Sementara di sisi lain, ketika Harvey sedang melakukan perawatan kulitnya, bersantai di sebuah kursi empuk berbusa tebal, memakai cream wajah, sang ayah memasuki rumah memandangi putranya menggelengkan kepalanya. Sang ayah diketahui Tuan Clinton yang beberapa saat lalu mengadakan pertemuan dengan Tuan Alexander untuk makan siang bersama di sebuah restoran mewah.
“Kau sepertinya selalu saja memakai cream setiap saat,” celoteh Tuan Clinton.
Dengan sigap Harvey menaruh cream di meja sebelah sofa, bersikap seperti pria normal di depan ayahnya.
“Ayah sudah pulang rupanya,” sambut Harvey sopan.
“Ayah heran denganmu. Kenapa kau seperti seorang wanita yang suka memakai perawatan wajah setiap saat.” Dahi Tuan Clinton mengernyit.
“Ini karena demi Agnes supaya terpesona melihat wajahku. Seorang pria juga harus menjaga penampilannya supaya selalu terlihat tampan di depan wanitanya,” lontar Harvey percaya diri tersenyum genit.
Mendengar lontaran sang Pangeran yang terdengar sangat ringan, semua orang yang sedang menikmati makan malam di ruang makan tersentak kaget bahkan hampir batuk tersedak. Terutama mata Charlotte terbelalak dan menundukkan kepala malu, menghindari pandangan suaminya. Terutama mengingat status hubungan mereka masih belum menikah secara hukum, sangat mustahil baginya menerima penawaran aneh barusan. “Apakah aku tidak salah mendengarnya barusan?” lontar Violet membuka mulutnya lebar. “Kau sungguh ingin tidur bersamanya?” Lucas mengulang pertanyaan untuk meyakinkannya. “Kenapa reaksi kalian berlebihan sih? Padahal aku tidak melakukan apapun dengannya semalam.” “Tapi situasi waktu itu berbeda. Aku sedang pingsan jadinya tidak mungkin kau melakukan hal aneh, tapi kalau sekarang sih agak canggung rasanya,” sahut Charlotte tidak berani mengangkat kepala tegak. “Bagus juga sih, jadinya aku bisa tidur di ranjang empuk lagi.” Lucas mengulum senyuman mengam
Di kediaman Perdana Menteri, pikirannya terus terusik memikirkan maksud dari perkataan Tuan Alexander sebelumnya. Bahkan baginya, ucapan peringatannya terdengar seperti dirinya mengetahui dengan jelas pelaku sebenarnya tanpa mengucapkan secara langsung. Agnes sulit menutup matanya, tubuhnya terus berbolak balik seperti selembar kertas sedang difotokopi. Walaupun ini sudah memasuki tengah malam, tapi otaknya masih ingin terus bekerja. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan untuk melangkah keluar dari kamarnya menuju pantry mengambil segelas air putih menjernihkan pikirannya yang sudah seperti kabel kusut. Namun ketika ia ingin kembali memasuki kamarnya, terdengar suara seseorang yang sedang berbicara lewat telepon dalam ruang kerja ayahnya. Dengan penuh rasa penasaran, ia melangkahkan kakinya pelan mendekati ruang kerja lalu melekatkan daun telinganya pada pintu, mendengar percakapan sang ayah sedang berkomunikasi dengan seseorang. Namun disayangkan, suaranya terdengar
Di rumah khusus kerajaan, usai menyantap sarapan, sepasang kekasih melakukan jalan santai bersama mengelilingi taman belakang sambil menikmati udara sejuk di pagi hari. Ditambah penampilan Charlotte dibaluti sebuah gaun bermotif bunga selutut yang dibelikan Pangeran lagi beberapa saat lalu. “Rasanya sudah lama aku tidak menikmati udara segar bersamamu,” ujar Charlotte memandangi sekeliling taman. “Terakhir kali kita berjalan bersama di taman istana tepat sehari sebelum insiden kecelakaan pesawat yang menimpaku.” Langkah kaki Charlotte terhenti sejenak, mengingat insiden buruk yang menimpa suaminya membuat dirinya merinding ketakutan akibat trauma dialaminya. Dengan inisiatif, Gabriel mendekapnya hangat sambil mengelus punggungnya perlahan. “Jangan takut lagi, maaf aku membuatmu menjadi teringat kenangan buruk yang membekas pada pikiranmu.” “Memang benar perkataan banyak orang bahwa kenangan buruk yang membuat kita trauma selama ini pasti akan
Drrt…drrt… Sontak salah satu ponsel dari kelima serangkai bergetar di tengah perbincangan mereka. Yang pasti bukan ponsel Gabriel dan Lucas, karena sangat mustahil seseorang menghubungi mereka, terlebih lagi saat ini seluruh negeri menganggap mereka telah tiada. Ponsel yang terus bergetar dari tadi sangat mengganggu suasana adalah ponsel milik Alfred. Dengan sigap Alfred mengambil ponselnya, tatapannya bingung memandangi layar ponselnya. “Ada apa, Alfred?” tanya Violet mulai penasaran menggeserkan tubuh mendekatinya. “Ini aneh sekali, tidak seperti biasanya nomor tidak dikenal menghubungiku di saat seperti ini.” Dahi Alfred mengernyit. “Apakah mungkin kau pernah memberikan nomor ponselmu kepada orang lain?” tanya Lucas. “Selama aku hidup sebagai agen rahasia kerajaan, aku tidak pernah memberikan nomor ponselku kepada siapapun.” “Bagaimana kalau kau coba angkat panggilan teleponnya dulu? Kalau seseorang yang mencurigakan, sebaiknya kau
Sepasang kekasih tersebut pada akhirnya kembali berdamai, walaupun sebelumnya mereka sempat berdebat karena masalah kecil. Mereka berdua memutuskan kembali menghampiri semua temannya yang sedang menunggu di ruang tamu, melangkah saling bergandengan tangan mesra. Melihat reaksi mereka berdua yang terlihat baik-baik saja, ketiga temannya kembali bernapas lega. “Akhirnya kalian kembali berdamai,” ujar Lucas tersenyum tipis. “Maafkan aku, karena keegoisanku jadi diskusinya sempat tertunda,” sesal Charlotte tertunduk bersalah. “Tidak apa-apa. Yang penting sekarang suasana hatimu sudah membaik, kita sudah sangat lega melihatnya,” sahut Alfred santai. “Jadinya, sekarang kau kembali menjadi teman terbaikku seperti semula.” Violet merangkul pundak Charlotte berantusias. “Sudahlah, kalian tidak perlu bersikap berlebihan begini.” Charlotte tersipu malu. “Karena mereka semua sangat mencemaskanmu tadi,” lontar Gabriel. “Oh, begitu rupanya.”
Dengan sigap Alfred melajukan mobilnya menuju kediaman Tuan Alexander, menyalibkan mobilnya di depan mobil lain sambil membunyikan klakson mobil. Pada akhirnya, Alfred mulai menunjukkan sisi pembalap seperti saat membawa Charlotte menuju rumah khusus kerajaan. Hari sudah mulai gelap, tanpa sengaja Alfred memberhentikan mobilnya tiba-tiba dengan kasar di dekat kediaman Tuan Alexander, sehingga tubuh Gabriel dan Lucas hampir terlempar ke depan, untungnya mereka memakai sabuk pengaman. “Maaf, aku tidak sengaja melakukannya,” sesal Alfred. “Sekarang bukan waktunya minta maaf. Kita harus masuk ke sana sekarang,” balas Gabriel sambil memegangi kepalanya sedikit sakit. “Biar aku saja yang memasuki kediamannya sendirian.” “Tapi sangat bahaya kalau kau melakukannya sendiri,” elak Gabriel. “Lebih bahaya kalau kau mengikutiku. Bagaimana jika ada penyusup di dalam sana?” seloroh Alfred. Sedangkan Lucas menyentuh pundak Ganriel, menggeleng
Di kediaman Harvey, ia melakukan perbincangan jarak jauh bersama sang kekasih melalui video call. Tidak hanya Pangeran dan istrinya yang bisa bermesraan, namun pasangan satu ini tidak kalah romantis juga, walaupun sang kekasih saat ini masih memiliki dua perasaan dalam hatinya. Dalam tampilan video, sosok kekasihnya yaitu Perdana Menteri Agnes terlihat sangat anggun dengan riasan wajahnya natural dan balutan gaun tidur elegan berbahan tipis, bermotif rumbai. “Bagaimana denganmu hari ini?” tanya Harvey tersenyum ceria. “Tentu saja aku sedikit lelah, seperti biasanya aku selalu bekerja seharian mencari nafkah seperti seorang pria.” Suara Perdana Menteri Agnes terdengar sedikit lesuh. “Apakah aku perlu membawakan beberapa vitamin untukmu lagi? Kebetulan vitamin di rumahku masih banyak karena saat aku bepergian ke luar negeri, aku membelinya banyak untukmu.” “Tidak perlu. Sebaiknya vitaminnya untukmu saja, aku bisa membelinya bila ada waktu.”
Sementara di rumah khusus kerajaan, kelima serangkai tersebut berkumpul lagi di ruang tamu melanjutkan diskusinya mengenai strategi mencari barang bukti pelaku pembunuhan dibalik semua insiden yang terjadi belakangan ini. Reaksi Violet ketika memandangi berita duka selama beberapa lama, membuat tubuhnya bergidik ngeri sendiri sampai wajahnya memucat, membayangkan hal aneh pada pikirannya. Melihat reaksi Violet yang sangat tidak enak dilihat sekarang, secara inisiatif Alfred menggeserkan tubuhnya mendekati Violet sambil menyentuh pundaknya pelan. “Kau jangan takut,” ucap Alfred mulai menunjukkan sikap kepeduliannya. “Tumben kau perhatian padaku sampai begini,” balas Violet tersenyum sendiri sambil membenarkan rambutnya. “Wajahmu tidak enak dilihat, maka dari itu aku peduli padamu.” Tidak seperti biasanya Alfred melontarkan pernyataannya dengan lantang. Jantung Violet semakin berdebar dengan kencang seperti akan meledak kalau terus membayangkan perlakua