Pov : Dania Pagi menjelang. Papa dan Mas Reza masih asyik berbincang di ruang keluarga, sementara Bi Minah sibuk di dapur. Setelah membersihkan kamar Irena dan kamarku, aku baru turun ke lantai bawah. Dua cangkir kopi terhidang di meja. Lengkap dengan camilannya. Papa tampak tersenyum lebar saat mendengarkan cerita Mas Reza tentang usaha barunya. Selalu memberikan semangat pada anak lelakinya itu agar berusaha lebih baik lagi untuk mengembangkan usahanya. "Nia, duduklah sebentar. Papa mau bicara," ucap papa sembari melambaikan tangannya ke arahku di ujung tangga. Gegas melangkah menuju sofa dan duduk di samping Mas Reza. "Sebenarnya papa mau bilang kalau nanti sore kakak iparmu datang dari Pontianak. Dia dan istrinya pindah ke rumah ini sebab usahanya di sana gulung tikar." Papa tampak menghela napas sembari mencoba untuk tersenyum meski kutahu setengah dipaksa. Entah kakak yang mana aku pun tak tahu, sebab setahuku Mas Reza anak semata wayang papa dengan almarhum mama. Mungkink
Pov : DaniaJam enam pagi aku dan Mas Reza sudah bersiap-siap pergi. Aku pun sudah menyiapkan keperluan Irena. Gadis kecilku itu masih sedikit mengantuk sebab semalam tidur sedikit telat. Dia keasyikan bermain dengan Rista-- keponakan Mas Reza yang baru datang kemarin sore. "Kalian jadi pulang pagi ini, Za?" tanya Papa saat sarapan bersama. Mas Reza mengalihkan pandangannya ke arahku lalu tersenyum. "Jadi, Pa. Mau buat kejutan buat Dania kuga, kan?" balasnya dengan senyum yang sama. Papa pun manggut-manggut. Sepertinya sudah tahu apa kejutan yang dimaksud anak lelakinya itu."Papa nggak bisa antar, mau cek toko dulu. Sepertinya sudah mulai renovasi.""Iya, Pa. Nggak apa, nanti ke sana saat syukuran saja juga oke," balas Mas Reza lagi. Papa mengiyakan. Mas Reza pun mengatakan hal yang sama pada kakak lelakinya untuk datang ke rumah saat syukuran nanti. Tanpa banyak obrolan, Mas Reza gegas memintaku untuk mengambil koper di kamar dan menyiapkannya di ruang tamu. Setelah selesai sara
|Ma, Bakda ashar datang ke rumah ya? Ada syukuran kecil-kecilan. Ternyata yang beli rumah Mas Bian itu adalah Mas Reza, Ma. Nia juga nggak nyangka jika dia menghadiahkan rumah ini untuk Nia dan Irena| Kukirim pesan itu untuk mama. Ibu dan Mas Fano pun cukup kaget saat aku mengabarkan soal ini pada mereka. Bahkan Mas Fano sempat menghubungi temannya untuk menanyakan soal itu. Masih teringat ucapan Mas Fano kemarin saat dia baru saja menelpon Mas Irfan. "Ternyata Irfan memang disuruh Reza untuk menyembunyikan ini dari kita, Nia. Dari awal dia ingin memberikan kejutan untukmu. Romantis juga dia," ucap Mas Fano kemarin sembari tertawa lebar. "Tak hanya romantis, Mas. Dia juga perhatian, tanggungjawab dan sayang sama Irena," balasku kemudian. Aku dan Mas Fano pun sama-sama tertawa. |Rumah kamu dan Bian dibeli Reza sebagai hadiah perkawinan kalian?|Balasan dari mama cukup mengagetkan. Sesuai dugaan, mama juga kaget mendengar cerita dariku. Mas Reza berhasil membuat semua orang terkeju
Pov : BianAku memikirkan banyak hal, terutama soal rumah tanggaku dengan Irena. Istikharah pun sudah kulakukan berkali-kali. Tak ingin kembali sakit hati, akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri hubungan tak jelas ini. Berpisah dengan Irena sudah menjadi keputusan bulat.Cinta yang dulu mekar dan bersemi justru semakin hilang ditelan waktu. Dia telah menipuku, bagaimana mungkin aku terus mengalah dan menghujaninya dengan cinta? Kuucap salam sembari menata sepatu di rak setelah sampai di teras rumah. Terdengar langkah kaki Irena dengan terburu ke arahku. Pintu terbuka, perempuan yang setahun terakhir kunikahi itu pun tersenyum ceria saat melihatku membawa sekotak kado. Seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya, aku akan pulang memberinya kado sembari meminta tanda tangan itu. Dia pasti tak akan berpikir panjang dan asal tanda tangan setelah melihat isi kadonya. "Mas, aku nungguin dari pagi loh. Kamu simpan dokumen itu nggak?," tanya Irena dengan tatapan curiga. "Ada di kamar. Mung
Kuhela napas panjang setelah berhasil mendapatkan tanda tangan Irena. Semua rencana beres. Berkas itu pun segera kumasukkan ke dalam tas lalu mengambil kado lain yang memang sudah kusiapkan semuanya. Aku yakin Irena nggak akan curiga."Ini apa, Mas?" tanya Irena lagi saat kuberikan kotak kecil itu padanya. Wajahnya semakin berbinar. Andai dia menghargaiku sebagai suami, aku tak mungkin mengambil keputusan untuk berpisah dengannya. "Buka aja." Irena mengangguk lalu buru-buru membuka kadonya. Kedua matanya membola saat melihat isi kado itu. "Cincin?" "Iya, Sayang. Sengaja kubelikan itu karena kalung dan cincin yang kubelikan dulu sudah kamu jual, kan? Kamu pakai buat apa Mas juga nggak tahu.""Iya, Mas. Sudah kepakai buat makan sehari-hari. Sudahlah, nggak perlu terlalu dipikir pusing. Yang penting sekarang sudah kamu ganti yang baru. Mimpi apa aku semalam bisa mendapatkan kejutan dobel seperti ini. Sayang banget sama kamu kalau selalu kasih kado begini, Mas," ucap Irena spontan. D
Pov : BianTiga hari di rumah membuatku benar-benar tak betah. Aku sengaja pulang saat jam makan siang, tapi Irena tak pernah ada di rumah. Telponnya pun tak aktif. Entah di mana dia. Bukankah seorang istri harusnya selalu izin suami saat dia keluar rumah? Namun Irena benar-benar berbeda. Bahkan dia pergi sesuka hatinya. Tak peduli statusku sebagai suami. |Bi, kamu di mana sekarang?|Pesan dari mama membuatku beranjak dari sofa. Biasanya kalau tanya begini, mama ingin bertemu atau ada sesuatu yang diinginkannya. |Di rumah, Ma. Tadi ada meeting sekitar sini, jadi sekalian mampir ke rumah ambil sesuatu. Ada apa, Ma?| Kukirimkan balasan untuk mama. Aku khawatir mama memikirkan tentang rumah tanggaku bersama Irena. Meski aku tak menceritakan semuanya, tapi aku yakin mama tahu kalau pernikahanku dengan Irena memang tak bahagia. Tak selang lama mama mengirimkan beberapa foto padaku. Tampak Rizqi bersama laki-laki itu tengah sibuk belanja jaket di sebuah mall. Foto-foto berikutnya munc
Mas, buat apa uang segini?" tanya Iren sembari memperlihatkan lembaran uang yang baru saja diambilnya dari Atm. Aku tak terlalu peduli dengan pertanyaannya. Tak membalas, fokus melepas kaos kaki dan sepatu lalu menatanya di rak. Irena kembali mengejar dan mencecar dengan berbagai pertanyaan. Dia mengikutiku duduk di sofa ruang tengah. Entah mengapa aku benar-benar jengah dengan segala sikapnya. "Kenapa bulan ini kamu kasih uang segini, Mas? Biasanya juga lima kali lipat dari ini. Itu pun nggak cukup buat sebulan," sentak Irena kemudian. Seperti biasa, dia mulai menguji emosiku. "Berapapun nggak bakal cukuplah, karena kamu habiskan dengan laki-laki itu," balasku santai sembari menyandarkan punggung ke sofa. Irena mendelik seketika. Kuperhatikan wajahnya mulai memerah ketakutan. Entah alasan apalagi yang akan dia berikan, sementara aku sudah mengetahui semua kebusukan yang dia simpan selama ini. "Ma--maksudmu apa, Mas?" tanyanya mulai sedikit melunak. Aku menoleh lalu menatapnya le
Pov : BianIrena masih menangis di kamarnya saat aku sampai di depan pintu sembari menyandarkan punggung ke bingkai pintunya. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap koper di atas ranjang. Koper yang agak berdebu saking lamanya tak tersentuh. "Setega itu kamu sama aku, Mas," lirihnya sembari terus menyeka bulir-bulir bening yang menetes di kedua pipinya. "Kamu juga tega mengkhianati cinta tulus yang kuberikan selama ini," balasku santai meski gemuruh dalam dada masih tetap terasa. "Itu karena kamu tak memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Rizqi." Irena mulai beralibi, padahal jelas mereka merencanakan semua ini sejak awal. Aku yakin itu. "Kamu tak pernah bisa melupakan Dania bahkan selalu mengingatnya dalam mimpimu. Kamu sering kali mengigau nama dia. Jadi, jangan salahkan aku bila sesekali bertemu dengan Zaky. Toh alasannya sudah jelas, aku hanya ingin anakku mendapatkan kasih sayang dari seseorang yang seharusnya dia panggil ayah. Apa aku salah?" Perempuan itu menoleh sembar