"Bagaimana keadaan ayah saya, dokter?" Elena langsung melompat saat melihat dokter yang memeriksa Hartawan muncul dari balik pintu. "Bapak Hartawan harus dipindahkan ke ruang ICU. Karena alat-alat medis di sana lebih lengkap," jelas dokter itu dengan hati-hati, namun cukup tegas. "Lakukan yang terbaik untuk Pak Hartawan, Dokter. Kami akan urus segala sesuatunya." Elena menoleh pada Arnold yang langsung mengambil keputusan. Ia sempat tercengang melihat ketegasan dan ketulusan asisten pribadi ayahnya itu. jika tidak ada Arnold di sampingnya, jika saat ini ia sendirian, mungkin ia tidak akan sanggup menjalani ini sendirian. "Baiklah, kalau begitu silakan ke bagian admisi!" ujar sang dokter sebelum kembali masuk ke ruang pemeriksaan. Arnold mengangguk. Saat hendak melangkah menuju admisi, ia menoleh pada Elena. "Bu Elena mau ikut ke admisi atau tunggu di sini?" tanya Arnold dengan tatapan khawatir pada atasannya itu. Sesaat ia melirik tangan mungil Elena yang masih melingkar di lenga
Serani mematut dirinya di depan cermin. Gaun putih yang ia kenakan terasa lebih sempit. Ia menyadari bahwa bagian perutnya sudah mulai nampak membuncit. "Kenapa kamu selalu terlihat cantik, Sayang?" Pras melingkarkan tangannya pada pinggang Sera dari arah belakang. Sera tersenyum melihat bayangan dirinya dan Pras di cermin. Suaminya hari ini nampak semakin tampan dengan menggunakan jasco putih. Corri memang mengatakan dresscod acara pernikahannya hari ini adalah putih. "Kamu juga tampan, Sayang!" Sera berjingkat hendak mengecup pipi Pras yang dipenuhi bulu-bulu halus. Dipanggil 'sayang', hati Pras berdesir hangat. Sera memang jarang sekali memanggilnya dengan kata 'sayang'. "Gara-gara kamu panggil 'sayang', ada sesuatu yang menegang di bawah sini!" bisik Pras di telinga Sera. "Dasar suami mesum!" Sera menepuk pelan lengan Pras, hingga pria itu terkekeh. "Ayo berangkat!" ajak Sera sembari berusaha melepaskan diri dari lingkaran tangan Pras yang cukup besar untuk tubuhnya. "Nanti
"JANGAN SENTUH AKUU ...!!" Corri berteriak cukup kencang. Wanita dengan rambut kemerahan itu sontak menjauh dan menutup wajahnya. Betapa terkejutnya Diego. Ia tidak pernah menduga Corri akan menolaknya dengan cara seperti itu. "Corri, kenapa? Aku suamimu sekarang. Kita sudah sah." Perlahan Diego bicara. Corri masih menutup wajahnya. "Pergi kamu! Pergiii ...!" Corri menggeleng-gelengkan kepalanya. ."Oke, oke ...! Aku keluar dari kamar ini. Tolong buka wajahmu!" Corri terdiam beberapa saat. Kemudian ia membuka wajahnya. Diego cemas melihat wajah Corri sangat pucat. Wanita itu gemetar.. "Sayang ... kamu ... sakit?" Perlahan Diego kembali melangkah ke arah Corri. "Jangaaan, please ...! Toloong ..!" Suara Corri berubah serak. Ia menangis. Seketika Diego terhenyak. Kalimat memohon itu mengingatkan dirinya dengan kejadian sebelas tahun yang lalu. Saat itu ia tidak menghiraukan teriakan memohon yang memilukan dari Corri. Yang ada di pikrannya saat itu hanya ingin menguasai tubuh wa
"Corri ..." Bagai terhipnotis, Corri terus menatap Diego tak berkedip. Tatapan keduanya seakan terkunci.Debaran-debaran hangat itu mulai menciptakan suara-suara indah di dada mereka. Diego mulai terpancing. Jemarinya mulai bergerak perlahan menyentuh lengan Corri. Napas wanita cantik itu mulai naik turun. "Diego ... " "Nikmati saja, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu." Diego berbisik. Telapak tangan lebarnya mulai merengkuh tengkuk Corri dan berlama-lama di sana. Corri masih diam tanpa memindahkan tatapannya. Ia merasakan tangan kokoh Diego mulai bergerak dibawah sana. jantungnya berdetak lebih cepat. Rasa cemas mulai menguasai hatinya. Mungkin dengan memejamkan mata, rasa cemas itu perlahan akan hilang. Namun kenyataannya, Corri justru semakin teringat dengan kejadian tragis itu. Rasa takut itu mulai bergejolak. Sentuhan demi sentuhan Diego tak bisa ia nikmati seperti yang dikatakan suaminya tadi. Napas Corri semakin memburu, hingga ia menutuskan untuk membuka mata.. "PERGI
"Gila kamu ...!" Mendengar kalimat yang dikatakan Arnold, spontan Elena berdiri. "Maaf, Bu. Tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan Bapak." Wajah Elena tampak frustasi. Ia kembali duduk di samping Arnold. Berpikir beberapa detik. Hingga ia kembali mendengar Arnold berbicara "Bagaimana, Bu?"Arnold memberanikan diri menoleh pada wanita cantik di sebelahnya. Dadanya berdebar melihat wajah Elena yang polos tanpa riasan. Wajah itu terlihat jauh lebih muda. "Entahlah. saya bingung." Elena terdiam sejenak setelah berkali-kali menghela napas berat. Yang ia khawatirkan, bagaimana jika suatu saat Arnold dan ayahnya mengetahui kondisi dia yang sebenarnya. Setelah berpikir beberapa lama, akhirmya ia mengambil keputusan. "Baiklah , kita menikah, ... dengan tujuan untuk membahagiakan Ayah saya. Silakan kamu atur semuanya!" Elena pasrah menatap langit-langit rumah sakit. Yang terpenting baginya sekarang adalah kesehatan sang ayah. Ia berharap setelah ia menikah nanti ayahmya akan se
"Apaaa? Perjanjian pernikahan???" Arnold terkejut saat membaca tulisan paling atas pada surat itu. "Sudah, nggak usah drama! Tanda tangani aja! "pinta Elena tenang sambil melepas riasan yang ada di kepalanya satu persatu. Ia tidak peduli pada wajah Arnold yang seketika berubah merah padam. "Tidak! Saya tidak mau tanda tangani surat ini." Arnold melemparkan surat itu ke meja. Elena melihat ada perubahan pada sikap Arnold sejak mereka sah menjadi suami istri beberapa menit yang lalu. Wajah pria itu juga berubah menjadi lebih tegas dan berwibawa. "Hei! Kamu pikir aku mau menjalani pernikahan ini? Kalau bukan karena ayah, aku sudah menolaknya mentah-mentah!" Elena memang benar-benar menganggapnya rendah. Wanita itu sama sekali tidak menghargainya. Itu yang dirasakan Arnold saat ini. Pria itu mencoba menahan rasa kecewa setelah mendengar perkataan Elena. Teringat kembali apa yang dikatakan Hartawan padanya sebelum akad nikah tadi. Bahwa ia harus menjadi suami yang tegas pada Elena
"Elena, Arnold, Ayah ingin kalian tidak menunda untuk memberikan ayah cucu!" Mendengar itu, tubuh Elena tiba-tiba saja gemetar. Ia merasa lemas dan tak berdaya. . Arnold yang berada di sisinya langsung menoleh. Satu tangannya meraih pinggang Elena dan menahan tubuh istrinya itu agar tidak jatuh. "Kamu kenapa? Pusing?" Arnold berbisik di telinga Elena. Wanita itu jadi bertambah pusing karena sikap Arnold yang begitu intim. Tubuhnya mendadak limbung. Saat ini posisi Arnold sangat dekat dengannya. Hembusan napas pria itu menyapu hangat pipinya. "Elena masih sakit?" tanya Hartawan. Ia memandang Elena dengan raut wajah khawatir. "Nggak, Yah. Aku sudah boleh pulang siang ini." Elena berusaha menjawab, walau dadanya masih berdebar tak karuan. Apalagi ia sempat merasakan remasan tangan Arnold di pinggangnya. Perlakuan Arnold itu benar-benar membuat jantungnya tidak baik-baik saja. "Syukurlah. Kalau begitu, malam ini kalian.di rumah saja. Arnold, tolong jaga Elena dengan baik. Biarkan dia
"Elena ...! Kamu ngapain di poli kandungan?" tanya Arnold setelah mengeja kembali nama poli di pintu ruang pemeriksaan. "Arnold ...?" Elena mematung melihat suaminya telah berdiri tak jauh dari ruang tunggu. Namun ia segera bisa menguasai diri. "Ini bukan urusanmu!" Elena bicara ketus agar Arnold tak lagi banyak bertanya. "Siapa bilang bukan urusanku!" Arnold meraih tangan Elena dan menggemggamnya. "Ih, apaan, sih? Nggak usah pegang-pegang!" Elena menarik paksa tangannya. Hati Arnold mencelos, Elena seperti jijik disentuh olehnya di depan umum. Beberapa pasien di ruang tunggu itu ikut memperhatikan mereka. Arnold tersadar, Elena sudah tidak ada di depannya. Ternyata istrimya itu telah jalan lebih dulu meninggalkannya."Elenaaa ...!" geramnya sembari melangkah lebar mengikuti arah perginya Elena. Saat tiba di VVIP, Arnold tidak langsung masuk ke kamar rawat Elena. Ia berhenti sebentar di ruang perawat. "Permisi, Suster. Saya suami pasien bernama Elena.". "Oh ya Pak Arnold. Ad