"Apa kau tahu apa warna surga itu?" Julian pernah mendengar seseorang menanyakan itu padanya ketika di Paris. Seorang keturunan Arab yang tinggal di sana.
"Putih," jawaban Julian tentang sebuah kesucian.
"Bukan."
"Jadi, apa?"
"Hijau," jawabnya. "Dan percaya tidak kalau kami menyebut negaramu adalah surga?"
Julian tidak menanggapi saat itu. Ia kira apa pun yang diungkapkan orang tentang negaranya, selama itu hal yang baik, semuanya sah-sah saja. Dan sekarang Julian teringat tentang hal itu lagi. Tentang negeri yang hijau dan mataharinya yang bersinar sepanjang tahun. Tidak ada yang benar-benar kedinginan di akhir tahun atau merasa terbakar di pertengahan tahun.
"Bagaimana kalau sekarang kita main, gunting, batu, kertas, yang menang bebas menunjuk salah satu dari yang kalah buat ngelakuin apa yang dia mau," Ana bersemangat. Julian tak punya bayangan permainan seperti apa itu, tapi agaknya tak terlalu sulit. Lebih berat untuk bersabar karena usulan melakukan permainan didasari Jecklin yang belum juga dijemput. Julian sudah mengajak Ana pergi berkali-kali, tapi perempuan itu berkeras menunggu sampai yang menjemput Jecklin datang. Julian sudah menjelaskan pada Ana bahwa anak itu bisa saja membawa pengaruh buruk pada Vanessa, tapi Ana justru bertanya, "Kakak kenapa sich?" Julian sadar itu aneh, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun terganggu dengan anak kecil berusia tujuh tahun. "Aku hanya mengkhawatirkan Vanessa!" katanya membuat Ana tersenyum.
[...Dan jika itu hanya sebuah mimpi, jangan biarkan aku terbangun. Aku senang berada dekat dengannya. Dan jika itu kenyataan, meski umurku yang jadi taruhannya, aku tetap merasa senang. Kukira Tuhan begitu baik padaku. Ia mendengar setiap doa-doaku. Dan seseorang yang selalu menjadi bagian dari doaku, kuharap dia baik-baik saja. Tidak merasakan sakit seperti yang kurasakan sekarang. Aku juga berharap Tuhan mengangkat rasa sedih berlebihan dari hatinya jika suatu hari nanti aku meninggalkannya. Aku sungguh tak berdaya, dan tidak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa. Julian berdiri di sudut ruangan. Bayangan wajah sendunya terekam di kaca bening yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Entah sejak kapan ia masuk ke ruang perawatanku, kusadari keberadaannya sesaat mengucap salam dan kuusap wajahku den
Sudah hampir pukul dua belas malam, Ruin masih berada di rumah sakit, di ruangan pribadinya. Ia sedang mengkhawatirkan ibunya. Meski tidak banyak yang ibunya katakan siang tadi saat mengunjunginya, wanita tua itu secara tak langsung membicarakan anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Mungkin ibu ingin menjaga perasaan dokter itu ketika tidak meminta Ruin menyelidikinya, bahwa hal ini sudah sering mereka perdebatkan, sering juga menemukan kegagalan hingga membuat mereka kecewa. Ruin tidak ingin hal ini menjadi beban berkepanjangan. Ia ingin meminta ibunya merelakan kakaknya yang hilang itu. Tapi, itu tidak pernah diucapkan Ruin karena ia tak tahu persis bagaimana perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Setiap malam ibunya berdoa untuk keselamatan putranya yang tidak ia lihat selama puluhan tahun. Ia sadar, seberapa pun senyum yang diperlihatkan ibunya setiap kali mereka bertemu, tetap terasa ada yang tidak sempurna dari senyum itu. Ada yan
Sudah enam jam sejak Julian masuk ke dalam kamarnya. Ia terlalu asyik di depan laptop dan belum beranjak dari sana. Ana pernah melihat Julian seperti itu bertahun-tahun lalu. Apatis karena kesibukannya soal Mount East. Ia tidak hanya melakukan itu di kantor, tetapi juga di rumah. Seringkali itu membuat Ana cemburu, dan ia tak suka perasaan itu. "Ngerjain apa, Kak?" tanya Ana duduk di kursi teras di samping Julian. "Ada tender baru, ini kesempatan buat kita. Pengadilan juga nelponin terus, mereka tanya soal Anggito Abimanyu," jelas Julian mengalihkan pandangannya ke ponsel yang bergetar. Julian berdiri sambil menempelkan ponsel di telinganya menuju pagar balkon, "mungkin besok sore bisa," ujarnya. Ana pikir Julian sedang membuat ja
"Keterlaluan," kesal Julian sambil memijati tengkukya. Ini sudah hari keenam sejak kejadian ia menolak Ana. Perempuan itu berubah alim. Dia mengenakan rok yang menutup hingga mati kaki dan kemeja lengan panjang saat di rumah. Dia juga menghindar ketika Julian ingin memeluknya. Tidak. Ana bahkan tidak membiarkan Julian menggenggam tangannya. Lima malam lalu mereka juga bertengkar soal Ana yang mengunci kamarnya. Ana tentu tahu Julian tidak suka itu, akan menyulitkan buat Julian jika saja terjadi sesuatu pada Ana. "Aku hanya tidak mau seseorang masuk seenaknya ke kemarku," sahut Ana. Sebuah serangan untuk orang yang berdiri sambil berpangku tangan di hadapannya. "Tanpa mengetuk pintu dan langsung tidur di tempat tidurku." "Kenapa? Kau juga melakukan hal yang sama. Seenaknya masuk ke k
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta