio dalam taksi menyuarakan seorang wanita yang tengah berbasa-basi di sela-sela programnya, membicarakan cuaca yang tiba-tiba berubah. Sedangkan Kenneth tak henti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehubungan dengan pertemuannya dengan pengirim chat gelap. Dadanya bergemur
Karina memasuki ruang istirahat Rhein's dengan membawa sebuah nampan berisi makanan. Terlihat olehnya, Nicky sedang duduk di pinggiran ranjang dengan memangku bantal. Gadis pirang itu menyembunyikan wajahnya dalam sebelah telapak tangan. Salah satu lengannya—lengan yang diperban—terkulai di ujung bantal yang ia pangku Karina yang menyadari keadaan Nicky masih tak begitu baik pun mencoba memberikan afeksi. "Halo, Nick," sapanya. "Hai ...," respon Nicky dengan tetap menyembunyikan wajahnya. "Apa ... kepalamu masih terasa sakit?" Karina meletakkan nampan brunch di atas meja, ia lalu duduk di sisi Nicky. "Tidak." Nicky menyingkirkan tangan yang semula menutup wajahnya. Tangan itu kini terkulai di atas bantal. Dan ia sedikit menegakkan badan. Sementara wajahnya masih tertunduk. "Maaf, aku merepotkan kalian," ucap Nicky lirih. "Bicara apa kau? Sama sekali tidak." Hening sesaat. Karina mencoba membaca ekspresi Nicky. Nyata si pirang
Shoujin baru saja pulang dari sekolah. Ia menurunkan standar sepedanya begitu saja di halaman rumah, tak peduli jika sepeda itu roboh karena ia tak menyandarkannya dengan benar. Lalu masih dengan tas di punggungnya, ia berlari menghampiri kakak dan ibunya di depan pintu utama. "Kau ...?" Shoujin menelisik pandangannya pada Tomaru. Kakaknya itu berpakaian rapi dengan membawa tas di punggung "Aku akan kembali ..." "Kau sudah akan kembali ke Agathea? Setelah sekian lama, kau baru saja pulang tadi pagi. Dan sekarang kau akan meninggalkan kami lagi? Ayah bahkan belum sempat bertemu denganmu," berondong Shoujin. "Ya, Shoujin. Aku harus," Tomaru menjawab tanpa sedikit pun keraguan. Lalu ia menggenggam erat kedua tangan ibunya. "Ibu, maaf, aku tidak bisa lama-lama di sini. Ada berita yang harus kuliput. Berita besar." "Baiklah, Ibu mengerti, tapi setidaknya tunggulah ayahmu pulang. Dia sedang dalam perjalanan," tawar Kirei pada putra sulungnya.
"Kumohon, Elle. Jangan menangis, kau membuatku sedih. Bukankah seharusnya ini hari paling membahagiakan untukmu?" Shoujin masih berusaha membujuk Michelle. "Karena itulah ... aku ... se ... harus ... nya bahagi ... a hari ini ... tapi ... apa ... yang ... ter ... jadi pp ... ppada ...waj ... jahku? Ini ... ss ... sa ... kit." Michelle terisak sambil menundukkan kepalanya. Kedua kakinya tersembunyi di balik gaun transparan berlapis-lapis berwarna biru langit. "A ... ku ... tidd ... ak ingin ... ter ...lihat ... bb ... u ... ruk ... di deppan teman-te ... manku, ju ... ga ... Un ... cle ... Kenny." Michelle duduk memeluk lututnya di lantai kamarnya menghadap ke dinding, membelakangi Shoujin yang duduk dengan sebelah kaki berjongkok menopang badannya. Rambut panjang Michelle tergerai berantakan, menutup seluruh wajahnya. "Ada apa dengan wajahmu? Apa yang terjadi?" Michelle pun berbalik menghadap ke arah Shoujin. Gaun organdinya bergemerisik. Sebagian ram
Kirei langsung meninggalkan keriuhan pesta ulang tahun Michelle. Dipeluknya erat si sulung yang telah tiga tahun tak memberikan kabar. Tiga tahun Kirei memendam rindu pada putra sulungnya. Dan kini tanpa disangka, ia tiba-tiba hadir di depan mata. Serasa mimpi. Bulir bening yang sesaat lalu menggenang, kini tak tertahan lagi untuk tak tumpah berderai, membasahi pipi halus Kirei. Punggungnya berguncang dalam pelukan putra sulungnya yang tak menunjukkan ekspresi apa pun. "Ya, Mom," jawab Tomaru datar. Sebelah tangannya memberikan usapan yang tak terlihat tulus pada punggung ibunya. "Kau seharusnya memberi tahuku kalau kau akan pulang, supaya bisa menyambutmu." Kirei memeluk erat putra sulungnya, menumpahkan kerinduannya. Shoujin yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa mematung dengan pikiran dan prasangka tak masuk akal. Entah itu nyata atau halusinasi, sang kakak terus mengawasi Michelle. Seingatnya sang kakak belum sekali pun bertemu dengan Michelle sebelum
Menjelang tengah malam, Shoujin dan beberapa orang temannya meninggalkan sebuah kafe. Mereka, yang merupakan anak didik sebuah sekolah memasak, baru saja merayakan keberhasilan mereka meraih hasil yang memuaskan dalam ujian akhir yang akan memberikan sebuah sertifikat yang kelak dapat digunakan sebagai bekal ketika mereka ingin bekerja di restoran, toko bakery dan pastry, atau hotel ternama. Shoujin sendiri mengambil spesialisasi pastry. Dan di usia yang baru menginjak lima belas tahun, ia menjadi yang termuda di antara teman-temannya. Namun, usia hanyalah angka yang tak akan menghentikan sebuah tekad. Sejak kecil, Shoujin telah tertarik untuk membuat pastry. Tampak ekspresi bahagia dari para remaja, laki-laki dan perempuan, yang sedang dalam masa pencarian minat dan menapaki masa depan itu. Berbeda dengan teman-temannya yang mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan gelak tawa, si introvert hanya tersenyum simpul. Ia tak begitu su
Cukup lama setelah Marc membukakan pintu untuk tamu yang membunyikan bel, pria itu kembali. Ia berdiri di ambang pintu kamar dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Mereka dari Kepolisian Springfield, ingin bertemu denganmu. Apa kau bisa menemuni mereka?" "Apa ada hubungannya dengan tewasnya kedua orang tuaku?" Shoujin menundukkan kepalanya lagi. "Kurasa begitu. Kau satu-satunya saksi kejadian itu." "Aku tidak melihat kejadiannya," elak Shoujin. Marc menghampiri Shoujin, lalu berjongkok di depannya. Tepukan pelan ia berikan pada pundak Shoujin untuk menguatkan mental bocah itu. "Aku tahu kau terpukul atas kejadian itu. Tapi kau tidak perlu khawatir. Jadi sebaiknya kau temui mereka dan katakan saja apa yang kau lihat. Aku akan ada bersamamu. Dan jika mereka berusaha menekanmu, aku akan meminta mereka pergi," tutur Marc dengan hati-hati. Ia lalu diam menunggu jawaban Shoujin. "Baiklah," akhirnya Shoujin menyetujui
Cukup sulit bagi Kenneth menemukan tempat yang dimaksud oleh Threat. Di mana Lakeside Hill Cafe itu berada? Tempat itu tak Kenneth temukan dalam peta digital maupun di situs mana pun di Internet. Ada sebenarnya di internet, tetapi sama sekali tak ada hubungannya dengan Middlesburg—tempat di mana seharusnya kafe itu berada, setidaknya itu menurut Kenneth. Yang membuatnya semakin sulit adalah Threat itu tak memberinya petunjuk apa pun. Ia juga telah mencoba mencari tahu tentang tempat itu dengan cara lama, yaitu bertanya kepada sesama manusia. Ia bertanya pada resepsionis di penginapan, sekuriti di sana, beberapa orang yang ditemuinya di taman kota dan polisi yang sedang beristirahat di dalam mobil patrolinya sambil memakan donat. Apakah ia juga harus mendatangi dinas pariwisata? Itu semua membuatnya berpikir bahwa ia telah datang ke kota yang salah. Kebuntuan itu menyadarkan Kenneth akan sesuatu, ia belum makan apa pun sejak dari Springfield. Perutnya berdemonstrasi m
Kurang lebih sepuluh menit selepas menurunkan Cathy dan Leah, Kenneth kini sampai di sebuah area di mana ia bisa melihat sebuah danau di sisi kiri jalan. Seharusnya ia sudah dekat dengan tempat yang dimaksud oleh Threat. Ia melihat pada jam digital di pergelangan tangannya. Dua puluh jam telah lewat sejak ia menerima pesan ancaman kedua dari Threat. Kenneth menurunkan kecepatan mobil yang dikemudikannya. Lakeside Hill Cafe, jika kafe itu dinamakan berdasarkan lokasinya, seharusnya kafe itu berada di sebuah bukit yang tak jauh dari sebuah danau. Ia sudah menemukan danaunya, jadi sekarang hanya tinggal mencari bukitnya saja. Kenneth mengeluarkan dari saku kiri jaketnya ponsel yang tak digunaknnya untuk bekerja—untuk lebih mudah, kita sebut saja dengan 'ponsel B'. Ia menelepon Cathy. "Halo." "Hai, Kenneth. Aku tak menyangka kau akan menelepon secepat ini." "Uhm ... apa kau tahu di mana ada bukit yang letaknya tak jauh dari danau?"