"Aku ingin Irena, Nia. Silakan saja kalau kamu mau menikah dengannya, tapi tak akan kubiarkan laki-laki itu menggantikan posisiku di hatinya. Dia laki-laki yang sudah mencampakkanmu begitu saja, Nia. Apakah kamu amnesia?" Laki-laki itu kembali menatapku tajam, tak berkedip beberapa saat lamanya. "Kamu yang amnesia, Mas. Kamu yang selingkuh, kamu pula yang menuduhku macam-macam. Jangan suka mengkambinghitamkan orang lain!" sentakku kemudian. Mas Reza menoleh ke arahku lalu mengedipkan matanya mungkin sebagai pertanda agar aku tak terlalu meladeninya. "Kamu belum terlalu mengenal Irena, Bian. Aku pegang kartu dia karena dia adalah mantan sepupuku. Tepatnya mantan istri sepupuku. Mungkin kamu sudah tahu akan hal itu," ucap Mas Reza saat akan membuka pintu mobilnya. Mas Bian terdiam sejenak lalu mendorong kasar Mas Reza hingga terbentur tembok. Spontan aku menjerit dan berusaha memisahkan mereka berdua. "Apa-apaan sih kamu, Mas! Kasar banget." "Kasar apanya? Hanya ingin kasih secui
Seminggu berlalu, tak ada teror Mas Bian ke rumah. Aku cukup bersyukur dan tenang tak mendengar kegaduhannya. Sebab setelah kedatangannya yang pertama itu selang dua hari kemudian dia datang lagi dengan membawa perempuannya. Perempuan itu, entah mengapa mau aja diajak ke rumah ibu bahkan meminta Irena untuk tinggal bersamanya. Mereka datang saat aku tak ada di rumah dan masih sibuk di restoran. Beruntung sekali Irena bersikeras tak mau ikut meski diimingi apapun. Ibu yang menceritakan semuanya. Mas Bian begitu memohon dan bilang itu permintaannya yang terakhir. Kalau memang Irena tetap tak ingin diajak pergi, dia tak akan lagi memaksa setelah ini. Semoga saja begitu, sebab Irenaku memang tak ingin pergi bersamanya sekalipun dengan iming-iming boneka doraemon yang jauh lebih besar dibandingkan bonekanya yang baru itu. "Rena suka dan sangat sayang sama boneka ini, Pa. Ini yang beliin Om Reza. Dia baik sekali sama Rena. Sama mama dan nenek juga sama baiknya." Begitulah ucapan gadis
Pov : Bian Jarum jam hampir menunjuk angka delapan malam. Seperti biasa aku baru pulang. Akhir-akhir ini aku memang sering lembur di kantor. Sama seperti dulu saat aku bersama Dania. Bedanya, dulu aku lembur dengan suka rela, tanpa paksaan dari siapapun karena aku sendiri yang menginginkannya demi menjaga kewarasan.Aku lembur agar tak terlalu lama di rumah melihat Dania, itu saja. Namun kini dunia seolah berbalik mengejekku. Aku yang kini terpaksa lembur demi menuruti permintaan Irena. Dia yang tak puas dengan gaji bulananku padahal jelas semua gaji itu kuberikan padanya. Istriku itu menekanku dengan berbagai alasan agar aku tetap mencari uang lebih untuk jatah bulanannnya. Dia ingin memperlihatkan kesuksesannya di depan saudara-saudara mantan suaminya termasuk adik madunya. Dia yang sengaja memamerkan apapun yang kuberikan padanya, seolah tak peduli padaku yang tenggelam dalam dunia kerja dan segala rutinitas kantor yang cukup membosankan. Sering kali aku protes, tapi Irena t
Ingin rasanya kutumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Rasa yang selama ini kusimpan rapat sendiri karena tak ingin membuat Irena terluka dan kecewa. Kini mungkin sudah waktunya kuluapkan semuanya agar Irena tahu aku tak lagi sesabar itu. Aku juga punya hati dan rasa kecewa atas segala sikapnya. Aku yang tak pernah sekalipun menyangka akan mendapatkan perlakuan seburuk ini darinya. Aku merasa gagal dan kalah sekarang karena Dania seolah begitu bahagia setelah berpisah denganku sementara hidupku justru berantakan setelah berpisah dengannya. Teringat kembali bagaimana mama selalu mengingatkanku dulu untuk mencintai Dania dengan tulus sebab dia perempuan yang baik dan setia. Aku kembali teringat senyum tulusnya tiap kali aku pulang kerja. Dia menawariku pijatannya. Menata sepatuku ke rak dan menyiapkan teh hangat juga makan malam untukku. Meski aku jarang memakannya karena sudah makan di luar. Kini semua berubah. Bukan karena kesalahannya, tapi karena keegoisanku sendiri
Pov : Bian|Mas, gimana uangnya? Dania mau meminjamkan uangnya buat kita, kan?| Pesan dari Irena membuatku semakin pusing. Tak seharusnya dia terlalu berharap pada Dania karena belum tentu dia mau meminjamkan uang seratus juta itu. Padahal Dania saja tak peduli bahkan memintaku untuk memecahkan masalah itu sendiri. |Kenapa nggak kamu balas, Mas? Apa kamu masih ngobrol dengan mantan istrimu itu?| Aku kembali membaca pesan kedua dari Irena yang masuk di whatsapp. Mungkinkah semua ini memang sandiwaranya saja untuk mendapatkan uang Dania? Sebab selama ini Irena memang sangat menginginkan uang restoran itu, tapi setega itukah dia melibatkan Rizqi untuk ambisinya ini?Apa Irena pikir dengan alasan penculikan Rizqi, Dania mau meminjamkan uang itu? Padahal jelas Dania tak sebodoh yang dia kira. Hatinya cukup kuat dan peka. Dia pasti tak percaya begitu saja dengan ceritaku. Jangankan Dania, aku sendiri masih ragu apakah ini murni penculikan atau sekadar akal-akalan Irena saja. Aku benar-b
Irena belum jua mundur. Dia masih berusaha merayuku, lebih tepatnya memaksaku untuk memenuhi keinginannya itu. Setelah sekian menit terdiam, suara itu kembali terdengar. Suara yang dulu begitu kurindukan entah mengapa kini terdengar menyesakkan. "Pinjam mama, Mas. Aku yakin tabungan mama banyak. Kalau mobilku dijual, bagaimana aku antar jemput Rizqi ke sekolah? Bagaimana kalau kami pengin jalan-jalan saat kamu di kantor? Nggak mungkin naik motor, kan? Panas, Mas. Bisa juga kehujanan. Apa kamu nggak mikir sampai sana?" "Bisa naik taksi. Semua bisa diatur, Irena. Yang penting sekarang Rizqi selamat dan kembali ke kita. Itu saja," sahutku tak mau kalah. Aku nggak akan membiarkan Irena terus mencecar dan memanfaatkanku demi ambisinya. Aku nggak mau melibatkan mama dengan rumah tanggaku dengannya. Aku malu. "Kalau memang kamu nggak mau pinjam mama, biar aku yang pinjam sendiri ke sana. Meski mama tak merestuiku menjadi menantunya, aku yakin mama tak akan membiarkan cucunya disekap pe
Pov : Bian"Tunggu!" Aku berteriak sembari mempercepat langkah ke arah laki-laki kekar itu. Dia hampir saja memacu mobilnya meninggalkan area parkir super market. Laki-laki bernama Zaky itu pun membuka setengah kaca jendelanya lalu menatapku lekat. Dia menelitiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Begitu detailnya."Siapa kamu?" tanyanya singkat. "Aku adalah suami dari perempuan yang baru saja kamu temui," balasku. Zaky kembali mengernyit saat aku mengangguk yakin atas jawabanku sendiri. "Irena?" tanyanya singkat sembari tersenyum miring. "Kamu bawa ke mana anakku?""Apa? Coba ulangi?" Aku yakin dia pura-pura tak mendengar sebab suaraku cukup keras jika didengar oleh telinga normal. "Dimana Rizqi? Kenapa kamu culik anakku?" sentakku kemudian. Namun laki-laki itu justru tertawa lebar. "Siapa? Anakmu?" tanyanya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Senyumnya miring seperti semula seolah begitu mengejekku. "Seyakin itu kalau Rizqi adalah anakmu?" "Aku sudah nikah sama ibuny
"Mama kenal dengan mamanya Irena?" tanyaku lagi agar mama berniat untuk menceritakan sebagian besar masa lalunya. Setidaknya agar aku tahu alasan apa saja yang membuat mama tak pernah ridho hubunganku dengan Irena. "Namanya Siska. Mama memang nggak terlalu kenal, tapi cukup tahu karena dia yang menghancurkan rumah tangga Bude Vina," ucap mama dengan nada kesal. Bude Vina adalah kakak kandung papa yang kini tinggal di Semarang. Aku tak tahu apa maksud mama, tapi bisa menebak jika perceraian Bude Vina dengan suaminya dulu itu berarti ulah mamanya Iren begitu sepertinya. Bude Vina yang hingga detik ini lebih memilih menjanda dengan dua orang anaknya-- Fian dan Fano daripada menikah lagi. Entahlah. "Mama mertuamu itu dulu merebut Om Sonny dari Bude Vina. Om Sonny bahkan menikah siri dengan perempuan itu saat masih menjadi suami Bude Vina. Karena itulah Bude Vina menggugat cerai. Namun entah mengapa akhirnya mereka berpisah. Perempuan itu meninggalkan Om Sonny begitu saja dan kembali m