Mas, buat apa uang segini?" tanya Iren sembari memperlihatkan lembaran uang yang baru saja diambilnya dari Atm. Aku tak terlalu peduli dengan pertanyaannya. Tak membalas, fokus melepas kaos kaki dan sepatu lalu menatanya di rak. Irena kembali mengejar dan mencecar dengan berbagai pertanyaan. Dia mengikutiku duduk di sofa ruang tengah. Entah mengapa aku benar-benar jengah dengan segala sikapnya. "Kenapa bulan ini kamu kasih uang segini, Mas? Biasanya juga lima kali lipat dari ini. Itu pun nggak cukup buat sebulan," sentak Irena kemudian. Seperti biasa, dia mulai menguji emosiku. "Berapapun nggak bakal cukuplah, karena kamu habiskan dengan laki-laki itu," balasku santai sembari menyandarkan punggung ke sofa. Irena mendelik seketika. Kuperhatikan wajahnya mulai memerah ketakutan. Entah alasan apalagi yang akan dia berikan, sementara aku sudah mengetahui semua kebusukan yang dia simpan selama ini. "Ma--maksudmu apa, Mas?" tanyanya mulai sedikit melunak. Aku menoleh lalu menatapnya le
Pov : BianIrena masih menangis di kamarnya saat aku sampai di depan pintu sembari menyandarkan punggung ke bingkai pintunya. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap koper di atas ranjang. Koper yang agak berdebu saking lamanya tak tersentuh. "Setega itu kamu sama aku, Mas," lirihnya sembari terus menyeka bulir-bulir bening yang menetes di kedua pipinya. "Kamu juga tega mengkhianati cinta tulus yang kuberikan selama ini," balasku santai meski gemuruh dalam dada masih tetap terasa. "Itu karena kamu tak memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Rizqi." Irena mulai beralibi, padahal jelas mereka merencanakan semua ini sejak awal. Aku yakin itu. "Kamu tak pernah bisa melupakan Dania bahkan selalu mengingatnya dalam mimpimu. Kamu sering kali mengigau nama dia. Jadi, jangan salahkan aku bila sesekali bertemu dengan Zaky. Toh alasannya sudah jelas, aku hanya ingin anakku mendapatkan kasih sayang dari seseorang yang seharusnya dia panggil ayah. Apa aku salah?" Perempuan itu menoleh sembar
Tiga hari sudah Irena pergi. Aku juga tak tahu dia kemana. Rumah terasa sepi. Tak seperti biasanya yang cukup berisik dengan suaranya, juga suara Rizqi. Tak apalah. Aku sudah memutuskan semuanya bahkan juga sudah istikharah. Seperti kata mama, InsyaAllah ini jalan terbaik untukku dan untuknya. Kubiarkan dia bersama laki-laki yang memang seharusnya menjadi ayah untuk anak semata wayangnya. Lelaki yang pantas mendampinginya. Aku yakin kelak akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik. Dia yang tulus dan mau menerimaku apa adanya. Aku juga ingin bahagia. Seperti Dania yang kini kulihat semakin bahagia bersama Reza. Teringat kembali pertemuanku dengannya tempo hari di warung bakso langganan. Bakso yang disajikan menggunakan batok kelapa. Dia datang bersama Reza dan Irena. Gadis kecilku itu juga tampak tersenyum dan begitu ceria. Aku benar-benar iri dibuatnya. Rasanya sangat menyesal mengapa dulu aku sering kali menolak saat Dania mengajakku ke tempat itu. Sekalipun dia selalu bi
Pov : Irena Rencana yang sudah kususun gagal total. Percuma aku berhasil memisahkan Mas Bian dengan Dania. Toh pada akhirnya aku gagal mendapatkan apa yang selama ini aku impikan. Aku tak berhasil mendapatkan harta Mas Bian yang rencananya akan kuberikan pada papa untuk membangun kembali usahanya. Paling tidak, untuk menggantikan impian papa saat beliau menikahkanku dengan Mas Angga. Harapan akan mendapatkan harta dari Mas Angga. Namun, ternyata tak secuilpun kudapatkan, sebab Mas Angga tak mencantumkan namaku dalam daftar warisannya. Jika aku bisa mendapatkan harta dari Mas Bian, mungkin papa tak terus-terusan menyalahkanku karena kehamilan di luar nikah itu. Papa pun tak terus menyindirku soal kepergian Mas Angga dan warisan yang tak sepeserpun berpindah ke tanganku. Mungkin papa dan mama juga bisa menerima Zaky sebagai menantu jika Zaky sudah sukses dengan usahanya. Usaha yang modalnya juga akan kuambilkan dari harta yang Mas Bian punya. Namun sayang, semua sia-sia. Mas Bian
Mungkinkah mama dan papa terus mengawasi kehidupanku bersama Mas Bian sebelumnya? Karena itu pula tebakan mama kali ini tak meleset? Belum sempat menjawab, mama kembali menanyakan hal lain yang tak kalah mengagetkan. "Bagaimana dengan Zaky? Apa kamu masih sering bertemu dengannya?" Mama menatapku tajam. Mendadak lidahku kelu. Ingin sekali menceritakan semuanya, tapi rasanya benar-benar kesulitan bicara."Ngapain anak kesayanganmu itu ke sini, Ma?" Suara yang begitu familiar di telinga tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Kulihat papa sudah berdiri di sana dengan tatapan tajamnya. Mama pun sedikit gugup lalu buru-buru mendudukkan Rizqi ke sofa dan menghampiri papa. Mungkin mama takut kejadian beberapa tahun lalu terulang. Bagaimana murkanya papa saat aku berniat kabur dari rumah demi bertemu Mas Bian. Hingga tamparan dan kurungan di kamar pun papa lakukan. Padahal sebelumnya aku begitu disayang sebab aku memang anak semata wayang. TakdirNya yang membuat cinta dan cinta kasih itu b
Pov : IrenaMama sangat terpukul melihat keadaan papa yang masih terbaring lemah di ruang UGD sejak tadi pagi. Berulang kali mama menyalahkanku atas kejadian ini, tapi mau dikata. Semua memang sudah terjadi. "Kamu sudah dapat uang untuk biaya perawatan papa, Ren?" tanya mama tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. "Belum, Ma. Nanti Iren coba cari uangnya ya?" ucapku kemudian. Mama hanya diam saja tak membalas sedangkan aku kembali memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan papa. Mungkin aku minta tolong Zaky untuk membayar administrasinya. Dia pasti ada uang, kalaupun nggak ada dia bisa jual apa yang dia punya. Lagipula aku sudah banyak berkorban untuknya, apa iya dia nggak mau membantuku saat seperti ini? Uang, perhiasan bahkan mobilku pun sudah dia ambil untuk modal usaha tapi ternyata sia-sia. Mungkin memang dia tak memiliki bakat untuk berbisnis. Entahlah. "Kalau nggak ada tempat untuk meminjam, terpaksa Iren ke rumah Om Bagas, Ma." Mama menoleh seke
Jarum jam menunjuk angka tujuh lebih sepuluh menit. Gegas kuambil jaket dan memakaikannya untuk Rizqi. Kasihan dia, malam-malam begini harus kuajak keluar rumah memakai motor yang mana angin malam akan menampar tubuh kecilnya. Namun apa boleh buat, aku tak akan tenang jika belum mendapatkan uang. Perlahan kupacu sepeda motor menuju rumah Om Bagas. Masa lalu kembali terngiang di benak. Bagaimana dulu aku menolak permintaan adik papa itu untuk menumpang di rumahku saat dia di PHK. Bukannya tak boleh, hanya saja aku risih dengan dua anak perempuannya yang tak pernah menyukaiku hanya karena aku menjadi primadona di kampusku. Apalagi saat mereka tahu aku berhubungan dekat dengan Mas Bian, laki-laki yang juga dicintai salah satu sepupuku itu. Hati berdebar tak karuan saat motor maticku berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah di perumahan elit di kotaku. Seorang satpam gegas membuka pintu lalu tersenyum ke arahku. "Mbak Iren, keponakannya Pak Bagas?" tebak satpam itu dengan senyum
Pov : Irena Tiga hari papa dirawat. Tiga hari pula aku kalang kabut cari uang, tapi nihil. Om Bagas yang kupikir akan memberi uang pun sepertinya tak diizinkan anak dan istrinya yang rese itu. Entahlah. Satu-satunya harta yang kupunya tinggal motor matic itu. Terpaksa aku menjualnya sebab tak ingin dicap pembohong oleh mama. Mama pasti juga begitu mengharapkan uang itu karena tak ada orang lain untuknya berharap selain aku. "Gimana kabar papa, Ma?" tanyaku via telepon setelah menidurkan Rizqi di kamar. Lelah sekali rasanya hari ini. Uang sepuluh juta sudah di tangan, hati terasa lebih tenang meski ada sisi lain yang terasa begitu hambar. "Alhamdulillah papa sudah lebih baik, Ren. Jantung papa memang bermasalah, tapi kata dokter sekarang sudah mulai membaik. Nanti sore mau cek lagi, kalau tak ada masalah besok diperbolehkan pulang. Kamu sudah dapat uangnya, kan?" tanya mama dari seberang.Terdengar kecemasan dari suaranya yang lirih. Mungkin mama masih di kamar dan takut papa mende