Pov : BIAN |Mas, dokumen-dokumen penting yang kusimpan di bawah almari pasti kamu yang ambil, kan? Kamu simpan di mana, Mas?| |Mas, sekarang kamu di mana? Apa di rumah mama?| |Kenapa nggak angkat teleponku dan balas pesanku dari semalam, Mas? Apa kamu sengaja menghindar dariku?|Banyak sekali pesan yang dikirimkan Irena sejak semalam. Aku hanya membacanya, tak berniat membalas. Biar dia merasakan apa yang kurasakan saat itu. Aku yang sibuk menghubungi dan mencari tahu keberadaannya, tapi ternyata dia menghilang entah di mana. Bahkan saat pulang ke rumah pun dia hanya bilang ke rumah teman dengan handphone lowbat dan lupa isi baterai. Sesimple itu seolah aku bukan suaminya yang begitu mengkhawatirkan kedaannya. Seolah dia bukan seorang istri yang harusnya menjaga amanah suami dan izin tiap kali pergi. Bodohnya aku dulu yang terus memaafkan dan memaklumi semua kesalahannya yang kadang disengaja. Aku yang selalu mencintainya dengan tulus dan tak terlalu peduli dengan kemunafikannya
"Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Bi. Mama sangat bersyukur jika akhirnya kamu menyadari semuanya. Mama sangat bersyukur. Yang lalu biarlah berlalu. Mungkin memang itulah jalan hidupmu. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah masa depan. Jangan sampai masuk ke lubang yang sama. Mama yakin kelak kamu akan menemukan seseorang yang begitu menyayangimu dan mau menerimamu apa adanya. Percayalah."Aku kembali menghela napas lalu mengusap kedua pipi mama yang basah. Wanita yang biasanya selalu tersenyum dan tertawa itu detik ini cukup berbeda. Baru kali ini kulihat mama begitu terluka dan menitikkan air mata lagi setelah kepergian papa beberapa tahun silam. Itu berarti keputusanku untuk berpisah dengan Irena memang benar. Mama mendoakan bahkan memintaku untuk segera pergi dari Irena. Perempuan yang bilang terlalu beruntung suami sepertiku setia. "Pakai mobil mama saja, Bi. Daripada kamu naik ojek," tawar mama saat ojek online yang kupesan sudah datang. Aku dan mama yang sed
Pov : Dania "Mas, mama mengucapkan maaf atas ulah Mas Bian tempo hari," ucapku sembari mengganti kasa di lengan Mas Reza. Mas Reza hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Mama juga bilang kalau Mas Bian sangat menyesal sudah melakukan tindakan bodoh itu. Dia benar-benar frustasi dengan nasibnya, Mas. Makanya melakukan semua itu, tanpa pernah memikirkan akibatnya," ucapku lagi. "Iya, aku juga tahu. Semoga Bian benar-benar sadar. Meski begitu, aku tetap harus bertemu dengannya," ucapnya lagi. Aku pun mengiyakan saja.Tiga hari pasca pernikahanku dengan Mas Reza, aku memang diboyong ke rumah papa. Kami tidur di lantai atas bersebelahan dengan kamar Irena. Gadis kecilku pun sudah memiliki kamar sendiri dengan pintu bersebelahan dengan kamarku. Sementara papa tidur di kamar bawah. "Mama, kamar Irena bagus sekali. Rena suka warnanya. Pink yang cantik,"ucapnya saat pertama kali menginjakkan kaki di kamar barunya. Dia sangat bersyukur dan mengucapkan terima kasih pada Mas Reza ya
Jarum jam menunjuk angka dua belas lebih sepuluh menit. Aku dan Mas Reza sudah smpai di cafe yang tak jauh dari kantor Mas Bian. Sengaja kuminta mama untuk memberitahu Mas Bian soal pertemuan ini. Kupikir Mas Bian akan menolak, tapi ternyata dia mau bertemu dengan Mas Reza di tempat ini. Sesuai rencana. Mas Reza baru memesan dua minuman untukku dan untuknya sembari menunggu Mas Bian datang. Kuaduk gelas panjang berisi jus alpukat itu perlahan lalu menikmati kesegarannya, sementara Mas Reza memesan lemon tea dengan kentang goreng krispi di atas meja. Aku dan Mas Reza masih mengobrol banyak hal. Tentang usahanya yang kini fokus ke properti. Usaha yang lama dihandle oleh papa. Mas Reza juga bilang memiliki kost-kostan dua puluh pintu yang dia beli dari hasil usahanya dulu. Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya kulihat laki-laki di masa laluku itu mulai melangkah perlahan dari arah pintu. Dia mengenakan kemeja berwarna abu muda dan celana hitam seperti biasanya. Melihatku tengah
Pov : Dania Hari keempat pernikahan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, sementara Mas Reza masih duduk santai di sofa kamar sembari fokus di layar handphonenya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak lalu menoleh ke arahku. Seketika bibirnya mengulum senyum. Setelah itu, Mas Reza menutup handphone dan meletakkannya di atas meja. Dia tak beranjak dari sana, hanya menatapku lekat sambil melipat tangan ke dada. Dia seakan mengoreksiku dari kaki sampai puncak kepala, membuatku sedikit bertanya-tanya. Adakah yang salah dari pakaian yang kukenakan detik ini? Kuhentikan tanganku yang masih mengeringkan rambut dengan handuk. Aku menghela napas panjang lalu membulatkan kedua mata saat Mas Reza masih saja meneliti baju tidur yang kukenakan. Aku mendadak salah tingkah karena tatapan anehnya. Berulang kali kuperiksa, sepertinya tak ada yang salah, tapi entah kenapa lelakiku itu senyum-senyum sendiri menatapku sedari tadi."Ngapain sih, Mas? Ada yang aneh?" Di depan cerm
Pov : Dania Pagi menjelang. Papa dan Mas Reza masih asyik berbincang di ruang keluarga, sementara Bi Minah sibuk di dapur. Setelah membersihkan kamar Irena dan kamarku, aku baru turun ke lantai bawah. Dua cangkir kopi terhidang di meja. Lengkap dengan camilannya. Papa tampak tersenyum lebar saat mendengarkan cerita Mas Reza tentang usaha barunya. Selalu memberikan semangat pada anak lelakinya itu agar berusaha lebih baik lagi untuk mengembangkan usahanya. "Nia, duduklah sebentar. Papa mau bicara," ucap papa sembari melambaikan tangannya ke arahku di ujung tangga. Gegas melangkah menuju sofa dan duduk di samping Mas Reza. "Sebenarnya papa mau bilang kalau nanti sore kakak iparmu datang dari Pontianak. Dia dan istrinya pindah ke rumah ini sebab usahanya di sana gulung tikar." Papa tampak menghela napas sembari mencoba untuk tersenyum meski kutahu setengah dipaksa. Entah kakak yang mana aku pun tak tahu, sebab setahuku Mas Reza anak semata wayang papa dengan almarhum mama. Mungkink
Pov : DaniaJam enam pagi aku dan Mas Reza sudah bersiap-siap pergi. Aku pun sudah menyiapkan keperluan Irena. Gadis kecilku itu masih sedikit mengantuk sebab semalam tidur sedikit telat. Dia keasyikan bermain dengan Rista-- keponakan Mas Reza yang baru datang kemarin sore. "Kalian jadi pulang pagi ini, Za?" tanya Papa saat sarapan bersama. Mas Reza mengalihkan pandangannya ke arahku lalu tersenyum. "Jadi, Pa. Mau buat kejutan buat Dania kuga, kan?" balasnya dengan senyum yang sama. Papa pun manggut-manggut. Sepertinya sudah tahu apa kejutan yang dimaksud anak lelakinya itu."Papa nggak bisa antar, mau cek toko dulu. Sepertinya sudah mulai renovasi.""Iya, Pa. Nggak apa, nanti ke sana saat syukuran saja juga oke," balas Mas Reza lagi. Papa mengiyakan. Mas Reza pun mengatakan hal yang sama pada kakak lelakinya untuk datang ke rumah saat syukuran nanti. Tanpa banyak obrolan, Mas Reza gegas memintaku untuk mengambil koper di kamar dan menyiapkannya di ruang tamu. Setelah selesai sara
|Ma, Bakda ashar datang ke rumah ya? Ada syukuran kecil-kecilan. Ternyata yang beli rumah Mas Bian itu adalah Mas Reza, Ma. Nia juga nggak nyangka jika dia menghadiahkan rumah ini untuk Nia dan Irena| Kukirim pesan itu untuk mama. Ibu dan Mas Fano pun cukup kaget saat aku mengabarkan soal ini pada mereka. Bahkan Mas Fano sempat menghubungi temannya untuk menanyakan soal itu. Masih teringat ucapan Mas Fano kemarin saat dia baru saja menelpon Mas Irfan. "Ternyata Irfan memang disuruh Reza untuk menyembunyikan ini dari kita, Nia. Dari awal dia ingin memberikan kejutan untukmu. Romantis juga dia," ucap Mas Fano kemarin sembari tertawa lebar. "Tak hanya romantis, Mas. Dia juga perhatian, tanggungjawab dan sayang sama Irena," balasku kemudian. Aku dan Mas Fano pun sama-sama tertawa. |Rumah kamu dan Bian dibeli Reza sebagai hadiah perkawinan kalian?|Balasan dari mama cukup mengagetkan. Sesuai dugaan, mama juga kaget mendengar cerita dariku. Mas Reza berhasil membuat semua orang terkeju