Jarum jam menunjuk angka dua belas lebih sepuluh menit. Aku dan Mas Reza sudah smpai di cafe yang tak jauh dari kantor Mas Bian. Sengaja kuminta mama untuk memberitahu Mas Bian soal pertemuan ini. Kupikir Mas Bian akan menolak, tapi ternyata dia mau bertemu dengan Mas Reza di tempat ini. Sesuai rencana. Mas Reza baru memesan dua minuman untukku dan untuknya sembari menunggu Mas Bian datang. Kuaduk gelas panjang berisi jus alpukat itu perlahan lalu menikmati kesegarannya, sementara Mas Reza memesan lemon tea dengan kentang goreng krispi di atas meja. Aku dan Mas Reza masih mengobrol banyak hal. Tentang usahanya yang kini fokus ke properti. Usaha yang lama dihandle oleh papa. Mas Reza juga bilang memiliki kost-kostan dua puluh pintu yang dia beli dari hasil usahanya dulu. Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya kulihat laki-laki di masa laluku itu mulai melangkah perlahan dari arah pintu. Dia mengenakan kemeja berwarna abu muda dan celana hitam seperti biasanya. Melihatku tengah
Pov : Dania Hari keempat pernikahan. Aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, sementara Mas Reza masih duduk santai di sofa kamar sembari fokus di layar handphonenya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak lalu menoleh ke arahku. Seketika bibirnya mengulum senyum. Setelah itu, Mas Reza menutup handphone dan meletakkannya di atas meja. Dia tak beranjak dari sana, hanya menatapku lekat sambil melipat tangan ke dada. Dia seakan mengoreksiku dari kaki sampai puncak kepala, membuatku sedikit bertanya-tanya. Adakah yang salah dari pakaian yang kukenakan detik ini? Kuhentikan tanganku yang masih mengeringkan rambut dengan handuk. Aku menghela napas panjang lalu membulatkan kedua mata saat Mas Reza masih saja meneliti baju tidur yang kukenakan. Aku mendadak salah tingkah karena tatapan anehnya. Berulang kali kuperiksa, sepertinya tak ada yang salah, tapi entah kenapa lelakiku itu senyum-senyum sendiri menatapku sedari tadi."Ngapain sih, Mas? Ada yang aneh?" Di depan cerm
Pov : Dania Pagi menjelang. Papa dan Mas Reza masih asyik berbincang di ruang keluarga, sementara Bi Minah sibuk di dapur. Setelah membersihkan kamar Irena dan kamarku, aku baru turun ke lantai bawah. Dua cangkir kopi terhidang di meja. Lengkap dengan camilannya. Papa tampak tersenyum lebar saat mendengarkan cerita Mas Reza tentang usaha barunya. Selalu memberikan semangat pada anak lelakinya itu agar berusaha lebih baik lagi untuk mengembangkan usahanya. "Nia, duduklah sebentar. Papa mau bicara," ucap papa sembari melambaikan tangannya ke arahku di ujung tangga. Gegas melangkah menuju sofa dan duduk di samping Mas Reza. "Sebenarnya papa mau bilang kalau nanti sore kakak iparmu datang dari Pontianak. Dia dan istrinya pindah ke rumah ini sebab usahanya di sana gulung tikar." Papa tampak menghela napas sembari mencoba untuk tersenyum meski kutahu setengah dipaksa. Entah kakak yang mana aku pun tak tahu, sebab setahuku Mas Reza anak semata wayang papa dengan almarhum mama. Mungkink
Pov : DaniaJam enam pagi aku dan Mas Reza sudah bersiap-siap pergi. Aku pun sudah menyiapkan keperluan Irena. Gadis kecilku itu masih sedikit mengantuk sebab semalam tidur sedikit telat. Dia keasyikan bermain dengan Rista-- keponakan Mas Reza yang baru datang kemarin sore. "Kalian jadi pulang pagi ini, Za?" tanya Papa saat sarapan bersama. Mas Reza mengalihkan pandangannya ke arahku lalu tersenyum. "Jadi, Pa. Mau buat kejutan buat Dania kuga, kan?" balasnya dengan senyum yang sama. Papa pun manggut-manggut. Sepertinya sudah tahu apa kejutan yang dimaksud anak lelakinya itu."Papa nggak bisa antar, mau cek toko dulu. Sepertinya sudah mulai renovasi.""Iya, Pa. Nggak apa, nanti ke sana saat syukuran saja juga oke," balas Mas Reza lagi. Papa mengiyakan. Mas Reza pun mengatakan hal yang sama pada kakak lelakinya untuk datang ke rumah saat syukuran nanti. Tanpa banyak obrolan, Mas Reza gegas memintaku untuk mengambil koper di kamar dan menyiapkannya di ruang tamu. Setelah selesai sara
|Ma, Bakda ashar datang ke rumah ya? Ada syukuran kecil-kecilan. Ternyata yang beli rumah Mas Bian itu adalah Mas Reza, Ma. Nia juga nggak nyangka jika dia menghadiahkan rumah ini untuk Nia dan Irena| Kukirim pesan itu untuk mama. Ibu dan Mas Fano pun cukup kaget saat aku mengabarkan soal ini pada mereka. Bahkan Mas Fano sempat menghubungi temannya untuk menanyakan soal itu. Masih teringat ucapan Mas Fano kemarin saat dia baru saja menelpon Mas Irfan. "Ternyata Irfan memang disuruh Reza untuk menyembunyikan ini dari kita, Nia. Dari awal dia ingin memberikan kejutan untukmu. Romantis juga dia," ucap Mas Fano kemarin sembari tertawa lebar. "Tak hanya romantis, Mas. Dia juga perhatian, tanggungjawab dan sayang sama Irena," balasku kemudian. Aku dan Mas Fano pun sama-sama tertawa. |Rumah kamu dan Bian dibeli Reza sebagai hadiah perkawinan kalian?|Balasan dari mama cukup mengagetkan. Sesuai dugaan, mama juga kaget mendengar cerita dariku. Mas Reza berhasil membuat semua orang terkeju
Pov : BianAku memikirkan banyak hal, terutama soal rumah tanggaku dengan Irena. Istikharah pun sudah kulakukan berkali-kali. Tak ingin kembali sakit hati, akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri hubungan tak jelas ini. Berpisah dengan Irena sudah menjadi keputusan bulat.Cinta yang dulu mekar dan bersemi justru semakin hilang ditelan waktu. Dia telah menipuku, bagaimana mungkin aku terus mengalah dan menghujaninya dengan cinta? Kuucap salam sembari menata sepatu di rak setelah sampai di teras rumah. Terdengar langkah kaki Irena dengan terburu ke arahku. Pintu terbuka, perempuan yang setahun terakhir kunikahi itu pun tersenyum ceria saat melihatku membawa sekotak kado. Seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya, aku akan pulang memberinya kado sembari meminta tanda tangan itu. Dia pasti tak akan berpikir panjang dan asal tanda tangan setelah melihat isi kadonya. "Mas, aku nungguin dari pagi loh. Kamu simpan dokumen itu nggak?," tanya Irena dengan tatapan curiga. "Ada di kamar. Mung
Kuhela napas panjang setelah berhasil mendapatkan tanda tangan Irena. Semua rencana beres. Berkas itu pun segera kumasukkan ke dalam tas lalu mengambil kado lain yang memang sudah kusiapkan semuanya. Aku yakin Irena nggak akan curiga."Ini apa, Mas?" tanya Irena lagi saat kuberikan kotak kecil itu padanya. Wajahnya semakin berbinar. Andai dia menghargaiku sebagai suami, aku tak mungkin mengambil keputusan untuk berpisah dengannya. "Buka aja." Irena mengangguk lalu buru-buru membuka kadonya. Kedua matanya membola saat melihat isi kado itu. "Cincin?" "Iya, Sayang. Sengaja kubelikan itu karena kalung dan cincin yang kubelikan dulu sudah kamu jual, kan? Kamu pakai buat apa Mas juga nggak tahu.""Iya, Mas. Sudah kepakai buat makan sehari-hari. Sudahlah, nggak perlu terlalu dipikir pusing. Yang penting sekarang sudah kamu ganti yang baru. Mimpi apa aku semalam bisa mendapatkan kejutan dobel seperti ini. Sayang banget sama kamu kalau selalu kasih kado begini, Mas," ucap Irena spontan. D
Pov : BianTiga hari di rumah membuatku benar-benar tak betah. Aku sengaja pulang saat jam makan siang, tapi Irena tak pernah ada di rumah. Telponnya pun tak aktif. Entah di mana dia. Bukankah seorang istri harusnya selalu izin suami saat dia keluar rumah? Namun Irena benar-benar berbeda. Bahkan dia pergi sesuka hatinya. Tak peduli statusku sebagai suami. |Bi, kamu di mana sekarang?|Pesan dari mama membuatku beranjak dari sofa. Biasanya kalau tanya begini, mama ingin bertemu atau ada sesuatu yang diinginkannya. |Di rumah, Ma. Tadi ada meeting sekitar sini, jadi sekalian mampir ke rumah ambil sesuatu. Ada apa, Ma?| Kukirimkan balasan untuk mama. Aku khawatir mama memikirkan tentang rumah tanggaku bersama Irena. Meski aku tak menceritakan semuanya, tapi aku yakin mama tahu kalau pernikahanku dengan Irena memang tak bahagia. Tak selang lama mama mengirimkan beberapa foto padaku. Tampak Rizqi bersama laki-laki itu tengah sibuk belanja jaket di sebuah mall. Foto-foto berikutnya munc