"Kak Elenaaa ... bangun, Kak!" Elena membuka matanya, lalu mengerjap. Samar-samar ia mendengar suara seseorang memanggil namanya. "Iyaaaa ...!" sahutnya dengan tenaga yang belum terkumpul. Saat menoleh ke sisi kirimya, Elena tidak melihat Arnoid di sana. Hatinya kembali gelisah. "Apa dia tidak pulang semalam? Kemana dia? Ke nigth club?" Elena bergumam pada dirinya sendiri. "Kaaak, Kak Elena ...!" Suara teriakan Ida terdengar kembali. "Masuk aja, Da!" sahut Elena dengan suara masih serak. "Bagaimana bisa aku masuk, pintunya saja kakak kunci." "Apaa? Aku kunci? Astaga ...!" Spontan saja Elena terlonjak dan berjalan ke pintu. "Maaf, Da. Aku nggak sengaja!" Elena seketika panik. Saat ini yang ada dalam pikirannya adalah Arnold. "Kalau aku sih nggak apa-apa, Kak. Tapi lihat itu! Kasian ..." Ida memajukan dagunya ke satu arah. Karena saat ini kedua tangannya sedang membawa nampan berisi sarapan. Elena menoleh ke arah yang dimaksud ida. Tenggorokannya tercekat melihat Arnold tid
"Saya tiap hari bekerja di kantor, Bu. Jadi mana sempat saya masak?" sanggah Elena dengan dada sesak. Ia belum pernah merasa direndahkan seperti ini. "Kerja di kantor pun harus tetap pandai memasak." Dewi kembali membalas. Ia memandang penampilan Elena dari atas ke bawah. Elena hendak menyanggah ucapan Dewi, namun dari arah tangga Arnold datang dengan senyum mengembang. Pria itu sudah rapi dan segar. "Bapak, Mamak ...!" Arnold mencium tangan kedua orang tuanya, lalu memelukmya bergantian. "Sehat kau, Nak? Hei, macam mana ini? Kenapa pula pucat muka kau?" Dewi memandang wajah Arnold dengan intens. Tangannya mengusap-usap wajah dan kepala putra sulungnya. "Hei Elena, memangnya tak kau urus lakimu ini? Lihatlah, pucat kali muka gantengnya ini." Dewi melirik sesaat pada Elena, lalu kembali fokus memperhatikan putranya. "Nggak, Mak. Aku nggak sakit. Justru Elena yang sedang sakit. Ia baru saja habis dirawat." Arnold mendekati Elena dan merengkuh bahu istrinya itu. Elena hanya dia
"Bapak dan Mamak mau bicara apa?" Saat ini Arnold sudah duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. "Dimana istrimu itu?" tanya Dewi seraya menoleh ke arah tangga. "Elena sedang istirahat, Mak. Dia baru saja dirawat. Kebetulan ayah mertuaku juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama." 'Arnold, coba dulu kamu jelaskan sejelas-jelasnya tentang pernikahanmu ini. Rasa-rasanya Bapak tidak habis pikir. Kau bilang baru saja menikah, tapi istrimu baru saja dirawat. Macam mana ini?" Fredy memandang putranya lekat-lekat. "Iya, Pak, Mak, aku minta maaf karena beium menjelaskan semuanya. Jadi sebenarnya Elena itu adalah anak tunggal Pak Hartawan, orang yang menolong aku di Jakarta ini, sampai sekarang aku menjadi tangan kanannya di perusahaan. Kemarin kondisi Pak Hartawan sempat drop, lalu beliau punya pernintaan agar aku menikahi putrinya. Sebagai balas budi, aku setuju. Lagipula ... ehm ... aku sudah lama tertarik dengan Elena." Arnold menjelaskan panjang lebar. "Sejak Pak Hartawan
"Sayang, apa pagi ini kamu mau temani aku ke PT Callista? Masih ada berkas yang harus mereka tanda tangani." Pras sedang mengenakan jasnya, sementara Serani masih duduk di depan cermin merias wajahnya. Meski hanya riasan sederhana, Sera tetap harus tampil fresh jika hendak ke kantor "Kamu saja, Pras. Aku sudah mulai lelah. Aku langsung ke kantor saja dengan Pak Yono atau agung." Pras menghampiri Sera dan berdiri di belakang istrinya itu. Ia melihat pantulan bayangan Sera di cermin. Wanita itu kini tampak lebih berisi dan menggemaskan. Pria tinggi itu menunduk dan menempelkan pipinya pada wajah Sera. "Kamu makin gemesin!" bisiknya, lalu mencuri ciuman pada pipi Sera yang semakin berisi. "Kamu, sih. Selalu maksa aku makan ini itu. Jadi tubuhku seperti ini sekarang." Sera memandang bayangan tubuhnya di cermin dengan cemberut. "Hey, kenapa cemberut? Justru kamu makin cantik saat sedang hamil begini. Kamu ingat, nggak? Waktu pertama kita ketemu lagi? Kamu sedang hamil Pangeran. Saat
Pras menghela napas panjang saat mobilnya sudah berhenti di depan gedung perusahaan iklan terkenal. Pria tinggi tegap berperawakan bule itu turun dari mobil dan melangkah tegak menuju pintu utama. Setiap orang yang ditemuinya mengangguk ramah padanya. Siapa yang tidak kenal dengan Tirta prasetya? Artis tampan yang belum pernah terdengar menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Apalagi dari kalangan sesama artis. Tapi baru-baru ini dikabarkan menikah dengan seorang janda yang merupakan CEO sebuah perusahaan cukup besar. Walau berita itu sudah beberapa bulan yang lalu lamanya, tapi tetap saja masih banyak diperbincangkan. Apalagi banyak penggemarnya yang menyayangkan pernikahan Pras dan Serani. Para penggemarnya ingin Pras menikah dengan wanita terkenal pula. "Silakan, Pak Tirta. Sudah ditunggu Pak Doni di ruangannya!" Tirta mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita yang mengantarnya, yang merupakan salah satu karyawan di perusahaan itu. "Apa kabar, Tirta..Wah, untung saja ka
"Pelan-pelan, Pak. Ayo saya bantu!" Dengan telaten Arnold membantu Hartawan untuk duduk di kursi roda. Tubuh ayah mertuanya itu semakin kurus. Namun wajahnya terlihat sumringah, karena akan kembali pulang ke rumah setelah cukup lama dirawat di rumah sakit. Pria itu sempat putus asa karena cukup.lama berada di ruang ICU. Siapa yang menduga ternyata kesehatannya membaik, bahkan sangat baik menurut dokter. "Arnold, orang tuamu ada di mana?" tanya Hartawan yang sudah duduk di kursi roda dengan nyaman. Elena sedang merapikan peralatan milik Hartawan yang akan dibawa pulang oleh supirnya. Walau ia berada beberapa meter dari tempat Arnold dan Hartawan sekarang, ia mendengar jelas obrolan dua pria yang berbeda usia itu. "Bapak dan Mamak saya, ada di rumah saya, Pak." "Undang mereka malam ini. Kita buat acara makan malam. Undang saudara dekat dan para relasi kita," pinta Hartawan "Nggak usah undang-undang, Yah! Lagipula Ayah ini undang orang kok mendadak." Elena menyanggah permintaan Hart
"Perempuan cantik? Kayak artis? Apa mungkin artis yang aku lihat di rumah sakit waktu itu?" pikir Elena dalam hati. "Sebentar saya ke depan dulu, Pak, Elena ..." Hartawan mengangguk. Sedangkan Elena hanya diam saja. Dadanya bergemuruh seakan tidak rela melepas Arnold menemui wanita cantik itu sendirian. Langkah Arnold terhenti di depan teras ketika wanita cantik itu menyebut namanya dan mendekat. "Arnold!" "Niki. Kamu tau aku di sini?" "Iyaa, aku diundang nyanyi di acara ini. Ternyata benar, Arnold Siregar itu beneran kamu." Wanita bernama Niki itu memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Arnold. "Ayo masuk! Aku kenalin sama istri dan mertuaku," ajak Arnold sembari kembali melangkah ke taman belakang diikuti Niki. "Bapak, Elena, kenalkan ini Niki teman saya. Ternyata dari team WO, Niki diundang untuk tampil nyanyi di acara kita." "Wah, wah, rumah saya kedatangan artis. Silakan, silakan!" Niki tersenyum lebar menyalami Hartawan dan Elena. Sambutan Hartawan cukup hangat, namun
"Arnold, sebelum terlambat, ceraikan saya!" "A-apaa?" Arnold spontan berdiri dan memandang Elena dengan tatapan tak percaya. "Tidak, Elena, Aku mencintaimu. Aku tidak akan menceraikan kamu." Tangan kekar milik Arnold langsung meraih tangan Elena dan menggenggamnya. Dewi dan Fredy nampak terkejut. Mereka yang sejak kemarin memperlihatkan rasa keberatannya memiliki menantu Elena, saat ini hanya bisa diam saja. "Maaf, Aku capek dengan semua drama ini. Aku ingin konsentrasi dengan perusahaan." Suara Elena terdengar parau. Apa yang baru saja ia ungkapkan sebenarnya bertolak belakang dengan hatinya. Tapi mungkin ini adalah yang terbaik untuk dirinya. Ia juga tidak terbebani dengan permintaan sang ayah tentang cucu. Ia juga akan lebih konsentrasi dengan bisnisnya yang ada di luar negeri. Mungkin dengan banyak hal yang ia kerjakan, bisa membuatnya melupakan semua beban yang ada dalam hidupnya. Itu yang ada dalam pikiran Elena saat ini. "Elena ... Aku mohon ...!" Arnold membawa jemari El