Pov : DaniaDetik ini, aku kembali ke butik Alexandra setelah beberapa hari yang lalu ke sini bersama Mas Reza untuk memilih kebaya. Warna abu muda menjadi pilihan untuk akad nikah nanti sementara resepsi memakai warna putih gading. Hiasan swarovski dan bordiran tampak cantik menghiasi sisi depan kebaya. Bagian bawah menjuntai dengan ekor cukup panjang. Begitu menawan dan elegan. Ibu bilang aku akan tampak begitu cantik dengan kebaya itu di acara spesial nanti. Aku pun berharap demikian, mampu memberikan kenangan terindah dan teristimewa dalam hidupku untuk mereka yang kucinta. Tak terkecuali Mas Reza. "Gimana kebayanya, Mbak Nia? Sudah pas atau ada yang perlu dirombak lagi?" tanya Mbak Niken designer sekaligus pemilik butik Alexandra ini. Perempuan cantik itu tersenyum menatapku yang masih berdiri di depan kaca besar, mengamati tubuhku dengan kebaya putih gading itu. Rasanya cukup berbeda saat mencoba kebaya ini. Aku tak menyangka jika akhirnya bisaencoba kebaya yang akan kupakai
"Nia, jangan melamun. Berbahaya," ucap mama tiba-tiba saat melihatku sedikit oleng. Kuucap istighfar beberapa kali saat mobil ini hampir menabrak trotoar. "Iya, Ma. Maaf," balasku singkat sembari melirik Irena yang masih sibuk dengan bonekanya. Boneka baru dari Omanya di jok belakang. "Biar mama yang nyetir gimana?" tawar mama kemudian saat melihatku memijit kening. Aku pun mengangguk pelan lalu menukar tempat dengan mama. Kini mama yang pegang kendali sementara aku duduk di sebelahnya. Irena tetap di belakang dengan aneka mainan dari Omanya. "Loh itu bukannya Irena?" tanya mama kemudian saat baru memasang seat belt. Perempuan yang ditunjuk mama itu masih di seberang jalan. Duduk di kursi cafe bersama seorang laki-laki dan anak semata wayangnya. Rizqi. "Bukannya dia bilang melaporkan penculik itu ke polisi? Kenapa sekarang mereka bertemu bahkan makan siang bersama?" gumamku pada mama yang masih memperhatikan menantunya. Beberapa kali mama membidikkan kamera ke arah Irena dan lak
Pov : Dania Ponsel di tas kecilku berdering saat aku baru keluar dari mini market untuk membeli minuman dingin. Nama Om Herman muncul di layar. Sembari melangkah ke area parkir, aku menerima panggilan dari papa Mas Reza itu. Mama yang masih menunggu di dalam mobil bersama Irena pun mengambil kantong kresek di tanganku lalu memberikan susu kotak dan biskuit yang baru saja kubeli itu untuk Irena. Sementara mama sendiri membuka botol minuman dingin pesanannya. "Assalamu'alaikum, Om. Gimana kabarnya? Tumben telpon siang-siang begini," ucapku setelah menekan tombol hijau di layar untuk menerima panggilan itu. Gegas kututup pintu mobil lalu memakai seat belt. Sementara benda pipih hitam itu kuletakkan di pangkuan. "Wa'alaikumsalam, Nia. Alhamdulillah kabar Om baik-baik saja. Kamu di mana sekarang?" tanya Om Herman dengan suara parau. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan."Masih di depan mini market, Om. Ada apa?" Perasaan was-was pun mulai muncul. Dada semakin berdebar menanti jawab
Sampai rumah sakit, mama memintaku untuk pergi lebih dulu. Sementara dia dan Irena akan menyusul kemudian. Mama tahu aku cukup panik dan ingin segera tahu bagaimana keadaan Mas Reza detik ini, karena itulah mama memberiku kesempatan untuk jalan lebih dulu dan tak harus menunggunya dan Irena. Setengah berlari aku menuju ruang UGD. Kulihat Om Herman dan sopir pribadinya sedang menunggu tak jauh dari pintu. Pak Joko terlihat berusaha menenangkan Om Herman yang masih menyandarkan punggung ke kursi tunggu sembari memejamkan mata ke arah langit-langit ruang. Laki-laki terhebat yang begitu disayangi Mas Reza itu duduk gelisah. Kakinya bergerak-gerak tak tenang meski kedua matanya tetap terpejam. Pak Joko mencolek lengan kiri bosnya saat melihatku datang. Aku yang kini tak mampu berkata apa-apa, hanya berdiri beberapa langkah dari mereka. Air mata ini sudah berusaha kubendung, tapi nyatanya pertahananku jebol juga. Aku tak mampu menahan bulir bening itu dari kedua mataku.Melihat kedatanga
Pov : DaniaHari bahagia pun tiba. Hari dimana begitu kutunggu di setiap detiknya. Sepertinya tak hanya aku, tapi juga Mas Reza. Dia yang semakin perhatian dan pengertian tiap harinya, membuatku benar-benar merasa menjadi wanita yang istimewa. Aku dihargai, dicintai dan dihujani perhatian. Perempuan mana yang tak semakin cinta jika diperlakukan demikian? Apalagi jika pengalaman sebelumnya cukup menyakitkan. Tak pernah mendapatkan timbal balik yang sama sekalipun sudah banyak berkorban dan mempersembahkan segenggam cinta yang kupunya. Ah tak apa. Adakalanya masa lalu yang pahit membuat kita banyak belajar dan mengambil hikmah di dalamnya. Setidaknya agar sadar bahwa pengorbanan dan ketulusan kita tak selamanya dihargai bahkan bisa saja hanya dipandang sebelah mata. Tak perlu disesali. Tetap yakin jika ketulusan pasti akan mendapatkan balasannya sendiri. Jika bukan dari dia yang kita perjuangkan, bisa jadi dari dia yang memperjuangkan kita. Dia sudah memberikan porsi yang pas unt
Mama menatapku beberapa saat lalu mengangguk pelan dengan senyum tipis di kedua sudut bibirnya. Kulihat mama ikut bahagia saat melihatku dan Irena saling peluk dengan senyum lega. Meski harapan mama sebenarnya adalah melihatku rujuk dengan Mas Bian, tapi mama mengesampingkan egonya karena tahu aku dan anak lelakinya memang tak bisa kembali bersama.Setelah menghela napas panjang, kulihat dari gerak bibirnya, mama mengucapkan selamat padaku. Aku pun membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala. Tak selang lama terdengar doa-doa yang dipanjatkan sang penghulu, berharap pernikahan ini langgeng dan bahagia. Tak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Para tamu mengaminkan doa-doa itu lalu Mas Reza menodongkan tangannya ke arahku agar aku mencium punggungnya. "Cium tangan dulu, sudah halal ini," bisiknya kemudian membuat wajahku kembali merona. Aku pun mengikuti perintahnya. Mencium punggung tangan itu dan menghirup aromanya, sementara Mas Reza mencium puncak kepalaku perlahan seray
Pov : DaniaLaki-laki itu, dengan matanya yang memerah dan rahang mengeras tiba-tiba mengambil sesuatu dari dalam box-nya, tepat di saat Mas Reza mulai menurunkan tangannya karena tak mendapatkan sambutan dari Mas Bian. Entah bagaimana kejadiannya mendadak Mas Reza berteriak lalu memegangi lengannya yang terluka. Darah mulai menetes di sana. Suasana makin tak terkendali saat laki-laki yang pernah seranjang denganku empat tahun lamanya itu mulai mengamuk. Dia berusaha melukai Mas Reza kembali meski Mas Fano sudah membekuk laki-laki itu. Pisau tajam itu terlepas dari genggaman Mas Bian saat Mas Fano mencengkeram lengannya dan menarik keduanya tangan mantan iparnya itu ke belakang. Badanku lemas seketika saat melihat Mas Reza meringis kesakitan. Papa berusaha mengikat lengannya dengan perban lalu mengantarnya ke klinik. Mereka memintaku untuk tetap tenang dan di rumah. Berharap lukanya tak terlalu dalam dan tak banyak jahitan. Beruntung Irena sudah diajak ibu ke kamarnya sebelum insi
Mas Fano dan Mas Bian saling tatap. Keduanya nyaris baku hantam andai mama tak melerai."Fano ... Fano. Tolong, maafkan Bian. Akhir-akhir ini dia memang tak stabil. Biar mama antar pulang saja sekarang daripada bikin onar di sini," ucap mama dengan tangis yang mulai terdengar. "Kamu tadi naik apa, Bi?" Mama berbisik ke telinga Mas Bian. "Ojek, Ma. Dari rumah Rudy, aku langsung ke sini dengan ojek." Mama pun mengangguk pelan lalu berusaha berdiri sembari memapah Mas Bian untuk diajak pulang. Kulihat ibu keluar dari kamar Irena sembari menatapku lekat. Aku yakin sebenarnya ibu juga mendengar keributan tadi, hanya saja ibu memilih bersama Irena di kamar dibandingkan menyaksikan keributan di rumahnya pasca resepsi pernikahan anaknya. "Maafkan Bian, Sar. Aku akan berusaha menasehatinya lagi untuk tak selalu mengganggu Dania. Sekali lagi tolong maafkan dia," ucap mama sembari menyeka bulir bening yang menetes di kedua pipinya. "Jangan begitu, Mbak. Aku sudah memaafkan Bian. Walau baga