Tak ada sesal yang terlukis di wajahnya. Justru terlihat lengkungan senyum di kedua sudut bibirnya. Sebegitu cepat dia move on? Melupakan semua cerita cinta yang pernah dia agungkan untukku. Ah manusia. Tak patut memang berharap padanya. Sebab semudah itu hatinya berubah. Kemarin disesaki cinta yang membara, tapi siapa sangka hari ini dipenuhi benci yang tak terkira. Air mataku menetes juga. Keluar dari persidangan dengan langkah dan tatapan hampa. Tak tahu lagi bagaimana nasibku kini. Sehebat itu balasan yang harus kuterima saat ini. Balasan yang tak pernah kusangka sebelumnya sebab kupikir cinta Mas Bian itu akan selalu ada dan membara. Tak menyangka jika ternyata bisa menipis dan hilang tak bersisa. "Kenapa, Iren? Mau ngobrol denganku?" tanya Mas Bian saat aku mengekori langkahnya. Dia bersama pengacara tengah ngobrol di halaman parkir. Pengacara itu pun menganggukkan kepalanya ke arahku lalu pamit pulang lebih dulu. "Ada masalah lain?" tanya laki-laki itu lagi. Dia menyandar
Pov : BIAN|Bi, kamu di mana? Sudah dengar kabar soal Irena?| Aku baru saja membuka pesan dari mama yang masuk sepuluh menit lalu. Sepertinya pesan itu terkirim saat aku masih sibuk membereskan baju-bajuku dari rumah yang lama, rumah yang kini sudah berganti pemiliknya. Aku memang sengaja menjual rumah itu. Tak ingin lagi mengingat kenangan-kenangan buruk di dalammya. Aku malas jika selalu terbayang tentang Irena. Rasanya sakit itu kembali menjalar dalam dada, bahkan sekadar kudengar namanya. Kabar dari Irena tanya mama? Soal apa? Mungkinkah soal perceraianku dengannya yang sudah diketuk palu lima jam lalu? Namun mengapa mama harus kembali menanyakannya? Toh aku sudah menelpon dan menjelaskan semuanya pada mama. Mama pun sudah menghela napas lega sembari mengucapkan Hamdallah. Atau jangan-jangan mama lupa? |Bi, Irena kecelakaan beberapa saat setelah kamu menelpon mama tadi. Sekarang Irena dilarikan ke rumah sakit, cuma rumah sakit mana mama kurang tahu. Mama lihat dari siaran b
"Seharusnya kami memang tak melarang kalian bersama sejak awal. Keegoisan kamilah yang membuat kalian tak bahagia. Semua memang salah mama. Mama yang tak pernah mempedulikan perasaan Iren. Hanya peduli dengan gengsi dan sakit hati sendiri." Aku tak paham apa yang mama ucapkan. Hanya bisa menunduk dan terdiam, mendengarkan apapun yang sekiranya akan diceritakan mama padaku. Papa pun sama. Hanya sesekali terdengar menghela napasnya. Apa semua ini berhubungan dengan cerita mama waktu itu? Tentang hubungan mama Siska, Bude Vina dan Om Sony?"Mama tak merestui kalian menikah sebab ada masa lalu antara mama dengan mama dan Budemu Vina. Tak hanya mereka, tapi juga dengan mantan Om kamu. Sony." Mama kembali mendongak lalu menatapku beberapa saat. Air matanya menggenang, pun papa yang menggenggam erat jemari mama. Papa yang kulihat juga tak sehat. Ada kursi roda di samping tempat duduknya. Mungkinkah papa terjatuh? Entah. Aku tak berani banyak bertanya. Benar dugaanku barusan. Semua memang
Pov : BIAN "Hai, Iren. Kamu dengar suaraku, kan?" Aku mulai bermonolog saat menatap perempuan cantik itu terlelap dengan tenang di atas ranjang tanpa pergerakan sedikit pun. Selang infus dan ventilator pun terpasang untuk membantu pernapasannya."Bangunlah, Irena. Aku memaafkanmu. Meski perih, tapi aku berusaha menenangkan batin ini sendiri. Aku tahu, mungkin kamu pun merasakan sakit juga meski sakitmu dan sakitku jelas berbeda. Irena, kesalahan-kesalahan yang pernah kamu lakukan dulu padaku, anggap saja lunas. Bukan berarti aku amnesia, hanya saja, rasanya tak pantas selalu memendam kebencian pada sesama manusia, sementara Sang Pencipta memiliki maaf yang tiada batasnya." Kupejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang. Kembali menatap perempuan yang kini berstatus sebagai mantan istriku itu dengan air mata berlinang. Entahlah, aku benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. "Iren, bangunlah. Kasihan Rizqi jika kamu pergi saat ini. Dia masih begitu membutuhkan hadirmu. Dia p
Mama beranjak dari kursi lalu gegas menghampiriku yang masih berdiri di depan pintu. "Gimana keadaan Iren, Bi?" tanya mama lirih sembari mengusap sudut matanya yang terus basah. Duka menyelimuti wajahnya yang semakin menua. "Belum sadar, Ma. Maaf, Bian nggak bisa berbuat banyak. Soal biaya rumah sakit, biar Bian saja yang urus," ucapku kemudian. Mama menatapku beberapa saat lalu kembali menangis. Wanita di depanku itu berusaha menutup mulutnya dengan telapak tangan, mungkin agar suara tangisnya tak terlalu terdengar. "Makasih banyak, Bi. Kamu memang baik dan bertanggungjawab. Irena tak salah memilihmu sebagai pasangan. Hanya saja mama yang tak bisa melihat kebaikanmu hanya karena dendam di masa lalu. Maaf terus merepotkanmu, padahal status kamu dan Iren tak lagi sama seperti dulu. Saat ini mama benar-benar takut jika Irena pergi. Kehilangan seorang anak itu begitu menyakitkan sebab mama pernah merasakannya belasan tahun lalu. Kakaknya Irena, Cantika yang pergi selamanya karen kanke
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d