Pov : IrenaMama sangat terpukul melihat keadaan papa yang masih terbaring lemah di ruang UGD sejak tadi pagi. Berulang kali mama menyalahkanku atas kejadian ini, tapi mau dikata. Semua memang sudah terjadi. "Kamu sudah dapat uang untuk biaya perawatan papa, Ren?" tanya mama tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. "Belum, Ma. Nanti Iren coba cari uangnya ya?" ucapku kemudian. Mama hanya diam saja tak membalas sedangkan aku kembali memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan papa. Mungkin aku minta tolong Zaky untuk membayar administrasinya. Dia pasti ada uang, kalaupun nggak ada dia bisa jual apa yang dia punya. Lagipula aku sudah banyak berkorban untuknya, apa iya dia nggak mau membantuku saat seperti ini? Uang, perhiasan bahkan mobilku pun sudah dia ambil untuk modal usaha tapi ternyata sia-sia. Mungkin memang dia tak memiliki bakat untuk berbisnis. Entahlah. "Kalau nggak ada tempat untuk meminjam, terpaksa Iren ke rumah Om Bagas, Ma." Mama menoleh seke
Jarum jam menunjuk angka tujuh lebih sepuluh menit. Gegas kuambil jaket dan memakaikannya untuk Rizqi. Kasihan dia, malam-malam begini harus kuajak keluar rumah memakai motor yang mana angin malam akan menampar tubuh kecilnya. Namun apa boleh buat, aku tak akan tenang jika belum mendapatkan uang. Perlahan kupacu sepeda motor menuju rumah Om Bagas. Masa lalu kembali terngiang di benak. Bagaimana dulu aku menolak permintaan adik papa itu untuk menumpang di rumahku saat dia di PHK. Bukannya tak boleh, hanya saja aku risih dengan dua anak perempuannya yang tak pernah menyukaiku hanya karena aku menjadi primadona di kampusku. Apalagi saat mereka tahu aku berhubungan dekat dengan Mas Bian, laki-laki yang juga dicintai salah satu sepupuku itu. Hati berdebar tak karuan saat motor maticku berhenti di depan gerbang sebuah rumah mewah di perumahan elit di kotaku. Seorang satpam gegas membuka pintu lalu tersenyum ke arahku. "Mbak Iren, keponakannya Pak Bagas?" tebak satpam itu dengan senyum
Pov : Irena Tiga hari papa dirawat. Tiga hari pula aku kalang kabut cari uang, tapi nihil. Om Bagas yang kupikir akan memberi uang pun sepertinya tak diizinkan anak dan istrinya yang rese itu. Entahlah. Satu-satunya harta yang kupunya tinggal motor matic itu. Terpaksa aku menjualnya sebab tak ingin dicap pembohong oleh mama. Mama pasti juga begitu mengharapkan uang itu karena tak ada orang lain untuknya berharap selain aku. "Gimana kabar papa, Ma?" tanyaku via telepon setelah menidurkan Rizqi di kamar. Lelah sekali rasanya hari ini. Uang sepuluh juta sudah di tangan, hati terasa lebih tenang meski ada sisi lain yang terasa begitu hambar. "Alhamdulillah papa sudah lebih baik, Ren. Jantung papa memang bermasalah, tapi kata dokter sekarang sudah mulai membaik. Nanti sore mau cek lagi, kalau tak ada masalah besok diperbolehkan pulang. Kamu sudah dapat uangnya, kan?" tanya mama dari seberang.Terdengar kecemasan dari suaranya yang lirih. Mungkin mama masih di kamar dan takut papa mende
Tak ada sesal yang terlukis di wajahnya. Justru terlihat lengkungan senyum di kedua sudut bibirnya. Sebegitu cepat dia move on? Melupakan semua cerita cinta yang pernah dia agungkan untukku. Ah manusia. Tak patut memang berharap padanya. Sebab semudah itu hatinya berubah. Kemarin disesaki cinta yang membara, tapi siapa sangka hari ini dipenuhi benci yang tak terkira. Air mataku menetes juga. Keluar dari persidangan dengan langkah dan tatapan hampa. Tak tahu lagi bagaimana nasibku kini. Sehebat itu balasan yang harus kuterima saat ini. Balasan yang tak pernah kusangka sebelumnya sebab kupikir cinta Mas Bian itu akan selalu ada dan membara. Tak menyangka jika ternyata bisa menipis dan hilang tak bersisa. "Kenapa, Iren? Mau ngobrol denganku?" tanya Mas Bian saat aku mengekori langkahnya. Dia bersama pengacara tengah ngobrol di halaman parkir. Pengacara itu pun menganggukkan kepalanya ke arahku lalu pamit pulang lebih dulu. "Ada masalah lain?" tanya laki-laki itu lagi. Dia menyandar
Pov : BIAN|Bi, kamu di mana? Sudah dengar kabar soal Irena?| Aku baru saja membuka pesan dari mama yang masuk sepuluh menit lalu. Sepertinya pesan itu terkirim saat aku masih sibuk membereskan baju-bajuku dari rumah yang lama, rumah yang kini sudah berganti pemiliknya. Aku memang sengaja menjual rumah itu. Tak ingin lagi mengingat kenangan-kenangan buruk di dalammya. Aku malas jika selalu terbayang tentang Irena. Rasanya sakit itu kembali menjalar dalam dada, bahkan sekadar kudengar namanya. Kabar dari Irena tanya mama? Soal apa? Mungkinkah soal perceraianku dengannya yang sudah diketuk palu lima jam lalu? Namun mengapa mama harus kembali menanyakannya? Toh aku sudah menelpon dan menjelaskan semuanya pada mama. Mama pun sudah menghela napas lega sembari mengucapkan Hamdallah. Atau jangan-jangan mama lupa? |Bi, Irena kecelakaan beberapa saat setelah kamu menelpon mama tadi. Sekarang Irena dilarikan ke rumah sakit, cuma rumah sakit mana mama kurang tahu. Mama lihat dari siaran b
"Seharusnya kami memang tak melarang kalian bersama sejak awal. Keegoisan kamilah yang membuat kalian tak bahagia. Semua memang salah mama. Mama yang tak pernah mempedulikan perasaan Iren. Hanya peduli dengan gengsi dan sakit hati sendiri." Aku tak paham apa yang mama ucapkan. Hanya bisa menunduk dan terdiam, mendengarkan apapun yang sekiranya akan diceritakan mama padaku. Papa pun sama. Hanya sesekali terdengar menghela napasnya. Apa semua ini berhubungan dengan cerita mama waktu itu? Tentang hubungan mama Siska, Bude Vina dan Om Sony?"Mama tak merestui kalian menikah sebab ada masa lalu antara mama dengan mama dan Budemu Vina. Tak hanya mereka, tapi juga dengan mantan Om kamu. Sony." Mama kembali mendongak lalu menatapku beberapa saat. Air matanya menggenang, pun papa yang menggenggam erat jemari mama. Papa yang kulihat juga tak sehat. Ada kursi roda di samping tempat duduknya. Mungkinkah papa terjatuh? Entah. Aku tak berani banyak bertanya. Benar dugaanku barusan. Semua memang
Pov : BIAN "Hai, Iren. Kamu dengar suaraku, kan?" Aku mulai bermonolog saat menatap perempuan cantik itu terlelap dengan tenang di atas ranjang tanpa pergerakan sedikit pun. Selang infus dan ventilator pun terpasang untuk membantu pernapasannya."Bangunlah, Irena. Aku memaafkanmu. Meski perih, tapi aku berusaha menenangkan batin ini sendiri. Aku tahu, mungkin kamu pun merasakan sakit juga meski sakitmu dan sakitku jelas berbeda. Irena, kesalahan-kesalahan yang pernah kamu lakukan dulu padaku, anggap saja lunas. Bukan berarti aku amnesia, hanya saja, rasanya tak pantas selalu memendam kebencian pada sesama manusia, sementara Sang Pencipta memiliki maaf yang tiada batasnya." Kupejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang. Kembali menatap perempuan yang kini berstatus sebagai mantan istriku itu dengan air mata berlinang. Entahlah, aku benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. "Iren, bangunlah. Kasihan Rizqi jika kamu pergi saat ini. Dia masih begitu membutuhkan hadirmu. Dia p
Mama beranjak dari kursi lalu gegas menghampiriku yang masih berdiri di depan pintu. "Gimana keadaan Iren, Bi?" tanya mama lirih sembari mengusap sudut matanya yang terus basah. Duka menyelimuti wajahnya yang semakin menua. "Belum sadar, Ma. Maaf, Bian nggak bisa berbuat banyak. Soal biaya rumah sakit, biar Bian saja yang urus," ucapku kemudian. Mama menatapku beberapa saat lalu kembali menangis. Wanita di depanku itu berusaha menutup mulutnya dengan telapak tangan, mungkin agar suara tangisnya tak terlalu terdengar. "Makasih banyak, Bi. Kamu memang baik dan bertanggungjawab. Irena tak salah memilihmu sebagai pasangan. Hanya saja mama yang tak bisa melihat kebaikanmu hanya karena dendam di masa lalu. Maaf terus merepotkanmu, padahal status kamu dan Iren tak lagi sama seperti dulu. Saat ini mama benar-benar takut jika Irena pergi. Kehilangan seorang anak itu begitu menyakitkan sebab mama pernah merasakannya belasan tahun lalu. Kakaknya Irena, Cantika yang pergi selamanya karen kanke