Dini hari, Keneth terjaga dari tidurnya. Saat efek dari pain killer memudar, nyeri pada belikatnya kembali mengganggu. Tidur pun terusik. Merasa tenggorokannya kering, Kenneth turun dari ranjang dan meninggalkan kamar, berjalan menyusuri koridor, menuruni tangga, menuju dapur.
Diambilnya sebuah gelas dari lemari gantung, lalu diisinya dengan air dingin dari dispenser hingga hampir setengah volume, kemudian sisanya diisi dengan air panas. Gelas hampir penuh. Lega, segelas air hangat cukup untuk membasahi sekaligus membersihkan rongga mulut Kenneth yang kering.
Saat hendak kembali menaiki tangga, penglihatannya menangkap adanya cahaya kecil yang cukup tajam berasal dari ruang keluarga. Ia pun mendekati sumber cahaya. Di sana, seonggok manusia berkepala pirang meringkuk di sofa yang menghadapap ke televisi, dengan headset terpasang di telinga dan terhubung pada ponsel yang tengah menayangkan sebuah video surfing milik sebuah kanal surfing
Shoujin berdiri mematung di depan kotak-kotak kaca berisi berbagai macam kadal dan ular. Matanya tertuju pada seekor python kecil berwarna oranye yang tengah berusaha menelan seekor tikus. Cukup lama ia berdiri di sana, hingga akhirnya ia bergeser melihat kotak kaca lain. Di dalam kotak itu, seekor iguana albino bertengger pada sebarang kayu artifisial. Shoujin mengambil iguana itu dari tempatnya bertengger. "Kau tertarik dengan yang itu?" Suara seorang wanita berusia lima puluhan akhir memecah keheningan. "Tidak juga, aku tidak suka kadal atau reptil apa pun. Hanya saja, ini pertama kali aku melihat yang seperti ini." "Itu favorit Owen. Harganya cukup mahal, tapi dia tak akan menjualnya," sahut Bruce, yang datang menyusul dengan membawa sekotak sayuran. Ia meletakkan kotak itu di atas etalase kaca, lalu berjalan ke pintu depan toko sekaligus rumahnya dan membuka pintu itu. Tak lama setelah Bruce membuka pintu depan toko, terdengarlah suara derak rolling door sedang dibuka. Satu pe
Garasi yang semula sempit dan tampak biasa saja telah menjadi garasi yang cukup luas dan memiliki perlengkapan modifikasi body yang cukup bervariasi. Sebaris schotclite dengan berbagai varian, 3 buah bemper, 4 spoiler, 2 set ban, 2 set velg. Semua berbeda model dan ukuran. Selain itu terdapat pula cat khusus mobil dan logam, juga kompresor. Lalu ada lembaran-lemabaran pelat logam yang telah terpotong dengan berbagai ukuran, yang semuanya menyesuaikan dengan ukuran pelat nomor mobil di berbagai wilayah. Pelat-pelat itu tersusun rapi dalam sebuah kotak besi. Bersebelahan dengan kumpulan pelat itu, ada beberapa kaleng cat semprot. Juga alat-alat mekanik elektrik maupun manual. Tanpa ragu lagi, Shoujin memulai prakarya yang telah lama tak disentuhnya. Sepertinya Shoujin tak akan tidur malam ini. Sebelum memulai pekerjaan, Shoujin mempersiapkan perlengkapan keselamatan. Perhatian Shoujin kini tertuju pada spoiler mobil. Sebagai langkah awal, Shoujin membuka pintu bagasi ke atas. Lalu, d
Malam semakin mendekati larut. Namun, bagi sebagian orang, larutnya malam bukanlah ukuran untuk menghentikan aktifitas, termasuk mengadakan sebuah pertemuan dalam urusan pekerjaan. Di ruang rapat Kepolisian St. Angelo, duduk berjajar dengan menghadap meja, Aaron, Zac dan seorang pria Afro berusia belasan tahun lebih tua dari mereka. Pria itu adalah Denver Aegermann—Kepala Divisi Kejahatan Pembunuhan-Perampokan Kepolisian St. Angelo. Masih dalam deretan yang sama, telah hadir pula Chief Robert Carlton, pemegang kekuasaan tertinggi Kepolisian St Angelo. Denver mengenakan setelan formal dengan dasi, tetapi tanpa jas. Robert sebaliknya, mengenakan setelah formal dengan jas, tanpa dasi. Sedangkan Aaron dan Zac hanya mengenakan setelan kerja tanpa dasi maupunn jas. Di hadapan mereka, di seberang meja, duduk seorang wanita yang terlihat seusia Aaron dan Zac, serta seorang pria yang diperkirakan seusia Denver. Pria itu masih mengenakan pakaian formal lengkap me
"Tunggu, aku seperti mengenal mobil ini." Aaron berjalan mendekati mobil yang sedang dikerjakan oleh tim D-Autowork, yang baru terpasang setengah bagian body-nya. Lebih tepatnya Aaron mendekat ke hidung mobil, lebih spesifik pada pelat nomor mobil itu. Ia membungkuk memperhatikan nomor polisi crossover itu. "Benarkah?" sahut Kenneth sambil berjalan kembali ke posnya—sudut di mana tire changer¹ berada. "Benar, ini mobil Zac." Aaron lalu memperhatikan kaki-kaki mobil yang masih menyisakan satu ban yang belum terpasang. "Zac?" tanya Kenneth memastikan sambil menarik sebuah laci di sebuah rak tak jauh dari tire changer. Lalu dari laci itu, Kenneth mengambil sebuah ponsel dan kunci mobil. "Ya. Zac. Kau tahu dia 'kan?" Aaron menyusul Kenneth. "Hum ... ini." Kenneth menyodorkan kunci mobil dan ponsel pada Aaron. "Aku meminjam kunci rumah, bukan kunci mobil. Dan untuk apa ponsel Nicky?" Aaron heran saat mene
Deru knalpot Evo dan Corvette semakin nyaring. Keduanya saling berbalas ejekan lewat deru knalpot. Tensi persaingan menjadi berat. Adrenalin meningkat. Memaksa jantung berdegup, memompa darah lebih cepat. Nafas pun terpacu. Menggebu, penuh semangat, penuh emosi. Nickymenoleh pada lawannya, mencari tahu sosok di belakang kemudi si biru. Tak terlihat. Persetan dengan siapa pun yang ada di sana. Lampu merah berganti hijau. Corvette dan Evo melesat. SUV Shawnmengekor. 3 detik setelah kedua mobil melesat, Corvette memimpin. 5 detik, Corvette semakin memperlebar jarak. "Tch ...!" Emosi Nicky terpancing. Ia pun menambah level gir. 3-4 dan kembali menginjak pedal gas dalam-dalam. Memperpendek jarak dengan Corvette. Tak terima SUVyang ditumpanginya tertinggal, Kevin pun geram. "Ayolah Shawn. M
Mobil crossover Zac telah selesai diperbaiki. Mobil itu kini tampak baru lagi. Sempurna. Kenneth dan Sean berdiskusi serius di ruangan di belakang bengkel. Beberapa loker berderet di ruangan itu. Sebuah bangku dengan empat seater juga tersedia di sana. Kenneth dan Sean duduk di bangku itu. "Aku akan ke West Coast malam ini. Baru saja aku mendapat informasi bahwa mereka akan bertransaksi di sana malam ini. Hanya saja aku belum mendapat titik tepatnya lokasi transaksi. Mereka akan bertransaksi di sebuah resor, di salah satu pulau di sana." Sean memaparkan rencana operasinya. Asap rokok mengepul dari mulutnya selagi ia bicara. "Kau sudah menghubungi Yuri?" "Sudah. Dan dia akan secepatnya ke sini dengan tambahan personel. Bagaimana denganmu?" "Seseorang mengajak taruhan Jumat malam. Aku tidak tahu pasti siapa dia. Tapi dari yang kudengar, dia masuk dalam jaringan pengedar di sini. Underzone yang memasoknya." Kenneth juga memapark
Kenneth membawa Evo-nya melaju menjauhi kebisingan kota yang semakin padat pada jam sibuk. Si pirang tertidur di bangku penumpang, di sampingnya. Matahari sedang mendekati titik tertinggi. Evo berhenti di halaman rumah, Nicky belum juga bangun. Kenneth keluar dari sisi pengemudi, berjalan melewati moncong mobil ke sisi penumpang. Dibukanya pintu di sisi di mana Nicky tertidur. Ia menepuk perlahan pundak Nicky. "Nicky, kita sudah sampai." Si pirang tak merespon. "Nicky." Kenneth kembali menepuk pundak si pirang. "Kau ingin aku membopongmu sampai ke kamar, huh? Jangan harap!" bisik lembut Kenneth di telinga mati saraf adiknya. Si pirang masih tetap bergeming dengan mata terpejam, nafas berhembus halus, dan dada naik turun teratur. Sekian detik Kenneth memanjakan mata. Jantungnya berdegup lagi. Lagi. Ia meneguk ludah, menahan sejuta pujian dan sumpah serapah agar tak meluncur deras dari mulutnya, demi melihat pemandangan yang lagi
"Hai ..., Grey." Terdengar suara seorang pria di seberang, tepat setelah Kenneth menekan tombol hijau. "Oh ya, Blue. Bagaimana kabarmu?" basa-basi Kenneth. "Aku sedang bersemangat. Tempat ini memiliki banyak gadis cantik. Jadi ... aku sudah di kotamu sekarang." "Oke. Aku ada waktu setelah jam delapan," jawab Kenneth. Ia mengerti apa yang diinginkan pria di seberang meski tanpa bertanya. "Spot?" "Pintu masuk barat. Bukankah kau akan ke sana?" "Ya. Aku akan menemui Smoker setelah kau." "Oke." Sambungan terputus. Kenneth menoleh pada si pirang yang masih tertidur pulas. Sepuluh menit lewat dari pukul dua siang. Tak tega mengusik ketenangan adiknya, tetapi ia harus membangunkannya. "Nicky, bangun! Sudah jam dua." Keneth menepuk pelan pundak Nicky. Nicky bergeming. "Sudah waktunya ke Palmline." "Huum ..." Nicky mengerang, "Sepuluh menit lagi." "Kau mau