"Elena, Arnold, Ayah ingin kalian tidak menunda untuk memberikan ayah cucu!" Mendengar itu, tubuh Elena tiba-tiba saja gemetar. Ia merasa lemas dan tak berdaya. . Arnold yang berada di sisinya langsung menoleh. Satu tangannya meraih pinggang Elena dan menahan tubuh istrinya itu agar tidak jatuh. "Kamu kenapa? Pusing?" Arnold berbisik di telinga Elena. Wanita itu jadi bertambah pusing karena sikap Arnold yang begitu intim. Tubuhnya mendadak limbung. Saat ini posisi Arnold sangat dekat dengannya. Hembusan napas pria itu menyapu hangat pipinya. "Elena masih sakit?" tanya Hartawan. Ia memandang Elena dengan raut wajah khawatir. "Nggak, Yah. Aku sudah boleh pulang siang ini." Elena berusaha menjawab, walau dadanya masih berdebar tak karuan. Apalagi ia sempat merasakan remasan tangan Arnold di pinggangnya. Perlakuan Arnold itu benar-benar membuat jantungnya tidak baik-baik saja. "Syukurlah. Kalau begitu, malam ini kalian.di rumah saja. Arnold, tolong jaga Elena dengan baik. Biarkan dia
"Elena ...! Kamu ngapain di poli kandungan?" tanya Arnold setelah mengeja kembali nama poli di pintu ruang pemeriksaan. "Arnold ...?" Elena mematung melihat suaminya telah berdiri tak jauh dari ruang tunggu. Namun ia segera bisa menguasai diri. "Ini bukan urusanmu!" Elena bicara ketus agar Arnold tak lagi banyak bertanya. "Siapa bilang bukan urusanku!" Arnold meraih tangan Elena dan menggemggamnya. "Ih, apaan, sih? Nggak usah pegang-pegang!" Elena menarik paksa tangannya. Hati Arnold mencelos, Elena seperti jijik disentuh olehnya di depan umum. Beberapa pasien di ruang tunggu itu ikut memperhatikan mereka. Arnold tersadar, Elena sudah tidak ada di depannya. Ternyata istrimya itu telah jalan lebih dulu meninggalkannya."Elenaaa ...!" geramnya sembari melangkah lebar mengikuti arah perginya Elena. Saat tiba di VVIP, Arnold tidak langsung masuk ke kamar rawat Elena. Ia berhenti sebentar di ruang perawat. "Permisi, Suster. Saya suami pasien bernama Elena.". "Oh ya Pak Arnold. Ad
"Siapa yang bilang mamakku mau datang? Jangan bicara sembarangan kau, Da!" Arnold ikut panik. Ia tidak sampai hati melihat wajah Elena yang memucat. "Bang Binsar yang bilang, Bang. Dia telpon aku semalam. Katanya Bapak dan Mamak Abang besok mau ke Jakarta." "Apaa? Besok?" Elena dan Arnold bicara serentak dengan mata melebar. "Hei, biasa aja kali, Bang. Hampir keluar itu biji matamu!" protes Ida menahan tawa. "Elena, ayo kita ke atas. Aku mau bicara." "Ke atas mana? Ke kamarmu? Nggak mau! Di sini saja." Elena menolak. "Elenaa ... ." Arnold memberi kode dengan mengerlingkan matanya pada Ida. ia tidak mungkin bicara sementara ada Ida dan beberapa orang di rumah itu yang lalu lalang. Arnol memang memperkejakan beberapa saudaranya dari medan, di rumah itu. "Ya sudah, ayo!" jawab Elena malas-malasan. Arnol meraih tangan Elena dan membawanya berjalan. Elena mencoba protes dan menarik tangannya. Namun Arnold tak peduli, ia terus menggenggam tangan Elena sambil terus melangkah. "Lep
Mata Elena mengerjap. Ia baru saja terjaga. Tengkuknya terasa hangat. Netranya melihat sekeliling ruangan. Seketika ia tersadar bahwa saat ini ia berada di kamar Arnold. Saat ingin bangkit, gerakannya tiba-tiba tertahan. Ia terkesiap saat menyadari sebuah tangan kokoh dan berisi, sedang melingkar di perutnya. Ia merasakan tubuh seseorang sangat dekat bahkan tak berjarak di belakangnya. Sesuatu yang hangat ditengkuknya seiring dengan hembusan napas yang pelan dan teratur Tubuh Elena tak mampu bergerak. Tubuhnya tiba-tiba saja lemas tak berdaya. Sekali lagi ia melirik ke perutnya, ia sangat mengenali tangan kokoh itu. Tangan yang belakangan ini menjadi penjaganya. Elena baru pertama kali merasakan posisi intim seperti ini. Ingin rasanya melompat dan marah. Namun di sisi lain tubuhnya merasakan kenyamanan yang baru. Arnold saat ini sedang memeluknya dari belakang dengan posisi seluruh bagian depan tubuh pria itu bersentuhan dengan bagian belakang tubuhnya. Elena merasakan debaran yan
"Kak Elenaaa ... bangun, Kak!" Elena membuka matanya, lalu mengerjap. Samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggil namanya. "Iyaaaa ...!" sahutnya dengan tenaga yang belum terkumpul. Saat menoleh ke sisi kirimya, Elena tidak melihat Arnoid di sana. Hatinya kembali gelisah. "Apa dia tidak pulang semalam? Kemana dia? Ke nigth club?" Elena bergumam pada dirinya sendiri. "Kaaak, Kak Elena ...!" Suara teriakan Ida terdengar kembali. "Masuk aja, Da!" sahut Elena dengan suara masih serak. "Bagaimana bisa aku masuk, pintunya saja kakak kunci." "Apaa? Aku kunci? Astaga ...!" Spontan saja Elena terlonjak dan berjalan ke pintu. "Maaf, Da. Aku nggak sengaja!" Elena seketika panik. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah Arnold. "Kalau aku sih nggak apa-apa, Kak. Tapi lihat itu! Kasian ..." Ida memajukan dagunya ke satu arah. Karena saat ini kedua tangannya sedang membawa nampan berisi sarapan. Elena menoleh ke arah yang dimaksud ida. Tenggorokannya tercekat melihat Arnold tid
"Saya tiap hari bekerja di kantor, Bu. Jadi mana sempat saya masak?" sanggah Elena dengan dada sesak. Ia belum pernah merasa direndahkan seperti ini. "Kerja di kantor pun harus tetap pandai memasak." Dewi kembali membalas. Ia memandang penampilan Elena dari atas ke bawah. Elena hendak menyanggah ucapan Dewi, namun dari arah tangga Arnold datang dengan senyum mengembang. Pria itu sudah rapi dan segar. "Bapak, Mamak ...!" Arnold mencium tangan kedua orang tuanya, lalu memelukmya bergantian. "Sehat kau, Nak? Hei, macam mana ini? Kenapa pula pucat muka kau?" Dewi memandang wajah Arnold dengan intens. Tangannya mengusap-usap wajah dan kepala putra sulungnya. "Hei Elena, memangnya tak kau urus lakimu ini? Lihatlah, pucat kali muka gantengnya ini." Dewi melirik sesaat pada Elena, lalu kembali fokus memperhatikan putranya. "Nggak, Mak. Aku nggak sakit. Justru Elena yang sedang sakit. Ia baru saja habis dirawat." Arnold mendekati Elena dan merengkuh bahu istrinya itu. Elena hanya dia
"Bapak dan Mamak mau bicara apa?" Saat ini Arnold sudah duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. "Dimana istrimu itu?" tanya Dewi seraya menoleh ke arah tangga. "Elena sedang istirahat, Mak. Dia baru saja dirawat. Kebetulan ayah mertuaku juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama." 'Arnold, coba dulu kamu jelaskan sejelas-jelasnya tentang pernikahanmu ini. Rasa-rasanya Bapak tidak habis pikir. Kau bilang baru saja menikah, tapi istrimu baru saja dirawat. Macam mana ini?" Fredy memandang putranya lekat-lekat. "Iya, Pak, Mak, aku minta maaf karena beium menjelaskan semuanya. Jadi sebenarnya Elena itu adalah anak tunggal Pak Hartawan, orang yang menolong aku di Jakarta ini, sampai sekarang aku menjadi tangan kanannya di perusahaan. Kemarin kondisi Pak Hartawan sempat drop, lalu beliau punya pernintaan agar aku menikahi putrinya. Sebagai balas budi, aku setuju. Lagipula ... ehm ... aku sudah lama tertarik dengan Elena." Arnold menjelaskan panjang lebar. "Sejak Pak Hartawan
"Sayang, apa pagi ini kamu mau temani aku ke PT Callista? Masih ada berkas yang harus mereka tanda tangani." Pras sedang mengenakan jasnya, sementara Serani masih duduk di depan cermin merias wajahnya. Meski hanya riasan sederhana, Sera tetap harus tampil fresh jika hendak ke kantor "Kamu saja, Pras. Aku sudah mulai lelah. Aku langsung ke kantor saja dengan Pak Yono atau agung." Pras menghampiri Sera dan berdiri di belakang istrinya itu. Ia melihat pantulan bayangan Sera di cermin. Wanita itu kini tampak lebih berisi dan menggemaskan. Pria tinggi itu menunduk dan menempelkan pipinya pada wajah Sera. "Kamu makin gemesin!" bisiknya, lalu mencuri ciuman pada pipi Sera yang semakin berisi. "Kamu, sih. Selalu maksa aku makan ini itu. Jadi tubuhku seperti ini sekarang." Sera memandang bayangan tubuhnya di cermin dengan cemberut. "Hey, kenapa cemberut? Justru kamu makin cantik saat sedang hamil begini. Kamu ingat, nggak? Waktu pertama kita ketemu lagi? Kamu sedang hamil Pangeran. Saat