Kurebahkan tubuh diranjang, lelah rasanya seharian mempersiapkan segala hal dari yang kecil sampai yang besar. Sekarang sudah begitu lega, setelah acara berjalan sesuai yang diharapkan. 'Nay sedang apa?' Kubaca pesan whatsapp dari Mas Rafi setelah mendengar bunyi notifikasi. 'Sedang rebahan saja Mas. Mas Rafi sudah sampai?' Segera kubalas pesannya tadi. 'Sudah, barusan. Nay lelah ya?' Balasnya kemudian. 'Iya Mas, Nay sangat lelah. Memangnya Mas Rafi tidak?''Kalau buat Nay, Mas tidak akan pernah lelah, Sayang' 'Dih, sudah pandai menggombal, ya.' Sambil senyum-senyum sendiri. Merasa tersanjung dengan panggilan itu. 'Kan kita sudah naik level. Jadi, mulai sekarang harus pakai Sayang, ya.''Iya, terserah Mas saja.' Balasku dengan hati berbunga-bunga. Kulihat Mas Rafi sudah tidak aktif lagi. Mungkin dia juga sudah kelelahan disana dan tanpa sengaja sudah tertidur. Sama halnya sepertiku. Begitu lelah dengan acara tadi. Namun lelah yang kurasa, sebanding dengan kebahagiaan yang kuda
Ingin rasanya memberitahukan masalah ini pada Mas Rafi segera, agar dia bisa mencarikan solusinya. Namun, niatku tadi untuk menghubungi Mas Rafi urung kulakukan karena merasa sungkan jika harus terus menerus melibatkannya lagi dalam masalah keluargaku dimasa lampau. Biarlah Mas Rafi bernapas sejenak, Mas Rafi juga berhak bahagia. Baiklah Mas Ilham. Jika kamu masih saja ingin mengusik kebahagiaanku, akan kuladeni. Hanya saja, jangan menyesal jika nanti hidupmu yang akan hancur untuk kedua kalinya. ********"Kamu kok lemes begitu, Nay. Wajah kamu terlihat letih? Bukannya setelah Ratna pulang semalam, kamu bilang mau langsung tidur?" Ibu curiga melihat perawakanku. "Tidak apa-apa, Buk. Nay hanya lelah," jawabku mengelak. "Kalau lelah istirahat saja dulu. Kan toko masih tutup sampai besok," Ibu mengingat kan kalau hari ini kami masih libur. Kulihat Ibu membersihkan segala pekakas yang belum sempat dicuci tadi malam. Dia terlihat masih bersemangat sampai detik ini. Akupun seharusnya b
"Memangnya kenapa? Alta takut?" Dia mengangguk. Ku tarik tubuh mungilnya dan merangkul dalam pelukan."Alta tidak usah takut ya, kan ada Bunda yang menemani."Kami bergegas ke klinik Dokter indra. Untuk saat ini, Alta ijin dulu untuk tak masuk sekolah. Aku sudah menghubungi pihak sekolah dan mengabarkan bahwa Alta sedang sakit. Walaupun sedikit ragu, namun aku harus tetap membawa Alta ke klinik Dokter Indra. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan Alta nantinya, jika aku telat membawanya untuk berobat. Saat ini masih pagi, Dokter Indra sama sekali belum membuka praktek. Hal ini kulakukan agar Alta tak perlu mengantri dan langsung dapat ditangani. Sedikit merepotkan untuknya memang, tapi aku tidak tahan melihat putriku meringis kesakitan. Aku menekan bel pintu. Berharap dia segera turun dan cepat menangani Alta. "Eh, ada tamu rupanya," sapanya setelah pintu terbuka. "Masuk lah." Dia menawari kami masuk dengan sangat ramah. Aku merasa sungkan karena sempat berpikir yang macam-maca
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b