"Aku pasti akan merindukanmu, Sayang." Pras terus memeluk Sera. Rasanya malam ini ia tak mau berjauhan sejengkal pun dari istrinya itu. Lengan kokoh itu terus melingkar di perut Sera sejak tadi. Hembusan napas suaminya itu menyapu hangat kepalanya. "Pras, Kamu pergi hanya sebentar, bukan? Kenapa penuh drama begini?" Sera tersenyum melihat Pras begitu manja malam ini. "Tidak! Sedetikpun Aku tidak mau berpisah denganmu!" gumam Pras seraya mencium puncak kepala Sera. "Lebay, ih!" Sera mencubit pinggang Pras. "Ikut, ya! Kamu ikut ke Amerika, ya!" Pras kembali mencoba membujuk Serani. "Pras ..., kasian Pangeran." . Pras tak menjawab. Dalam hatinya ia pun ragu jika harus membawa Pangeran. Giska pun tidak mungkin meninggalkan sekolahnya.. Terdengar hembusan napas panjang dari Pras. Lalu mulai menciumi rambut, wajah, leher serta seluruh tubuh Sera tanpa tertinggal satu senti pun. Ia ingin menikmati malam-malam terakhirnya bersama Sera sebelum kepergiannya ke Amerika. "Besok Kamu tidak
"Jangan sampai terlambat! Opa tidak mau gara-gara Kamu kita sampai ketinggalan pesawat!" Sudah yang kedua kalinya Opa Vincent menghubungi.Pras. Pria tua itu sepertinya khawatir Pras tidak jadi pergi ke Austin, Texas, Amerika Serikat. Kota yang akan mereka tuju. Pras menutup ponselmya. Kembali menatap Sera. "Siapa? Opa lagi?" tanya Sera sambil menyerahkan jas biru tua milik Pras. "Sayang ...!" Sera tersentak saat tiba-tiba Pras memeluknya sangat erat. Hatinya merasakan kegelisahan. "Ya Allah, ada apa ini? Kenapa rasanya sangat berat melepas kepergiannya? Lindungilah suamiku ya Allah." Sera berdoa dalam hati Dadanya terasa penuh. "Kamu jadi antar Aku ke Bandara?" tanya Pras setelah mengecup lembut bibir Sera. Wanita itu telah tampil cantik dengan stelan kantornya. Setelah mengantar Pras ke Bandara, Sera akan lanjut ke kantor. "Jadi, Sayang," jawab Sera memberanikan diri membalas kecupan suaminya. Pras tersenyum lebar mendengar pertama kali Sera memanggilnya dengan kata sayan
"Tuan, ayo kita segera berangkat. Barusan Tuan Vincent kembali menghubungi Saya!" ujar sang supir melihat Pras belum juga berpindah dari teras. "Oh, iy-iyaa. Ayo berangkat!" Mendengar nama Sang Opa, Pras bergegas mendekati mobil dan masuk ke dalamnya. Mobil mulai bergerak meninggalkan rumah mewah bertingkat itu. Namun, tatapan Pras kian tajam tertuju pada jendela kamar Pangeran. Tarikan napas panjang kegelisahan berkali-kali terdengar. Dalam pikiran pria bernama Tirta Prasetya itu sedang berkecamuk berbagai hal. Mobil yang membawanya semakin menjauh. Kini Pras hanya bisa pasrah harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya. Ia berharap masalah yang akan ia hadapi nanti segera terselesaikan. Setengah jam berlalu Pras mencoba menghubungi Sera melalui ponselnya. Namun, berkali-kali ia mencoba, panggilannya tak kunjung diterima. Wajah Pras mulai menegang. Lalu ia memutuskan untuk menghubungi Loly. "Hallo Tuan Tirta." Pras bernapas lega karena Loly langsung menerima panggilannya "Ma
"Kenapa Pras tidak bisa dihubungi?" gumam Sera kesal. Entah berapa kali Sera mencoba menghubungi Pras kembali. Namun ponsel pria itu tidak aktif. Sera meletakkan ponselnya diatas nakas. Ia membawa Pangeran tidur di kamarnya. Putranya itu masih saja rewel. Hingga tengah malam Sera tidak bisa terlelap. Pangeran terus terjaga dan meminta ASI. Saat malam tiba, Sera merasa lapar dan haus. Ia tidak tega membangunkan para baby sitter putranya. Sementara ia tidak mungkin meninggalkan Pangeran sendirian di kamar.Akhirnya ia memutuskan untuk ke dapur sambil menggendong Pangeran. "Pras, andai Kamu ada di sini. Aku pasti nggak sendirian. Aku pasti ditemani sama Kamu," bathin Sera dengan rasa sesak yang semakin menghimpitnya. Pras pasti akan membuatkan susu untuknya. Pras juga akan menyuapinya makan. Bulir-bulir bening itu kembali lolos tanpa ia sadari. Sejak Pangeran lahir, Pras selalu telaten merawatnya. Pria itu sangat memperhatikan kesehatannya. "Pras ... Aku rindu ...," lirih wanita ya
"Brengsek! Siapa yang mau bermain-main denganku?" Pras menggebrak meja di hadapannya. Wajahnya kembali menggelap. Dadanya naik turun. Ia semakin yakin bahwa yang menghancurkan perusahaannya adalah orang dalam. Seseorang yang tau persis tentang perusahaannya. Namun ia baru menduga satu nama yang ia curigai. Tidak menutup kemungkinan ada nama lainnya juga sebagai tersangka. "Aku harus membuktikan ini sendiri." Pras meraih jas dan kunci mobilnya. Melangkah keluar dari gedung tinggi yang satu lantainya ia sewa untuk perusahaannya. Rumah yang ia tempati tidak begitu jauh dari kantor. Hingga dalam waktu lima belas menit ia sudah tiba di rumahnya. Beberapa ART asal Indonesia bekerja di sana.. "Selamat malam, Tuan Tirta. Saya.siapkan makan malam." Pras hanya mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju kamar. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan berukuran besar berada di dinding kamar. Rutinitas yang ia lakukan setiap membuka kamar itu, jika ia berada di Austin ini. "Sera ... Aku ri
PRANG!! "Awww ...!" Serani menjerit ketika gelas yang berada dalam genggamannya tiba-tiba terlepas. Gelas keramik itu hancur berantakan di lantai dapur. "Pras ...! Ada apa dengan dirimu?" Sera berdiri mematung menatap serpihan pecahan gelas yang tercecer tak jauh dari kakinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ia yang tadi ke dapur hendak minum mendadak teringat dengan Pras. Dadanya terasa sesak, tangannya gemetar hingga gelas di tangannya terlepas. "Maaf, Nyonya. Biar Saya bersihkan." Seorang ART tiba-tiba muncul karena mendengar suara sesuatu yang pecah. ART itu membungkuk melewatinya Sera sambil membawa sapu. "Nyonya mau minum? Biar Saya ambilkan." ART lainnya menghampiri Sera yang masih melamun..Sera tersentak, lalu menolah pada kedua ART nya. "Maaf, tolong antarkan air putih untukku ke kamar!" "Baik, Nyonya." Sera memutar tubuhnya, lalu melangkah menuju kamar. Mungkin sebaiknya ia menenangkan diri dulu. Namun ketika tiba di kamar, wanita berhidung mancung
"Kamu serius mau ke Amerika?" Corri menatap Sera tak percaya. Makan siang mereka sempat terjeda sesaat ketiika tiba-tiba Serani mengatakan ingin menyusul Pras. Sera mengalihkan pandangannya dengan wajah gelisah. Sendok di tangannya ia letakkan di tepian piring. "Sebenarnya Aku nggak tau harus bagaimana. Tapi sudah tiga hari ini Aku nggak bisa mengubungi suamiku sendiri. Aku nggak tau apa dia baik-baik aja." Netra bulat Serani mulai berkabut. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak menangis.."Minum dulu!" Corri menyodorkan segelas jus jambu pada Serani. Ia berharap Serani bisa lebih tenang. Sera menerima dan meneguk sedikit minuman itu. "Kamu udah hubungi keluarganya atau siapa gitu, yang ada di sana?" tanya Corri lagi "Sudah." Suara Sera terdengar parau. Corri menatap sahabatnya itu iba. Sambil menunggu Sera bercerita, wanita berambut kemerahan itu kembali menyuap makanannya. "Aku sudah hubungi Opanya. Tapi ..., sepertinya beliau menutupi sesuatu. Aku tidak diperbolehkan bicara
"Siapa Kamu sebenarnya?" Agung memandang pria berjas coklat muda itu dengan tatapan menyelidik. Pria itu terkekeh. "Sudahlah, Kamu nggak usah takut diculik. Lagian apa istimewanya Kamu kalau diculik?" Agung mendengus kesal. Namun dalam hati ia membenarkan ucapan pria yang tak dikenal itu. "Nanti akan Aku jelaskan di dalam mobil." lanjut pria itu lagi. Agung memandang pria yang mengajaknya itu dengan tatapan menyelidik. Namun demikian Agung memutuskan untuk ikut dengannya. Kesulitan hidup yang ia alami saat ini membuatnya tak punya pilihan lain. "Siapa tau gajinya gede," pikirnya saat melangkah masuk ke dalam mobil SUV berwarna putih. Agung memperhatikan jalanan yang ia lewati. Ternyata menuju arah utara. Pikirannya terbagi pada Yuyun dan anaknya yang belum makan sejak tadi pagi. Entah kenapa ia bisa kembali bersama Yuyun. Seharusnya ia kembali pada Sera. Tapi ia sadar Serani tidak akan pernah mau dengannya. Tirta Prasetya bukanlah tandingannya. Ia tak tega saat Yuyun datang men